Friday, October 30, 2009

Seribu Indera

Saya cukup surprise dengan paparan seorang pimpinan lembaga tinggi negara yang ketika ditanyai mengenai kepemimpinan justru menekankan pentingnya ‘rasa’ dalam memimpin. Ya, selama ini, sadar tidak sadar, kita memang terkadang mengabaikan dan mengesampingkan penajaman ‘rasa’ atau ‘sensing’ dan memandang rendah kontribusi ‘rasa’ terhadap keberhasilan seseorang dalam karir dan pekerjaan. Kita tahu, seseorang yang diproyeksikan untuk naik jabatan, biasanya akan menerima pembekalan dan pelatihan intensif terkait prosedur, manajemen, analisa dan problem solving, namun umumnya hanya sedkit menyentiuh ‘rasa’. Padahal, bisa kita bayangkan betapa sulitnya seseorang untuk bisa berhasil memimpin bila ia tidak ahli mengelola ‘rasa’. Bukankah kita lihat para anggota DPR pun terkadang dikritik karena mengeluarkan kebijakan yang tidak tepat sasaran, mengeluarkan pernyataan yang kurang sensitif dan diniliai kurang punya ‘rasa’ dalam melihat dan menyikapi permasalahan yang ada?

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Saya jadi terpikir, betapa ruginya, kalau rasa atau ‘sensing’ yang kita fungsikan baru sebatas ‘panca indera’ saja: cium, dengar , kecap, lihat, raba? Bagaimana dengan intuisi, firasat, simpati, empati, rasa percaya dan tidak percaya, yang kesemuanya melibatkan ‘rasa’? Bisakah ini semua kita golongkan sebagai indera keenam? Bukankah ‘rasa’ ini, seperti halnya panca indera kita, berfungsi sebagai antena atau radar, modal kita mengambil tindakan? Tepat sekali bila dalam lembaga-lembaga yang berkegiatan ‘putar otak’ intensif, senantiasa diingatkan untuk menggalakkan penggunaan perasaan ini untuk ‘mengelola manusia’ dan berpikir kreatif.

Menajamkan Kesadaran (Awareness)

Perlu kita ingat bahwa menginderai dan kemudian mengetahui, sangat berbeda dengan menyadari (awareness). Sebagai contoh sederhana, semua orang tahu bahwa ini adalah minggu kedua bulan September, tetapi belum tentu semua orang menyadari bahwa akhir tahun tinggal 3 bulan lagi. Kita yang bisa memanfaatkan panca indera tanpa upaya keras, ternyata sering lupa untuk mengasahnya. Sementara, seseorang yang buta sejak lahir, masih bisa me-‘rasa’-kan warna-warninya dunia, tanpa membayangkannya.

Kita lihat, justru orang-orang yang sukses, baik dalam kepemimpinan maupun dalam berwirausaha mempunyai keahlian memelihara kesadaran-kesadaran ini. Dari kesadaran seperti inilah orang bisa melakukan antisipasi, membuat asumsi, memprediksi dan mengelola banyak kegiatan pikir lainnya yang tidak bisa dikuasai melalui latihan saja, melainkan perlu diasah secara individual.

Mengapa Kita Sering Kebal?

Seorang ahli mengatakan bahwa kekebalan ‘awareness’ kita berasal dari ketidakmampuan kita me-’rasa’-kan wanginya sekuntum mawar ketika kita merabanya. Bahkan ahli tersebut mengatakan bahwa kemampuan me-’rasa’-kan itu adalah kemampuan mengenal realitas yang sebenarnya. Kita bisa tidak mengembangkan kemampuan me-’rasa’ ini karena tidak menyadarinya. Seringkali hal tersebut kita samakan dengan pengetahuan. Padahal, kemampuan merasa (‘sensing’) ini merupakan penajaman radar, sensor atau antena untuk mengoptimalkan daya tangkap yang jauh lebih kompleks daripada sekedar menangkap perabaan, penglihatan, pendengaran dan penciuman. Kompleksitas penangkapan ini banyak melibatkan penghayatan sosial, religius dan emosi sehingga bisa menghasilkan penyimpulan yang kaya.

Lalu, mengapa individu sering tidak menajamkan bahkan secara tidak langsung menumpulkannya? Banyak orang tidak mau tahu sampai akhirnya tidak ‘ngeh’ bahwa dalam dirinya ada kemampuan itu. Seorang teller bank,misalnya, mempunyai prosedur standar yang harus dijalankan bila mencurigai seseorang. Bila prosedur ini sudah dilakukan ratusan kali, maka sebenarnya “sensing” atau kita sering menyebutnya dengan feeling, harus lebih bekerja. Ia pun mestinya mampu mencerap situasi dengan ‘radar’-nya, sebelum melakukan cek-ricek dengan inderanya lagi.

