Friday, November 20, 2009

Mari Tersenyum

Ini adalah masa-masa sulit. Angka pengangguran bertambah. Lalu lintas semakin tidak kondusif. Polusi semakin pekat. Banjir mengancam. Otoritas tidak bisa dijadikan pegangan. Kondisi ekonomi sulit diprediksi. Kebenaran semakin tidak terang. Ketidaksiapan menghadapi bencana, membuat kita menyaksikan semakin banyak orang menderita. Ini benar benar ‘crunch time’. Banyak orang stres. Seorang ahli manajemen, Gerben A. van Kleef menyatakan bahwa ‘mental fatique’ atau kelelahan mental seorang pemimpin dalam masa-masa sulit, sering justru makin menyebabkan terperosoknya semangat orang di sekitar kita, anak buah atau bawahan lebih dalam.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Sekarang memang saatnya menentukan sikap dan tindakan. Inginkah kita terus meratap, menyalak dan meraung? Seorang teman, dalam keadaan Negara yang galau ini malah mengirimkan pesan teks ke saya: “Enjoy your moments of truth”. Kalimat sederhana itu seketika membuat saya tergugah. “Bukankah kita masih bisa mensyukuri banyak hal, mengupayakan banyak hal, mempertimbangkan pelanggan yang menunggu servis kita, memuaskan ‘stakeholders’ kita, membangun generasi muda kita, melakukan “coaching”, dan begitu banyak pe –er di depan mata yang tidak bisa kita hindari? Kita pun bisa bertanya sendiri : “Apa yang kita dapatkan dengan bersungut-sungut? “,“Apa dampaknya kalau kita terus meratap dan meraung?”. “Sadarkah kita bahwa emosi menular dan anak buah atau bawahan bisa jadi ketularan turun semangat?” Seorang atasan atau pemimpin yang baik, perlu memiliki kemampuan menghidupkan semangat tim dan bawahannya dalam keadaan segalau dan sekritis apapun. Ingat bahwa emosi orang di sekitar kita adalah tanggung jawab kita juga.

Investasi Emosi

Dalam menyelesaikan pekerjaan, kita memang harus fokus pada tugas dan hasil kerjanya. Sangat wajar bila kita kemudian mengabaikan emosi individu. Ada manajer yang berkomentar:” Terlalu mewah untuk mempedulikan emosi anak buah di masa-masa sulit begini. Yang siap ikut, ya, ikut. Yang tidak bersedia, kita tinggal sajalah!”. Padahal, bila dipikir-pikir, ada dua hal penting yang perlu kita pertimbangkan. Pertama, kita tidak pernah bisa mengingkari bahwa individu yang bagus adalah asset. Hanya dalam keadaan emosi yang stabillah ia bisa berkinerja dobel. Hal kedua adalah, sebagai pemimpin, kita tentunya tidak ingin mentalitas dan emosionalitas anak buah merosot, bukan? Sebab itu berarti spirit dan energi dalam lingkungan kerja, cepat atau lambat akan terpengaruh ke arah yang negatif juga. Kalau sudah sampai di titik terendah, akan sulit sekali untuk mengangkatnya kembali. Suasana emosi kelompok yang sudah terlanjur skeptis dan pesimis bahkan bisa jadi tidak bisa diperbaiki dengan uang.

Dalam keadaan terpuruk di mana ‘reward’ finansial sulit disediakan, kita justru perlu melipatgandakan investasi emosi yang bahkan bisa tidak makan biaya sama sekali. Spiritnya adalah mengembangkan hubungan manajemen – karyawan, atasan – bawahan, antar tim dan divisi yang berkualitas dan positif. Kita tentu bisa merasakan bahwa investasi emosi akan memperbaiki hubungan, meningkatkan dukungan, juga mengembangkan rasa percaya. Keadaan emosi yang positif ini sulit sekali dibentuk secara instan. Bagaimana investasi emosi ini ditumbuhkan? Ia datang sebagai hasil apresiasi, sambung rasa, perasaan didengarkan, dilibatkan, diperhitungkan dan juga kebebasan berpikir dan bertindak. Emosi positif yang terpancar akan menjadi penyejuk dan penyemangat. Kemampuan tim untuk menyelesaikan masalah, mengambil keputusan pun otomatis jauh lebih baik, karena mempertimbangkan “concern” yang bisa menjadi dukungan satu sama lain.

Keceriaan: Pembangkit Energi

Seorang eksekutif kenalan saya sering menggunakan istilah ‘holding hands’ dalam upayanya menjaga enerji rekan rekan kerjanya. “Dalam krisis begini, tidak ada yang bisa menjamin ‘job security’. Satu-satunya cara agar teman-teman yang masih ada dalam tim tetap berupaya dan berkinerja adalah rasa kebersamaan dan keyakinan untuk berbagi susah dan senang.” Sebagai pemimpin, kita tentu tidak boleh lupa, bahwa kitalah yang punya tugas untuk menjadi penyemangat, penggerak, pendorong atau ‘cheer leader’. Mau tidak mau, pemimpin adalah pusat emosi kelompok. Sikap ‘gloomy’ atau cemberut berlarut-larut yang kita tampilkan, pastilah tidak akan bisa ‘mengangkat’ emosi dan enerji orang di sekitar kita. Hanya dengan menularkan keceriaan, asa keterpurukan bisa kita angkat.

