Wednesday, July 28, 2010

Generasi Chatting

Teman saya, kecewa. Ia yang kagum melihat istrinya begitu bangun tidur langsung menunduk dan berdoa, ternyata harus menghadapi kenyataan bahwa isterinya begitu bangun tidur langsung mengecek pesan yang masuk di hapenya! Ternyata, banyak orang yang melakukan hal tersebut di pagi hari sekarang sekarang ini. Bukannya langsung menghadap yang Kuasa tetapi mengecek pesan teks. Bukankah memang sedikit di antara kita yang tidak membawa hapenya ke samping tempat tidur. Seolah terjebak dalam teknologi digital dan media sosial, kita mau tidak mau sudah memperlakukan gajet-gajet tersebut sebagai bagian dari tubuh kita. Teman saya bahkan tidak punya masalah dengan peraturan dilarang bertelpon, apalagi 'chatting' saat menyetir, karena ia bisa melakukannya tanpa harus memandang handphone-nya. “Sudah hafal”, ujarnya. Dunia kita memang sudah berubah menjadi dunia 'chatting' dalam kurun waktu satu dekade!

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Ramalan penggunaan sistem komunikasi android, komunikasi lewat google tanpa bayar dan masa depan internet ini sering membuat kita khawatir, terutama akan terhambatnya kegiatan sosial tatap muka, isolasi sosial, juga buruknya kegiatan mendengar dan rendahnya perhatian pada orang lain saat tatap muka. Namun, hampir semua dari kita juga berstandar ganda. Di satu sisi kita memberi komentar miring mengenai buruknya dampak penggunaan media elektronik untuk berkomunikasi, sementara di sisi lain kita menggunakannya untuk ngobrol berjam-jam, mengontrol anak, membangun relasi, rapat, dan mengambil keputusan. Kita memang jadi bertanya-tanya, apakah generasi mendatang, generasi milenial, akan lebih 'terisolasi', ‘bodoh’ secara sosial daripada generasi kakek-nenek kita dulu?

Kecerdasan Baru

Tanpa terasa, dalam dua dekade terakhir ini dunia intelektualitas sudah mengalami transformasi besar-besaran. Buku sudah digantikan dengan e-book dan audio-book yang selain mempercepat akses, individu jadi lebih dimudahkan untuk memilih, mem-browse apa yang ia butuhkan. Tentunya kita akan kehilangan pembaca buku cetak yang sejak jaman dahulu sudah dianggap sebagai lambang intelektualitas. Namun, apakah ini berarti kualitas intelektualitas kita akan menurun?

Pusat riset internet Pew dalam laporannya "The Future of the Internet in 2020” mengemukakan konsep yang menarik. Apa yang terjadi sekarang dinilai bukan sekedar pergeseran budaya atau kebiasaan serta cara berhubungan manusia, tetapi juga pergeseran kemampuan cara pikir manusia, bahkan mungkin pada struktur intelegensinya. Dulu diperlukan kemampuan analisa sintesa saja, di mana kemampuan induksi dan deduksi pemikiran sudah cukup. Sekarang diperlukan kemampuan untuk berpindah, surfing, shifting dan swaying dari satu area informasi ke area informasi lain. Seakan harus menyelam, kemudian sekejap berpindah ke area lain, seolah bermain jetski di permukaan jaringan internet. Jadi tantangannya bukan lagi seberapa kuat memori seseorang dan sebanyak apa informasi yang bisa kita simpan dalam ‘hard drive’ alias otak kita, tetapi seberapa pandai dan cepatnya kita menelusuri jaringan untuk mengakses informasi dan seberapa kritisnya kita untuk menseleksi, memilah dan kemudian baru mensintesakannya serta mempelajarinya dalam waktu cepat.