Nah, bila kita sadar bahwa kita dipersenjatai dengan ‘awareness’ seperti ini, bukankah kita akan bisa lebih tajam ‘melihat’ apa yang selama ini ‘tidak kita lihat’? Bukankah kita bisa menemukan hal-hal yang terlewat, seperti mengenal potensi anak buah secara mendalam, meramalkan kesuksesan anak buah, memilih anak buah yang bisa kita percaya atau menilai apakah seorang pelanggan prospek atau tidak. Hanya dengan kesadaran ini jugalah kita bisa menciptakan dan kemudian menikmati suasana saling menghargai, saling percaya dan kerjasama.

Berdansa dalam Penghayatan

Siapa yang tidak pernah mendengar ungkapan Maxim: "Think with your head, not with your heart"? Hal ini, lalu telak-telak dibantah oleh para ahli neurologi yang meyakini betapa kompleksnya penginderaan dan betapa hebatnya hasil dari timbal balik kerja otak, daya pikir, rasa dan indera. Lihat saja bahwa orang yang dihadapkan pada situasi yang sama, bisa mempunyai konteks dan ketajaman penghayatan yang berbeda dengan orang lainnya. Ternyata, kita dibekali dengan seribu indera yang bisa diaktifkan untuk berkolaborasi satu dengan lainnya. Mungkin inilah sebabnya banyak ungkapan lintas-indera yang digunakan untuk pemahaman dan penangkapan mendalam tetang sesuatu hal, misalnya: "having a nose for the job..." atau “Breathe through your feet”.

Tampaknya inilah gunanya jendela-jendela luas untuk menikmati cakrawala yang jauh dan indah untuk para eksekutif, agar senantiasa meng-elevasi ‘senses’-nya, sehingga ia punya daya untuk menggerakkan korporasi dan membuat suasana interaksi yang kian kondusif. Kita pelajari bahwa pencerapan dan ‘awareness’ manusia ternyata jauh dan dalam. Tidak hanya fungsional, tapi juga mendesain. Tidak cuma sekadar tanya-jawab tetapi juga berceritera. Tidak saja fokus, tetapi juga ber-simfoni. Tidak saja logika, tetapi juga empati. Tidak saja keseriusan tetapi juga ‘bermain’. Bukan hanya akumulasi tetapi juga ‘meaning’. Di sinilah letak misteri ditumbuhkannya ‘sense of self”, “sense of direction”, “sense of action”, sense of organizing”,” sense of moral direction”, “sense of environment” , sense of belonging”. Dan, wah, masih banyak sekali, bahkan tidak berbatas.

Ditayangkan di Kompas, 12 September 09

Fokus

Sementara telpon genggam bergetar di dalam saku dan kita takut-takut mengecek e-mail atau sms demi sopan santun dan respek, tiba-tiba lawan bicara saya berkata:”Sebentar ya, ini istri saya sudah menelpon berkali-kali. Saya harus menjawab dulu.” Pembicaraan sementara terhenti. Tak jarang, fokus pun jadi buyar.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Kita mau tidak mau sudah berada di era yang nyata-nyata “gadget obsessed” dan multitasking. Nilai-nilai sosial memang sudah bergeser. Baru beberapa tahun yang lalu, dalam pelatihan-pelatihan, saya senantiasa menekankan tidak sopannya bertelpon genggam di tempat umum. Saat sekarang, bahkan tidak terhindarkan, saya sendiri pun terkadang terpaksa mengangkat telpon klien penting yang tidak mudah dihubungi, di tempat umum. Perilaku yang dulunya tidak ‘elegan’ ini, kini sudah diterima masyarakat sebagai perilaku yang relevan dan tidak bisa terhindarkan lagi.

Rasanya sudah biasa kita temui remaja yang tidak pernah mencopot ipod-nya ketika sedang bertemu muka, bahkan bertamu. Beberapa kantor pun membolehkan karyawannya bekerja sambil mendengarkan musik. “Bukankah musik bisa membuat kita lebih produktif?” demikian kilah seorang profesional desain kreatif sebuah perusahaan iklan. Beberapa perusahaan yang melakukan pembatasan email, akses internet, maupun penggunaan multimedia yang dirasa dapat membuat karyawan tidak fokus dengan pekerjaannya, sering ditanggapi oleh para ‘multitasker’ dengan senyum kecut. Bagaimana seharusnya kita berespons dengan tuntutan pekerjaan untuk fokus dan tantangan multitasking?

Generasi ‘Multitasking’

Seorang ahli manajemen menemukan bahwa 80% pebisnis memang melakukan ‘multitasking’ secara intensif. Selain beberapa pekerjaan dilakukan sekaligus dalam satu waktu, waktu kerja juga makin fleksibel, bahkan tidak berbatas lagi. Tak jarang kita terima email bisnis atau sms promo menjelang tengah malam atau dini hari, bukan? Brainstorming di luar jam kerja, pertemuan dengan klien ataupun mitra di luar jam kantor menjadi hal yang sudah sangat biasa. Jam sembilan malam, resto dan cafe belum surut dari orang-orang yang melakukan pertemuan bisnis. “Kalau tidak, ya, tidak keburu” demikian komentar seorang pebisnis.