Habis Gelap Terbitlah Terang

Dalam satu acara diskusi dengan sekelompok pemimpin satuan kerja, seorang peserta berkomentar mengenai visinya untuk pengembangan manusia: “Saya ingin mengajak anak buah saya, melihat titik terang di kejauhan, dari lorong yang gelap”. Ungkapan ini spontan mengundang tepuk tangan teman teman peserta diskusi. Sungguh sesuatu yang menyegarkan. Kita tahu bekerja keras, menyelesaikan proyek, mengabdi, berjuang, bisa menjadi kegiatan yang berat dan sekaligus ‘fun’. Kita bisa berfikir kreatif bagaimana membuatnya ‘fun’. Dalam situasi “sulit”, hanya orang-orang yang fanatik dan antusias mengenai kehidupanlah yang masih bisa mengajak lingkungan sekitarnya tersenyum, bagaimana pun keadaan emosi dirinya. Orang-orang seperti ini pasti meyakini bahwa “good things will happen, good things do happen.". Tersenyumlah, karena ia membawa aura positif.

Ditayangkan di KOMPAS, 7 Nov 2009

Otak dan Watak

OTAK & WATAK

Saya terinspirasi oleh Profesor Arief Rachman, begawan pendidikan Indonesia. Dalam suatu acara di sebuah stasiun televisi baru-baru ini, beliau dengan cantik menyebutkan “Otak dan Watak” sebagai kriteria pejabat atau eksekutif. Dalam audisi menteri baru-baru ini, sering kita dengar ulasan mengenai pejabat-pejabat yang dikenal ‘expert’ di bidangnya. Bila ditinjau sekelebatan, segera saja kita akan terjebak pada kecerdasan, juga fenomena IQ (intelligent Quotient). Singkat kata, disimpulkan bahwa pejabat, eksekutif ataupun pemimpin yang berIQ tinggi adalah expert di bidangnya. Dengan IQ tinggi ia diprediksi mampu menangani masalah pada satuan kerja yang dipimpinnya. Cukupkah itu?

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Kita sama-sama menyadari bahwa dalam mengurus sebuah departemen, direktorat ataupun divisi di masa sekarang sudah tidak lagi kita bisa mengandalkan kapasitas birokratis dan politis saja. SOP (standard operating Procedure) saja, jelas-jelas tidak cukup. Masalah-masalah yang dihadapi saat ini sering tidak masuk akal, bahkan tidak ada dalam pembahasan kasus di universitas Harvard sekalipun. Etos kerja, sorotan dunia, perubahan, ke’bawel’an media serta sikap kritis masyarakat, otomatis sudah menjadi barometer kinerja kita, sehingga tuntutan ekspertis, kepintaran dan kecermatan tidak lagi bisa mengandalkan kecerdasan biasa.

Kekuatan OTAK

Kita tahu bahwa profesionalitas sesuai dengan bidang kerja yang dibawahi, misalnya kepiawaian sebagai dokter atau peneliti untuk mempimpin departemen kesehatan, tetap perlu dipertanyakan “kelengkapan”-nya. Kepintaran pejabat dan eksekutif sekarang langsung akan tertantang oleh keadaan pasar, lingkungan yang tidak beraturan, juga komplikasi perilaku manusia dengan berbagai agenda. Monopoli tidak lagi mempan dan bahkan tidak dibenarkan. Birokrasi yang dulu direspek dan dipanuti sekarang dipantau dan ditagih janji-janji pelaksanaannya. Salah berkata atau bertindak, bisa memicu demo dan pengaduan ke lembaga berwenang.

Pengetahuan professional memang berkontribusi pada keberhasilan seseorang, namun kita tahu seringkali kegagalan seorang pimpinan bukan terletak pada keahlian dalam bidangnya namun juga seberapa piawai ia mengelola manusia di bawahnya, seberapa jauh ia menguasai mekanisme komunikasi, kinerja tim, dan seberapa mampu ia membangun hubungan dalam tim yang diwarnai ketulusan, rasa percaya dan etos kerja yang baik.

Bukan sekedar ekspertis murni yang dibutuhkan di sini, kontrol sosial pun sangat krusial. Bahkan pemecahan masalah lebih banyak diarahkan pada kericuhan politis, perang pengaruh, negosiasi kebijakan, prevensi dan isu-isu global. Ekspertis seorang pemimpin besar perlu ditempatkan pada konteks yang sangat praktis, kekuatan meng-’indra’ lapangan dan berkaitan dengan berbagai dimensi yang terintegrasi ke dalam masalah yang demikian kompleks dan hanya bisa dijangkau dengan kekuatan berpikir yang tinggi. Otak tidak saja perlu berkemampuan tinggi , tetapi betul betul perlu kuat alias berkapasitas dobel.