Fleksibilitas bukan pilihan lagi

Perusahaan mana yang masih bisa menerima seorang karyawan yang tidak trampil mengoperasikan komputer, anti menggunakan ha-pe dan bahkan buta elektronik? Dinas rahasia dan badan keamanan Kerajaan Inggris (MI5) baru-baru ini mengumumkan akan melengserkan staff yang 'tidak melek' internet, facebook dan twitter. Mereka menyebut kalangan yang dipecat sebagai ‘generasi James Bond’ karena tidak bisa menggunakan internet dan tidak memahami dunia Twitter atau Facebook. Jonathan Evans, Director General of MI5, mengungkapkan bahwa para teroris banyak yang berkomunikasi dengan sesama anggota via situs jejaring. Karena itu, jadi wajib hukumnya bagi para agen rahasia ahli memakai Facebook demi memantau gerak gerik mereka. Untuk perekrutan baru, MI5 kini juga punya syarat tersendiri, yakni harus melek teknologi.

Dalam era banjirnya informasi seperti sekarang, kita lihat bahwa fleksibilitas bukan lagi menjadi pilihan, namun sudah menjadi keharusan. Seperti menegaskan apa yang disampaikan Darwin mengenai seleksi alam puluhan tahun lalu, “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent that survives. It is the one that is the most adaptable to change“. Bagaimanapun, kita memang tetap harus berterimakasih dengan adanya internet dan media elektronik lainnya ini. Dengan banyaknya dan transparannya informasi ini kita punya banyak kesempatan memilih, apa yang akan kita jejalkan ke benak kita untuk dijadikan pengetahuan.

Kepemimpinan non-elektronik

Betapapun canggihnya dunia elektronik, kita tidak pernah akan dikendalikan mesin. Kita tetap membutuhkan pemimpin dalam berorganisasi, berpolitik dan bernegara. Tentunya cara memimpin organisasi dengan aliran informasi yang kencang ini sangat berbeda dengan birokrasi yang kita dapatkan sebagai warisan bapak-bapak kita. Bila tidak berhati hati, kita akan ketinggalan informasi dan terlihat konyol di mata anak buah yang dengan cepat bisa mengakses informasi dari mana saja. Kita perlu menciptakan kepemimpinan gaya baru untuk mengendalikan 'content generation' yang menjamin kebebasan, tidak membosankan, tetapi juga tetap terstruktur. Semua laporan tetap perlu ber-deadline. Pelaksanaan tugas tetap bisa dihitung jam kerjanya. Rapat-rapat perlu beragenda dan mempunyai sasaran jelas dan terukur. Faktor sukses tetap harus didefinisikan dengan teliti.

Meskipun intensitas di layar elektornik sangat tinggi, hal yang tetap harus ingat oleh tiap pemimpin adalah memberi perhatian pada perasaan. Semua individu tetap ingin ‘happy’, tetap ingin berkawan, tetap ingin tersenyum. Inilah tantangan pimpinan perusahaan, untuk memenuhi semua kebutuhan anggota tim yang fleksibel, beragam dan berubah secepat kilat.

(Ditayangkan di KOMPAS, 17 April 2010)

Tuesday, July 27, 2010

Modern

Walaupun menelan pil pahit, kalah melawan Spanyol di semifinal piala dunia tahun ini, tim Jerman tetap menunjukkan fenomena baru di dunia sepak bola. “Modern lawan modern. Kolektif lawan kolektif. Keindahan lawan keindahan.” begitu ungkap penulis Sindhunata terhadap permainan Jerman saat melawan Argentina. Tim yang disangka akan bergaya panser, ternyata kemudian tampil seperti yang dikemukakan Sindhunata: lincah, cepat, ringan, agresif dan kreatif. Tim Jerman memperlihatkan betapa pendekatan barunya seolah bisa menciptakan magic. Setiap pemain bekerja keras, lari dan bertaktik. Semua pemain begitu sadar akan tugas pentingnya dan tidak ada seorang pemain pun yang terlihat tidak aktif berpikir untuk menempatkan bola-bola cantik. Tim-tim tangguh favorit juara, seperti Inggris dan Argentina pun harus mengakui ketangguhan tim Jerman. Kita yang menyaksikan pun tidak sekedar bisa menikmati menang kalahnya, tapi justru permainannya.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Kita pun bisa melihat kerjasama tim yang indah di kesebelasan Spanyol. Tim yang merajut kerjasama selama dua tahun ini kerap disebut “tidak punya siapa-siapa, tetapi bisa menjadi siapa pun”. Fleksibilitas yang ditunjukkan secara nyata terlihat menghasilkan keunggulan tim yang membuat kita mengacungkan jempol. Inikah pendekatan modern yang disebut-sebut oleh para komentator bola? Seorang filsuf, Delanty, menyebutkan modernisasi sebagai: "The loss of certainty and the realization that certainty can never be established, once and for all." Tanpa adanya pendekatan baru, tampaknya memang sulit kita untuk menghadapi lawan yang unpredictable dan dominan. Di era mobilitas sosio ekonomi, di mana produk, permodalan, manusia dan informasi beredar bebas tidak berbatas, setiap orang tampaknya memang perlu memikirkan desain perubahan spesialisasi, segmentasi dalam masyarakat, sehingga mempengaruhi pola interdependensi dalam organisasi ataupun tim. Kita tentu perlu terus mengevaluasi sejauh mana kita sudah menerapkan cara-cara baru dalam bekerja dan bekerjasama? Seberapa jauh upaya kita untuk me-modern-kan cara pikir dan pola hubungan interpersonal kita?