Kita tahu beberapa eksekutif trampil mengecek email sementara ber-blackberry chat, bahkan di dalam rapat atau yang lebih parah lagi, sambil menyetir! Para “multitasker” ini memang berulah seperti ‘superman’, terlebih karena dimungkinkan dengan begitu berkembangnya teknologi modern. Komputer kita bisa membuka beberapa ‘jendela’ dalam satu waktu, sehingga sambil membuat laporan atau proposal, kita bisa merespons email dan chatting. Dalam situasi ini, mampukah otak kita mengolah dan menangkap berbagai stimulus sekaligus? Ya, otak kita yang luar biasa ini pun tentu saja punya keterbatasan. Otak bereaksi terhadap berbagai informasi dalam dosis yang lebih kecil, namun akibatnya kita tidak bisa mengolah rangsangan secara in depth (mendalam). Status “overexcitement’ otak ini, memang akhirnya tidak memungkinkan otak untuk secara santai bekerja terfokus kepada satu masalah saja secara mendalam.

Fokus: Kekuatan atau Berpandangan Sempit?

Dalam kehidupan bisnis yang serba cepat dan kaget-kagetan begini, maka para professional tampaknya memang perlu mempertanyakan apakah kemampuan untuk memfokuskan perhatian masih menjadi persyaratan utama dari kompetensi eksekusi kita. Ada sebagian professional yang merasa bahwa kapasitas fokus adalah kekuatan, tetapi yang lain beranggapan bahwa terlalu dalam memperhatikan masalah menyebabkan pandangan sempit seolah berkacamata kuda. Yang jelas, kemampuan fokus tetap dibutuhkan oleh kita pada saat kita perlu memutuskan tindakan tertentu, apalagi bila tindakan tersebut berisiko. Contoh yang paling sederhana adalah menembak. Bila kita tidak bisa memfokuskan perhatian kita pada sasaran tembak, maka tembakan kita akan meleset.

Kemampuan eksekusi adalah ketrampilan otak yang mengandalkan kemampuan seseorang untuk menahan masuknya informasi, mengkontrol emosi, memilih tugas yang lebih penting, mengobservasi, sehingga bisa didapatkan informasi yang lebih mendalam dan mendetil sebelum mengambil keputusan. Dalam keadaan biasa, para manajer atau bahkan direktur yang sering terlihat mengambang dalam mengambil keputusan, sebetulnya sering tidak bisa menghitung risiko karena tidak menguasai detil permasalahan. Apalagi dalam keadaan tertekan, kapasitas otak tidak bekerja sama sekali, sehingga akibatnya tindakan terlambat bahkan terhambat alias tidak dilakukan. Di sinilah pentingnya fokus dan penguasaan detil. Bertubi-tubinya informasi dan banyaknya gangguan di sekitar kita memang menjadi tantangan bagi kita yang perlu terus melatih dan mengasah kompetensi untuk fokus dan mengulik detil.

Cermat memilih

Menyadari situasi di tengah tengah tuntutan generasi-M ini, kita benar-benar butuh nyali untuk mampu memperhatikan hal hal yang memang perlu kita ketahui secara mendalam. Teman saya tergagap ketika ditanyai ‘update’ jumlah karyawan per hari ini, padahal dia adalah manajer SDM perusahaan. Teman lain, dengan seru melaporkan negosiasi alot yang sedang dihadapinya. Ketika atasan menanyakan detil transaksinya ia pun mulai terbata bata. Bagaimana kita menyikapi banjir informasi yang perlu maupun tidak perlu ini? Bagaimana pun juga, kitalah yang perlu mengkontrol otak kita, bukan pihak eksternal.

Kecanggihan gadget di tangan kita sesungguhnya bisa kita manfaatkan untuk fokus dan mencapai lebih banyak hal. Misalnya, memanfaatkan fitur agenda dan to do list dengan reminder, men-screening email penting dari email sampah, juga memastikan kita tidak terlewat melakukan kegiatan penting yang perlu kita selesaikan. Tantangannya adalah cermat memilih. Kita perlu memilih materi apa yang masih perlu kita hafal luar kepala, materi apa yang perlu kita update, bahkan telpon dari mana yang kita respons. Tidak semua orang mampu berespons kepada semua panggilan, menjawab semua sms, dan menanggapi semua email yang masuk, sambil tetap bersilaturahmi dengan klien dan para relasi. Apakah kita juga sudah menghitung, apa yang tersisa pula untuk komunikasi dengan keluarga?

Ditayangkan di KOMPAS, 29 Agustus 2009