Mempimpin dalam Karakter

Saat menonton tayangan beberapa wawancara ataupun pernyataan pemimpin-pemimpin baru di media, kita segera saja bisa melihat perbedaan antara satu orang dengan yang lain, juga secara otomatis bisa membaca karakter sang pemimpin baru. Ada pejabat yang berapi-api, ada yang sama sekali tidak tersenyum sepanjang bicara, atau ada juga yang bicaranya sangat pelan dan perlahan, tidak menularkan antusiasme, apalagi menampilkan ‘kinclong’-nya jati diri. Saya jadi berpikir: “Bukankah karakter mereka yang harus unggul dan mereka dituntut memimpin dengan karakter juga?” Masyarakat atau anak buah tentu tidak ingin mendengar pimpinannya berkata: ”Maaf, karakter saya memang ‘begini’.”

Setiap pemimpin memang perlu meninjau kembali ‘personal truth-nya. Ia perlu meyakini misi tim atau lembaga yang ia pimpin, sampai ke dasar-dasarnya, sehingga mampu menampilkannya secara moril, bahkan menjadikannya sebagai jatidirinya. Saat prinsip dipegang teguh, otomatis sang pemimpin tidak bisa diganggu gugat, ataupun dibolak balik. Keteguhan ini menyebabkan seorang pemimpin seolah mempunya ‘meta-kognisi’ terhadap suatu permasalahan dan sangat tahu bagaimana masalah akan dipecahkan, karena jawabannya terdapat dalam setiap nilai dasar institusinya. Pemahaman mendalam tentang misinya biasanya akan mendorong seorang pemimpin melakukan tindakan-tindakan yang ‘walk the talk’ secara kontinyu tanpa perlu ‘dipikirkan’ bahkan direkayasa.

Menembus kompleksitas dan kegalauan situasi

Kita jadi bertanya-tanya, masihkah banyakkah individu yang kuat menantang badai kompleksitas dan kegalauan situasi, baik Negara maupun ekonomi? Apakah gaji besar yang digembar gemborkan menggiurkan sepadan dengan kesulitan yang dihadapi? Kita sadar bahwa banyak masalah tidak mungkin diselesaikan dengan kapasitas ‘lobby’ yang ada, kecuali dengan expertis empiris yang mapan dan mental baja. Kita lihat bahwa hanya individu dengan semangat juang ekstra dan senantiasa menjunjung pengabdian pada profesi dan negaralah yang bisa memikulnya.

Ditayangkan di KOMPAS, 31 Oktober 2009

Thursday, November 19, 2009

Harapan

Membaca headline Kompas, 21 oktober: “Indonesia Melangkah Maju”, seketika kita serasa terpacu, ada rasa bangga dan bahkan terasa energi ingin ikut maju. Namun, saat melanjutkan dengan subjudul yang bertuliskan ‘memberantas kemiskinan……dst”, kita pun langsung teringat dan membenarkan dalam hati realita dihadapan mata, mengenai angka kemiskinan, tingkat korupsi dan masih banyak lagi hal-hal yang bisa menyurutkan harapan.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Pasang surutnya harapan bisa sangat internal dan individual, sebagaimana negatif-positifnya kita memandang dunia. Namun tidak dipungkiri bahwa energi kita juga dipengaruhi oleh keadaan serta orang-orang di sekitar kita. Kita tentu pernah mengenal, seseorang yang bila ia memasuki ruangan, ruangan terasa hidup. Bila ia mengirimkan email atau sms, kita bisa merasakan bobot kekuatan di dalamnya. Kemampuan individu untuk membangkitkan energi dari orang di sekitarnya ini, sering terlupakan dalam aspek kepemimpinan, padahal kekuatan ini sangat diperlukan untuk mendorong dan menjaga stamina dan harapan kelompok dari hari ke hari. Bayangkan seorang pimpinan kelompok yang bertugas membawa kelompoknya mengarungi perjalanan yang sulit dan membahayakan. Tentu saja ia harus selalu menemukan jalan sambil menjaga semangat kelompoknya.

Memelihara Harapan dengan Langkah Nyata

Bila ada menteri yang menggarmbarkan programnya dengan menyebutkan bahwa ia akan mengupayakan harga minyak stabil, maka kebanyakan orang akan berpikir:”Oh…minyak (minyak tanah, gas dan bensin) tidak akan naik lagi”. Tidak banyak rakyat Indonesia yang paham betapa perdagangan minyak dunia sulit dikontrol dan betapa ekonomi Indonesia sangat terpengaruh oleh transaksi ini.