Bersantai dalam Keberbedaan

Keberhasilan adaptasi terhadap keragaman etnis dalam tim dan sudah tidak dinomorsatukannya senioritas lagi, adalah sebagian contoh betapa pendekatan baru adalah strategi yang bisa membawa keunggulan bagi sebuah tim sepakbola. Pelatih Spanyol, Del Bosque, menyebutkan bahwa ia harus mengelola pemain-pemain usia muda . Para pemain menyatakan betapa permainan dan kerjasama tim bisa mereka nikmati sendiri. Xavi, motor dalam tim Spanyol, bahkan mengungkapkan: "We felt very much at ease on the pitch. That's what we want, that's what we are looking for."

Dalam dunia manajemen pun kita melihat hal yang sama. Seorang anak muda berpenampilan ABG muncul di jajaran direksi sebuah bank besar milik pemerintah. Anak muda yang berhasil mencapai puncak karir dalam usia relatif muda ini pun tidak 'cupu' (baca: culun punya) bahkan ‘gaul’. Kecemerlangannya diakui oleh setiap orang. Ia memperlihatkan betapa dirinya begitu terbuka dan bahkan lebih happy bila bisa berhubungan dengan banyak orang. Ia pun menikmati dan mencari kesempatan untuk melakukan sebanyak-banyaknya sharing pengalaman, pendapat, minat dengan orang yang berbeda suku, negara ataupun bangsa. Seorang anak muda yang saya temui di pesawat mengatakan dirinya berkebangsaan Australia, sementara dari penampilannya terlihat ia beretnis Cina. Menariknya, ia sama sekali tidak menyadari bahwa ia ‘berbeda’ dari suku-suku bangsa yang lain. Ini membuktikan bahwa generasi modern lebih cair dan lebih mampu sharing daripada generasi sebelumnya.

Dengan kondisi ini, organisasi yang saat sekarang masih mengagung-agungkan sikap stereotipik dan birokratis tentu saja terlihat usang. Bayangkan betapa besar kerugiannya bila dalam sebuah divisi atau organisasi masih ramai terdengar keluhan mengenai tidak harmonisnya hubungan antar divisi, tidak nyamannya berhubungan dengan atasan karena alasan birokrasi, atau lambatnya tindakan karena sikap segan pada atasan. Kita bisa menilai sendiri betapa perusahaan-perusahaan seperti ini tidak efisien dan efektif, bahkan membuang kesempatan untuk menguatkan barisan dalam mencapai tujuannya. Suka tidak suka, saat ini kita dihadapkan pada situasi di mana segala sesuatu seolah tidak berstruktur. Bawahan akan memilih siapa yang akan dipanut untuk menjadi mentornya. Mereka pun akan menghindari perusahaan yang membatasi kegiatan networking mereka. Perusahaan yang terus bisa mempertahankan keunggulan, seperti Time Warner, Cisco dan Booz Allen, bahkan terus mendorong kesempatan berbagi know how dan memberi fasilitas untuk mengembangkan network yang tidak berbatas. Citibank dalam kampanyenya menuliskan “to work where and how you want”. Fleksibilitas memang perlu diciptakan dalam beragam bentuk yang kreatif. Kita harus menyadari bahwa segala sesuatu yang berbentuk remixed perlu dipersiapkan bila ingin menerapkan manajemen modern.