Harapan dan pemahaman sempit inilah yang bisa memicu gejolak di masyarakat, bila ternyata harga minyak dunia melambung dan efek dominonya lalu mempengaruhi harga-harga kebutuhan sehari-hari. Padahal, harapan yang sudah ditebar, sulit ditarik kembali. Kita sadari bersama bila harapan tidak terealisasi, rakyat dengan mudah bisa diprovokasi, menjadi emosi, merasa dibohongi, ujung-ujungnya demonstrasi menagih janji. Belajar dari sini, pemimpin modern tampaknya perlu menambah informasi yang disebarluaskan dengan langkah-langkah yang akan ditempuh, menyesuaikannya dengan harapan serta pengetahuan masyarakatnya. Bukan hanya sebatas sasaran akhir, namun langkah-langkah perencanaannya pun perlu disosialisasikan secara transparan dan jujur kepada publik, bukan sekedar terkomunikasikan pada rapat-rapat dengan majelis dan dewan wakil rakyat

Harapan rakyat atau karyawan yang diwujudkan dalam langkah-langkah nyata yang akan di tempuh tentu saja bisa memupuk harapan dan spirit positif yang memberi energi lebih, meskipun belum tentu berhasil. Setidaknya dengan memahami langkah-langkah yang akan ditempuh, kita bisa bersama-sama melihat realitas dan memonitor. Bahkan, rakyat pun bisa berempati dan memberi dukungan bila negara mengalami kesulitan. Bukankah ini yang kita inginkan? Dalam keadaan kritis, anggota masyarakat, karyawan serta rakyat bisa menyumbangkan spirit untuk maju, melindungi serta mengusung pemimpinnya.

Tularkan Sikap Optimis

Dalam kondisi ekonomi dunia yang depresif begini, para pengusaha, ekonom, bahkan pemimpin negara dengan mudah terseret dalam sikap ‘gloomy’ berkepanjangan. Bisa jadi mereka tidak menyadari bahwa sikap ‘suram’ dan gundah ini akan membawa karyawan, bahkan rakyat yang tidak tahu banyak jadi turut bersikap pesimis. Mau tidak mau, pemimpin perlu mengedepankan sikap ‘can-do’ yang mengubah keadaan negatif menjadi positif. Kita tentu bisa mengajak orang untuk melihat tantangan di depan mata, seperti realitas pengangguran, sebagai momentum untuk refleksi dan penggantian arah strategi sumber daya manusia. Kita lihat, pemimpin yang optimis yakin pada adanya jalan keluar. Pemimpin yang kuat menularkan enerji biasanya tidak menghindar, tidak mencari-cari alasan atau sibuk memberi penjelasan mengapa sesuatu terjadi, melainkan langsung menyebutkan apa yang sedang dilakukan dan apa yang bisa digarap dengan langkah langkah yang pasti.

Energi perlu Di “Update” secara ‘Realtime’

Adanya mekanisme komunikasi seperti ‘twitter’, BlackBerry, facebook dan lain-lain, menyebabkan bukan saja informasi, tetapi juga spirit dan sentimen, baik yang positif dan negatif, menyebar cepat bagaikan virus. Banyak perusahaan berusaha membendung media komunikasi ini. Bukan semata karena media ini bisa memecah fokus dan konsentrasi, namun juga karena menyadari bahwa kritik, protes, ketidaknyamanan pun bisa ‘seketika’ disebarluaskan melalui media ini.

Di perusahaan teknologi seperti Google, karyawannya malahan didorong untuk selalu kritis dan ‘update’ dengan semua kejadian. Proyek besar maupun kecil, pengalaman, perasaan bisa langsung dikomunikasikan dengan para pemilik, yaitu Larry Page dan Sergey Brin, seminggu sekali. Inilah tantangan baru yang lain bagi pemimpin di era kritis dan demokrasi begini. Selain harus senantiasa siap menjawab sikap skeptis, oposisi dan kritis, seorang pemimpin yang baik tahu benar bahwa adalah bagian penting dari tugasnya juga untuk membuat spirit dan harapan selalu hidup.

Ditayangkan di KOMPAS, 24 Oktober 2009

Esensi

Dalam suatu sesi ‘brainstorming’ di sebuah kelas pelatihan, peserta segera mengeluarkan ide-ide dan pendapatnya untuk membahas cara-cara penanggulangan ‘chaos’. Selang beberapa lama, seseorang bertanya: “Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan ‘chaos’?”. Segera semua orang menengok ke arahnya. Ada yang melontarkan pandangan aneh, seolah mempertanyakan “Kok, tidak mengerti istilah yang begitu populer?”. Ada juga yang mencibir, seolah bertanya, “Dari tadi ke mana saja...”. Tapi, ternyata, tidak seorang pun kemudian bisa dengan lancar mendefinisikan arti kata itu dengan tepat dan memuaskan. Ternyata, dalam banyak situasi, orang sering sudah menyambar dan berkomentar terhadap suatu isu atau masalah tanpa mencocokkan asumsi, menyamakan persepsi mengenai istilah-istilah yang sedang dibicarakan.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Mendefinisikan kata, apalagi sebuah problem, ternyata tidak mudah. Padahal, banyak ahli yang mengatakan bahwa begitu kita bisa mendefinisikan sebuah problem dengan tepat, kita sudah 50% menemukan solusinya.Tidak heran bila Einstein mengatakan: “ if I had one hour to save the world I would spend fifty-five minutes defining the problem and only five minutes finding the solution”. Sayangnya, dalam masyarakat kita dan kehidupan yang serba mau cepat ini, kita tidak banyak melihat contoh-contoh pendefinisian problem dengan cermat. Banyak masalah yang mengambang tanpa penyelesaian, karena tidak terfokusnya permasalahan. Misalnya saja, mengapa Situ Gintung jebol? Situ Gintung itu sebuah apa? Bagaimana dibuatnya? Bagaimana pemeliharaannya? Apa ancamannya? Dalam pemberitaan, kita pun kadang sulit mencerna, kunci permasalahan dari suatu situasi. Padahal, pemahaman terhadap inti masalah ini sebenarnya perlu berkembang bukan saja dibenak para ahli, tapi juga di benak masyarakat yang sudah bersekolah, sehingga intelektualitasnya bisa membawanya ke arah solusi lingkungan juga. Dengan tidak jelasnya permasalahan, masyarakat yang sadar pun bisa hanya diam saja, ketika menyaksikan pembahasan masalah besar yang pemecahannya melenceng jauh dari persoalan semula sehingga membawa keluaran yang keluar jalur. Bukankah hal ini sangat membahayakan?

Buat Akar Masalah Kelihatan

Mendefinisikan problem sering tidak dipandang penting atau bahkan tidak diagendakan dengan sengaja oleh banyak orang. Contohnya, bila kita sedang menghadapi gejala penjualan turun, kita sering langsung menanggapi dengan solusi yang itu-itu saja, misalnya menurunkan harga, melakukan promosi atau cara lain yang memang sudah umum dilakukan orang. Tidak lazim bagi kita untuk mundur selangkah, mendefinisikan masalah berdasarkan fakta yang lebih luas dan memahami duduk perkaranya. Apakah penjualan menurun ini berkaitan dengan pasar yang lesu? Ketidakcocokan produk dengan tuntutan pasar lagi? Salesman yang tidak bergairah? Atau, unsur lain lagi? Tentu saja akar masalah yang berbeda, pemecahannya akan berbeda ekstrim satu sama lain.

Kita perlu sadari bahwa kebiasaan kita ‘jump into solutions’ begitu banyak mempengaruhi mutu solusi. Ada perusahaan yang membuat aturan main di rapat-rapat brainstormingnya, untuk menyalakan lampu ketika solusi belum dipilih. Pada saat lampu menyala, setiap peserta rapat tidak diperkenankan memilih solusi. Baru setelah lampu dipadamkan, kelompok mulai memilah-milah solusi dan kemudian berfokus pada penyelesaian masalahnya. Presdir perusahaan tersebut mengatakan:”The Problem Is To Know What the Problem Is”. Jadi tidak heran juga, mengapa Gus Dur menjadi terkenal dengan ungkapannya:” Kalau bisa mudah, kenapa dibuat susah?” Pernyataan ini sebenarnya ingin membuktikan bahwa kita bisa menghemat banyak energi bila kita menemukan inti suatu permasalahan.

Bertanya itu Sakti

Tidak heran di pendidikan dasar modern saat sekarang, kegiatan bertanya, dipisah sebagai subyek penting, bahkan diberi angka tersendiri. Tanya jawab yang terfokus memang sering membuat orang lebih pintar. Pertanyaannya, mengapa tidak banyak orang yang mau bertanya, tidak mencari waktu dan mengklarifikasikan suatu pernyataaan, perkataan ataupun penawaran. Padahal sudah ada peribahasa :”Malu bertanya sesat di jalan”.

Berkembangnya ilmu pengetahuan, adanya Wikipedia yang menjadi ensiklopedi milik bersama, situs-situs pengetahuan dan profesi yang demikian banyak, belum menjamin individu menguasai suatu masalah yang terjadi sesaat. Dengan mudahnya mengakses pengetahuan, kita tetap tidak bisa langsung bersikap sok tahu, sok pinter dan langsung saja menyambar tanpa tahu esensi masalahnya. Kita tetap perlu mengorek dan menggali karena pendalaman masalah sangat berguna untuk menjawab masalah. Di sinilah bertanya efektif bisa menjadi alat sakti untuk membawa kita pada pemahaman masalah yang lebih tajam. Kita perlu bertanya: Apa sebenarnya yang sangat dipentingkan pelanggan? Apa kebiasaan pengguna jalan yang menyebabkan kemacetan lalu lintas? Apa yang diperlukan setiap penduduk agar supaya gizi cukup? Bagaimana hidup dari perikanan Indonesia? Bagaimana cara Negara bisa berswasembada pangan kembali? Sayangnya memang, kegiatan seperti studi banding pejabat pemerintah untuk belajar dari pengalaman orang lain tidak dilengkapi dengan kegiatan ‘enquiries’ yang tajam, sehingga belum benar-benar menghasilkan lompatan dalam solusi bagi Negara kita.