Bentuk Organisasi Modern

Tidak bisa diperdebatkan lagi apakah kita mau mencari pola baru dalam berorganisasi. Kita memang harus berubah. Organisasi baru harus mengakomodir proses ‘gunting-copot’ dengan cepat. Karyawan senior tentu saja memiliki 'kecanggihannya' sendiri, misalnya untuk pekerjaan yang mengandalkan tacit knowledge, pengalaman serta kepemimpinan. Amex dan Novartis, misalnya, menjaga dampak negatif dari peremajaan perusahaan, dengan tetap mempekerjakan para ahli senior yang keahliannya memang tidak tergantikan sampai mereka berusia 65 tahun secara part time. Di sisi lain, perusahaan perlu jeli mengoptimalkan kecanggihan yang dikuasai oleh boomers dan gen Y, misalnya kepandaian multitasking, ketajaman dalam menarik data dan informasi, serta kreativitas yang tinggi.

Dalam tim sepakbola, kita melihat bagaimana para pro cabutan berkumpul dalam satu tim dan kemudian bersatu dalam ambisi dan idealisme 'membela negara'. Keliru bila kita membatasi peran strategis kaum muda dengan anggapan bahwa generasi muda tidak punya ambisi, tidak punya idealisme dibanding generasi sebelumnya. Bukankah kita bisa lihat banyak anak muda berani memilih pekerjaan dengan gaji kecil pada perusahaan yang berorientasi ramah lingkungan, eco dan green dan begitu peduli pada pengembangan masyarakat. Ambisi dan idealisme inilah yang sebetulnya bisa menjadi perekat dalam organisasi modern untuk membangun tim dengan 'bentuk baru' yang lebih kuat. Tidak heran bila perusahaan seperti Virgin, Google, Facebook, Microsoft bisa terus mendobrak maju karena sistem yang dianut mengakomodasi keinginan anak muda kreatif yang juga sekaligus idealis.

Dimuat di KOMPAS, 17 Juli 2010

EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com/

Garda Depan

Siapa pun akan ‘kesengsem’ bila memasuki sebuah restoran dan disambut dengan manis, informatif dan gesit oleh seorang ‘frontliner’. Ini bukan taktik dagang yang merupakan rahasia perusahaan lagi. Semua orang tahu, garda depan adalah andalan perusahaan. Namun, tidak semua kita segera bisa membayangkan berapa banyak waktu dan betapa rumitnya membentuk garda depan yang helpful, tangkas dan handal. Ketrampilan dan standar layanan, bisa saja diajarkan melalui training dua atau tiga hari. Tapi, ketrampilan saja tanpa diwarnai spirit melayani yang kental, tentu akan segera terasa 'palsu' dan kakunya, tidak akan pernah bisa membuat pelanggan terkesan. Banyak sekali pemilik perusahaan, direktur dan manager mengeluhkan garda depan yang spirit melayaninya 'naik–turun', tidak konsisten. “Kalau pimpinan ada di lapangan, semua berjalan baik. Begitu kita tidak hadir, komplen berdatangan.”

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Membentuk dan menularkan spirit melayani, dari pucuk pimpinan sampai ujung garda paling bawah, memang senantiasa menjadi tantangan, bagi perusahaan kaliber nomor satu sekalipun. Di sini kita tidak lagi bicara masalah individu atau tim garda depan, tapi atmosfir dan budaya yang tidak hanya teraga, tapi juga harus terasa dalam setiap kata dan tindakan. Bukan saja di perusahaan jasa, seorang teman di sebuah pabrik padat karya pun mengeluh: “Mengapa ya, para pekerja tidak sadar bahwa kalau mereka mengerjakan tugasnya dengan penuh perhatian terhadap kualitas, perusahaan bisa lebih maju. Sekuat-kuatnya kita sebagai pimpinan jadi role model pun tidak membantu“. Sebuah data survey menyebutkan, sekitar 60% perusahaan yang berusaha memompakan corporate culture-nya mengalami kemandegan, tidak sampai ke lapisan paling ujung. Padahal garda depan inilah yang berurusan dengan pelanggan ataupun produk yang dihasilkan perusahaan. Banyak orang berkomentar, lini tengah-lah yang sering tidak mampu meneruskan pesan manajemen. Benarkah begitu? Apa yang bisa kita lakukan?