Kata kunci yang tepat
Reaksi bengong & apatis dari karyawan muncul saat tim manajemen Toyota meminta karyawan melakukan brainstorming tentang bagaimana meningkatkan produktivitas. Begitu pernyataan brainstorming diputar menjadi:”Bagaimana membuat pekerjaan kita lebih mudah?”, segera saja respons bengong berubah menjadi antusiasme karyawan dalam memberikan usulan dan opini. Kita lihat, perbedaan kata ‘produktivitas’ dan ‘kemudahan’ bisa membawa dampak besar bagi pencarian solusinya. Ternyata, solusi untuk meningkatkan produktivitas bisa dilaksanakan bila karyawan juga memikirkan bagaimana ia memudahkan pekerjaannya. Lagi-lagi pemilihan kata yang tepat akan berpengaruh pada solusi yang sedang kita cari. Berarti, selain cermat bertanya, kita pun perlu pandai memilih kata-kata, bila ingin menemukan esensi masalah.

Ditayangkan di Kompas, 17 Oktober 2009

Robot

Dalam mencari pasangan hidup, tentunya sering kita dengar nasihat orang tua, untuk memperhatikan “bibit”, “bebet” dan “bobot”. Dalam hal ini, bobot bisa kita artikan sebagai kepribadian, kemapanan dan kepandaian calon pasangan. Dalam organisasi dan ilmu ‘performance management’, bobot pun sudah lazim menjadi kriteria penting dalam menentukan karir, golongan, bahkan gaji seseorang. Biasanya menjelang akhir tahun seperti sekarang ini, organisasi dan para manajer mulai sibuk menentukan dan menghitung bobot karyawan, baik bobot kompetensi, kontribusi dan komitmennya dalam pekerjaan dan terhadap tim maupun organisasi.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Saat seseorang mempertanyakan kapan dia akan diangkat, kapan dia menjabat dan mengharapkan ketetapan jalur karir yang jelas, sebenarnya di saat inilah individu perlu menimbang dan mengukur-ukur dirinya, apakah ia terhitung “berbobot” dalam organisasi? Meskipun semua orang tentu saja ingin disebut berbobot, ternyata memperkuat bobot tidak semudah membalik telapak tangan, terutama kalau kita sudah lepas dari dunia pendidikan, yang pada dasarnya memberi bobot pada pengetahuan kita.

Seorang teman, terheran-heran melihat calon-calon board of directors di sebuah perusahaan yang muda-muda dan cantik—cantik. Seolah mempertanyakan apakah teman-teman yang cantik itu, berbobot juga. Dari mana sebetulnya kita bisa menilai berbobotnya seseorang? Dalam situasi interpersonal yang lebih kompleks, bobot seseorang biasanya sangat terasa pada ‘impact’ yang ia buat. ’Impact’ itu bisa saja berasal dari kepribadian yang menawan, dari pemikiran-pemikiran cemerlang yang diekspresikan, dari pertanyaan pertanyaan yang tajam, dari keberanian yang ditampilkan, dari beratnya tanggung jawab yang bersedia dia pikul, sehingga mendatangkan pengakuan dari sekitarnya. Pertanyaan kita tentu saja, apa yang bisa kita lakukan untuk memperkuat ‘bobot’?

Semakin Berat, Semakin Berbobot

Dalam sebuah meeting, saya bertanya pada peserta pertemuan, mengenai keputusan-keputusan besar yang pernah mereka buat. Spontan mereka menyebutkan beberapa keputusan, seperti pindah rumah, pindah kerja, memilih pasangan atau seputar pilihan pendidikan. Ternyata, teman-teman yang bila di organisasi militer pangkatnya kira-kira setara dengan letkol, bahkan kolonel ini, tidak biasa untuk mengambil keputusan besar yang berisiko, menyangkut tim dan organisasi. Kebanyakan pengambilan keputusan besar yang diambil, semata menyangkut dirinya sendiri. Padahal, dalam organisasi militer, seorang kapten yang memimpin regunya untuk bertempur, sudah harus mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut hidup-matinya anggota atau kalah-menang negaranya.

Individu yang enggan membuat keputusan besar dengan taruhan risiko besar, terkait dirinya, orang lain, tim dan organisasi, bisa kita prediksi perannya di dalam kelompok dan masyarakat tetap kecil, tidak terlihat, tidak ber-impact. Dari sini, kita secara sederhana bisa menyimpulkan, ia memang belum berhasil untuk menambah bobot dirinya. Jadi, pengalaman memang penting. Orang yang berani terlibat, siap bersusah payah dan akhirnya punya pengalaman yang ‘kaya’ tentunya akan lebih terasah dan teruji, daripada mereka yang sekedar cari aman, bahkan sembunyi. Ini adalah salah satu alasan mengapa kita kadang meragukan pemimpin atau anggota lembaga yang kita tahu tidak punya catatan pengalaman melakukan sesuatu yang secara signifikan berdampak besar. Katakanlah artis anggota parlemen yang sehari-harinya memang aktif di lingkungan, terjun ke lapangan, kritis melihat kesenjangan dan biasa menelurkan pemikiran-pemikiran yang tajam dan berkembang, pastilah punya bobot yang berbeda daripada artis yang tidak mempunyai catatan pengalaman apa-apa, tetapi akan menjadi anggota DPR.