Komunikasi Bolak-balik

Banyak direktur dan manager mengeluhkan alotnya proses buy-in pada karyawan saat dilakukan cascading dalam penanaman nilai, misalnya saja nilai 'cinta pelanggan' atau 'cinta kualitas'. Kata cascading yang sering digunakan untuk menggambarkan sosialisasi budaya ataupun nilai-nilai perusahaan, sering membuat kita secara prinsipil merasa bahwa nilai-nilai tersebut harus di ‘guyur’-kan dari atas. Seolah-olah doktrin-doktrin yang sudah digariskan, bagai 10 perintah Allah yang harus dipatuhi. Namun, kita sendiri pun pasti mempertanyakan, seberapa efektif nilai-nilai bisa tumbuh dalam diri individu dan tim, bila mereka baru sekedar hapal tanpa penghayatan mendalam?

Sebuah perusahaan yang komit untuk memantapkan nilai dan budaya perusahaan, sangat menyadari bahwa diskusi-diskusi untuk mengumpulkan ‘masukan dari bawah’ sangat penting. Jumlah karyawan yang mencapai lima belas ribu orang membuat mereka melaksanakan tak kurang dari 5000 rapat untuk “menjangkau” seluruh karyawan. Di sinilah terlihat jelas betapa komitmen dari manajer-manajer lini tengah dan para supervisor diperlukan karena merekalah yang menghandel rapat-rapat kecil, mendengar baik-baik dan mengumpulkan masukan. Dari kegiatan ini, tidak hanya isi masukan yang jauh lebih berharga dari riset manapun, namun engagement karyawan pun lebih kuat karena mereka merasa hasil pemikirannya 'didengar' dan diterapkan oleh perusahaan.

Dalam proses pembentukan nilai, kita pun perlu menyadari bahwa doktrin satu arah tidak akan membuahkan hasil terbaik. Komunikasi bolak-balik diperlukan untuk menjamin tumbuhnya penghayatan. Aktivitas cascading yang efektif harus membuka seluas-luasnya kesempatan bagi individu untuk merasakan, terlibat, mendiskusikan, membahas kasus-kasus di lapangan dan mempertanyakan nilai-nilai yang ada, sehingga terjadi inner dialogue yang membuat nilai bisa tumbuh dan kemudian mengakar.

Suntikkan ‘Nilai’, bukan Sekedar Cara

Sebuah bank dengan reputasi standar servis yang sangat baik, masih merasa perlu melakukan benchmark pada sebuah rumah sakit yang dinilai bisa membuat pasien nyaman. Dari luar tampaknya rumah sakit ini tidak mempunyai SOP (Standard Operations Procedure) yang tegas. Semua pasien di dekati dengan cara yang berbeda-beda, tergantung penyakit, usia, suku bangsa, dan karakteristiknya. Dengan perlakuan ini, pasien yang datang segera bisa merasa nyaman, berkurang rasa takutnya, bahkan merasa betah dan ‘ingin kembali’.

Dari pengalaman benchmark, bank tersebut makin menyadari pentingnya memberikan pelayanan yang personal pada pelanggan yang mempunyai 1001 keunikan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Pemrosesan dokumen tentu harus singkat, cepat dan dilakukan dengan sigap, namun penanganan personal adalah kunci untuk memenangkan hati pelanggan. Manajemen bank segera menyadari bahwa sebelum mengarahkan pada pelayanan nasabah, karyawan pun juga perlu merasakan penanganan personal dari para atasannya. Karyawan juga perlu didekati secara tatap muka, face to face, hati ke hati. Selain karyawan perlu digelitik dengan persoalan bisnis seperti bagaimana membuat pelanggan lebih betah, bagaimana meningkatkan transaksi pelanggan dan memikirkan bagaimana perusahaan bisa menjadi word of mouth dari para pelanggan yang puas, karyawan pun perlu terlebih dulu merasa happy dan di treat secara personal.