Mengasah Pemikiran, Memperkuat Mental

Tentunya kita tahu bahwa ada orang yang dalam perjalanan hidupnya memang tidak mendapatkan tantangan, karena tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan tantangan. Misalnya, individu yang tidak punya ‘exposure’, sehingga ia tidak terlihat dan tidak terpilih untuk mengerjakan tugas-tugas penting. Di sisi lain, ada ada juga orang yang dilahirkan dalam keluarga berada, dikelilingi sejumlah pembantu rumah tangga, orang tua yang mendukung, otak pintar, sehingga relatif jarang menghadapi kesulitan-kesulitan yang berarti. Padahal, tanpa adanya kesulitan, tantangan, deraan dan tekanan, akan sulit bagi kita untuk mengukur kekuatan yang ada, sekaligus sulit untuk menambah bobot. Mungkin inilah sebabnya pangeran-pangeran di kerajaan dilatih keras oleh sistem kerajaan, agar bermental baja, trampil menggunakan senjata, sehingga bila tiba saatnya, ia mampu menjadi panglima pasukan perang dan menampilkan kepemimpinannya. Bila lingkungan kita tidak secara otomatis menyediakan tantangan-tantangan, tentu saja kita sendirilah yang harus aktif mencari dan meng-ekspos diri kita agar lebih mudah mengakses tantangan.

Kalau dijaman raja-raja kekuatan yang utama berbentuk fisik, di jaman modern seperti sekarang, kita lihat kekuatan lebih ke arah kekuatan pemikiran dan kekuatan mental. Seperti halnya kekuatan fisik, kekuatan berpikir seseorang juga tercermin dari ketahanan dan kegigihannya. Seorang yang kuat berpikir, kita lihat tidak kenal waktu untuk mengulik, menganalisis, meriset, menyimpulkan serta menghasilkan solusi. Jam kerjanya seolah-olah tidak terbatas. Dengan demikian “bobot”-nya bisa didapat dari selalu aktifnya ia dalam pemikiran modern yang ‘terupdate’ dan keseriusan untuk mengerjakan perkerjaan dengan cermat. Orang seperti ini otomatis akan berlatih untuk mengembangkan visi secara lebih luas dan panjang, sehingga potensi untuk membuat keputusan, menetapkan tujuan juga lebih tersedia. Orang yang biasa berpikir keras juga akan dengan sendirinya mempunyai keyakinan yang kokoh mengenai pendapat-pendapatnya. Kesempatan untuk menambah bobot hanya bisa didapatkan individu yang mau mengerjakan apa yang orang lain belum tentu mau.

Ditayangkan di KOMPAS, 10 Oktober 2009

Monday, November 9, 2009

Habitat

Lima belas atau sepuluh tahun lalu, begitu lazim senioritas dipakai sebagai dasar untuk menduduki jabatan strategis, naik pangkat dan naik gajinya seseorang. Namun sekarang, bila ada organisasi yang menaikkan jabatan seseorang semata karena lamanya masa kerja, tentu saja bisa kita katakan ketinggalan jaman, bahkan membahayakan bagi organisasi. Konsep ‘Performance & Competency Based’, kita tahu, memang sangat masuk akal. Namun, merubah kebiasaan lama tentu saja menjadi tantangan tersendiri. Di sebuah lembaga tinggi negara, program implementasi ‘performance based culture’ ini membuat mayoritas karyawan resah dan merasa terancam. Bagaimana tidak, karyawan sudah terbiasa naik pangkat secara otomatis.Alhasil, upaya untuk mendorong karir pun lebih banyak diarahkan pada hubungan baik dengan atasan, berpolitik ataupun meraih gelar pendidikan lebih tinggi.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Banyak yang berasumsi bahwa situasi ini hanya terjadi di lembaga milik pemerintah. Bagaimana dengan perusahaan swasta? Kita bisa lihat bersama bahwa banyak sekali perusahaan swasta yang diam-diam dengan cepat sudah memasuki fase ‘mapan’, mencetak laba yang lumayan dan bisa menikmati kemajuan perusahaan tanpa harus susah payah memeras keringat lagi. Terlepas dari usia karir ataupun usia seseorang, seorang profesional bisa mudah terlena dan mulai tidak memacu dirinya untuk berkembang lagi. Bagaimana kalau hal ini terjadi pada kebanyakan orang? Tentu saja kita akan menyaksikan kultur perusahaan yang berkembang tidak sehat, tidak produktif, suasana kerja pun biasanya tidak nyaman lagi. Di tingkat organisasi, hal yang paling nyata terlihat adalah lemahnya pengembangan produk dan sistem baru sebagai hasil inovasi. Sementara, di tingkat individu, biasanyanya orang-orang sibuk berpolitik, asyik mencari sasaran gosip, suka ‘cuci tangan’ dan merasa aman untuk tidak terlibat. Di sebuah perusahaan terdengar keluhan :”Jenjang kariri di perusahaan ini tak jelas. Orang tidak tahu kapan dia naik pangkat”. Padahal di perusahaan tersebut sangat terlihat kesulitan orang untuk mengambil tantangan yang lebih berat, pekerjaan yang lebih menantang, apalagi mau berkorban untuk perusahaan. Akankah kita membiarkan wabah ini tumbuh subur dan menggerogoti ‘habitat’ kita?

Buat Apa Saling Menyalahkan?

Kita bisa saksikan bahwa orientasi paternalistik akan tumbuh subur bila dalam organisasi individunya sudah malas bekerja keras, tidak lagi menunjukkan ‘sense of belonging’ maupun akuntabilitas yang nyata. Apa maksudnya? Individu akan menatap ke atas, menunggu perintah dan membebankan tanggung jawab sebesar-besarnya pada atasan dan manajemen. Segala macam kebijakan atau perubahan yang perlu dijalankan biasanya akan berjalan dengan alot. Pertanyaannya, apakah kita sebagai bawahan memang menginginkan tanggung jawab yang sedikit? Apakah kita memang merasa aman dan nyaman, walaupun tidak dilibatkan? Apakah dalam karir kita memang kita tidak memilih bersusah susah untuk belajar?

Kita bisa sama-sama menyaksikan bahwa organisasi yang berisi individu seperti diatas tidak mungkin awet muda karena tidak bisa lagi mengandalkan kemampuan, semangat dan spirit timnya. Paling-paling kreativitas dan kecermatan pemimpinnya yang bisa membuat organisasi ini survive. Sebaliknya, tanpa pemimpin yang baik, organisasi akan melempem. Hal yang biasanya tidak terhindarkan adalah main tunggu-tungguan dan saling menyalahkan antara manajemen puncak dan bawahan untuk membenahi organisasi. Fenomena salah-menyalahkan dan mencari kambing hitam ini bisa kita lihat terjadi di mana-mana, karena inilah yang paling mudah dilakukan. Karyawan di tingkat bawah paling mudah mencela pimpinan puncak, tentang kebiasaannya yang suka marah, keputusan yang berubah-ubah atau kesibukan pimpinan mengurusi hal-hal sepele alias “micro-management”. Sementara, pimpinan frustasi dengan anak buah, karena bawahan tidak bersedia berkinerja “all out”. Tempat kerja menjadi habitat yang tidak nyaman lagi.

Individu yang punya semangat maju, biasanya menyadari bahwa dalam diri kita masing-masing ada power untuk menyelesaikan masalah. Tidak harus menunggu atasan, kita pun punya kontribusi untuk membuat situasi organisasi jadi lebih kondusif. Sikap yang sangat penting juga untuk disuburkan dalam diri dan lingkungan kerja adalah menyimak, bertanya dan mendengar. Bagaimana kita akan sampai pada pemecahan masalah bila belum-belum kita sudah memberi penilaian, mengambil kesimpulan, bahkan langsung memberi nasehat, padahal akar masalahnya dan pokok persoalannya belum tersentuh?

Konsisten Berkomunikasi Positif

Seorang teman saya mengaku ‘shock’ saat masuk ke sebuah perusahaan baru. Ia mengeluhkan betapa semua orang seolah siap menerkam dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang kritis dan tajam. Ketakutan tidak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan, membuatnya sibuk mendalami tugas yang dihadapinya dan selalu memasang antena untuk menganalisa apa yang sedang dilakukan. Beberapa bulan kemudian, saya bertemu dengannya dalam kondisi yang begitu berbeda. Ia terlihat bersemangat dan tampak begitu siap untuk merangkul tanggung jawab yang lebih besar. Para profesional yang bermental sehat, pastilah mendambakan lingkungan seperti ini. Lingkungan yang memberi tantangan, fair, memberi kesempatan dan peluang untuk mengembangkan potensi.

Bisa jadi kita seringkali tidak sadar bahwa menyuburkan budaya dan habitat yang ‘sehat’ hanya bisa terjadi dari komunikasi yang positif dari ruang-ruang rapat sampai kantin perusahaan. Pendekatan yang tampaknya sederhana ini, ternyata tidak banyak dimiliki orang secara konsisten. Teman-teman saya, sesama manajer, bisa dengan akrab makan bersama di kantin dengan anak buah dan rekan, bercanda, saling olok, namun tetap tidak bisa mempersuasi mereka untuk menyetujui perubahan yang ia ingin lakukan. Jadi, hubungan yang ‘friendly’ belum tentu kondusif.

Sebenarnya tidak selalu harus memikirkan program “breakthrough” yang canggih dan mahal untuk mengembangkan iklim kerja kondusif. Dengan menghilangkan sikap negativistik sebetulnya kita bisa sekali membawa aura positif dalam tim dan organisasi kita. Tentu saja kita perlu belajar berekspresi positif dalam setiap kesempatan, sehingga fakta yang tidak menyenangkan dan kabar buruk bisa kita kelola menjadi tantangan untuk membakar spirit individu dan tim. Orang yang konsisten menyampaikan “magic words” dalam berkomunikasi, berkata: “Kita pasti bisa”, “Kita cari cara lain”, “kita coba...”, akan senantiasa diterima dalam lingkungan paling sulit sekali pun, bukan?

Ditayangkan di Kompas, 3 Oktober 2009