Satu hal lagi yang bisa kita benchmark juga adalah pihak manajemen bank mendorong pimpinan dan manager untuk mengumpulkan contoh-contoh pengambilan keputusan para karyawan dalam menghadapi kebutuhan pelanggan yang unik dan berubah-ubah. Mereka meyakini pendapat: "New ideas pop up from the pressure of trying to solve a problem for the customer". Pengalaman dari karyawan ini yang kemudian di share dan dijadikan ajang belajar antar karyawan. Kita lihat bahwa standar layanan seharusnya memang tidak 'menyandera' garda depan sehingga jadi bersikap statis dalam memberikan pelayanan pada pelanggan. Penghayatan pun harus dinamis. Hanya dengan cara inilah perusahaan bisa: ”Moving beyond outputs”.

Dimuat di KOMPAS, 3 Juli 2010


EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com

Tata Krama

Tidak hanya gol-gol indah dan cantiknya permainan tim yang membuat kita tersihir pada ajang Piala Dunia tahun ini. Kericuhan, adu mulut, pertengkaran, juga 'pemberontakan' di balik laga pun tentu jadi perbincangan kita, seperti yang kita saksikan terjadi pada tim bola Perancis. Kita pun dibuat geleng kepala menyaksikan betapa individu bisa tiba-tiba begitu keukeuh membela ego pribadi, tidak mau mengalah, tak lagi menghayati kerja tim, juga tidak patuh pada pemimpin atau coach. Begitu harmoni tim sudah tidak lagi terasa saat latihan, kapten dan coach tidak mampu membuat para pemain sehati, sejiwa dan berlatih atau bekerja bersama-sama untuk menyerang lawan, seketika kematangan teknik tiap-tiap individu tidak lagi berarti dan tidak bisa mengangkat tim untuk berpestasi. Tim yang begitu disegani, juara Piala Dunia 1998 ini pun kocar-kacir. Sungguh disayangkan, kekuatan tim Perancis untuk melambungkan fenomena from Zero to Hero tidak terlihat di tahun ini.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Tidak hanya di lapangan hijau, dalam rapat-rapat perusahaan atau parlemen pun sering kita lihat gejala saling menyerang dan saling menjatuhkan, misalnya saja saat seseorang mempresentasikan pendapatnya. Seorang teman yang kecewa melihat hal ini suatu waktu berkomentar, “Individu seakan tidak lagi bisa melihat sisi positif, manfaat dan kelebihan anggota tim lain, bila di kepalanya sudah terisi keinginan menyerang.” Bayangkan apa jadinya tim, perusahaan, juga negara, bila yang dikedepankan adalah saling menyerang, sementara tata cara, tata krama dan aturan main dilanggar?

Di tengah makin canggihnya sistem manajemen, sebut saja balanced scorecard, 'ISO', 'corporate governance' dan segala macam inovasi manajemen untuk mengelola bisinis yang lebih efektif, yang perlu kita pikirkan juga adalah bagaimana hubungan interpersonal di dalam kelompok di atur agar lebih efektif. Pernahkah kita mengantisipasi konflik, keterasingan, individualism di dalam tim?

Seseorang yang merasa tidak dilibatkan sebelumnya dalam diskusi, tentu memilih diam saja dalam rapat, meskipun dia mempunyai ide-ide cemerlang. Hubungan interpersonal ini memang tidak bisa dilihat berkontribusi langsung dengan keuntungan perusahaan, namun sebaliknya kita nyata-nyata saksikan kerugian perusahaan yang terjadi bila tidak ada kekompakan, keterlibatan perasaan dan pikiran dalam kelompok. Kita tentu perlu serius memikirkan cara untuk 'back to basic', menegakkan norma kelompok dan masyarakat, sehingga kemajuan teknologi, kecanggihan media komunikasi serta semakin kompleksnya cara berpikir ini bisa dilandasi oleh aturan yang bisa dipatuhi bersama dan menciptakan harmoni.

Menjunjung Sikap Sportif

Sportivitas adalah hal yang senantiasa menumbuhkan respek dan membuat kita yang melakukan merasa bangga. Kita bisa temukan betapa pertandingan yang paling sadis pun tetap dimulai dan diakhiri dengan menghormati lawan dan negara. Semua taktik, trik, dan teknik dalam olahraga pun dilakukan dengan aturan main yang super ketat. Tidak hanya saat berlaga di arena saja olahragawan dituntut untuk berkompetisi jujur, saling menghormati dan patuh pada apapun hasil pertandingan, namun olahragawan yang sekarang ini sudah menjadi selebriti dan senantiasa berada di bawah lampu sorot, diharapkan menjaga perilaku dan tata krama bergaul, sebagai bagian dari 'showmanship'-nya. Meski bukan atlet, kita pun bisa memilih bersikap fair menghadapi kekalahan, disiplin, tidak main curang, namun tetap mampu mempresentasikan buah pikiran kita secara straightforward dan benar.

Kita bisa belajar dari Lionel Messi. Ia yang sesudah tiga kali pertandingan tidak kunjung mencetak gol, berkomentar: "Saya tahu, saya belum mencetak gol. Tapi, saya tak terganggu dengan kenyataan ini. Saya ingin sekali mencetak gol dan saya yakin gol itu akan datang dalam waktu dekat ini.” Kata-katanya sungguh menunjukkan tanggung jawabnya terhadap harapan fans, negara, pelatihnya dan tim. Praktik sikap sportif ini hanya bisa dikembangkan melalui learning by doing. Orang tidak lahir dengan pemahaman norma kelompok. Norma kelompok ini tumbuh di dalam diri individu sebagai hasil interaksi dirinya dengan kelompok dan komunitasnya, dan mencontoh perilaku role model-nya.

Itu sebabnya sikap sportif perlu kita upayakan tumbuh dalam setiap situasi, baik di rumah, kantor maupun dalam rapat, tanpa perlu banyak alasan.

Maju Terus sesudah Konflik

Reaksi ‘patah arang’, ‘ngambek’, ‘walk out’ sesudah konflik keras sering terjadi dalam kerja kelompok. Ini tentu tidak bisa dibiarkan jadi kebiasaan, apalagi dijadikan contoh. Kita tahu bahwa konflik pasti terjadi, bahkan tak jarang malah akan memperkaya kekuatan kelompok. Namun, saat umpan balik diberikan dan kesalahan ditunjukkan, sering kita lihat anggota kelompok yang langsung defensif, merasa di nilai jelek atau bahkan merasa dipersalahkan. Terkadang ini berujung pada pemikiran untuk tidak lagi berkontribusi dalam proyek, tidak lagi all out' dalam menyerang pasar atau memenangkan persaingan. Tanpa memupuk kedewasaan, tentu sulit untuk kita maju, menyerang dan berprestasi.

Ada sebuah perusahaan, di mana pada setiap awal meeting dibacakan tata krama rapat. Isinya antara lain ketentuan penggunaan handphone, keharusan tiap individu mengeluarkan pendapat, dorongan bersikap terbuka untuk menyatakan ketidaksetujuan, fokus pada upaya mencari jalan keluar serta sikap merespek setiap pendapat tanpa melupakan tanggung jawab bersama untuk tercapainya sasaran rapat dengan optimal. Dengan cara seperti ini, terbukti setiap orang jadi terdorong untuk bersikap dewasa menghadapi perbedaan pendapat, sudut pandang dan persepsi. Mereka pun bisa mengalahkan kepentingan dirinya pada saat memikirkan kepentingan kelompok dan perusahaan.

Kemenangan atau kekalahan, sebagaimana dalam pertandingan olahraga, adalah hasil yang sering tidak bisa diganggu gugat. Bagaimana pun juga, hasil yang diperoleh adalah buah kerja keras yang harus diterima dengan lapang dada. Saling tuding antar kelompok, antara pelatih dan pemain, bahkan kilas balik permainan pun sudah tidak bisa mengubah hasil. Tidak ada salahnya kita di dunia komersial dan pemerintahan mempelajari sikap ini. Kalau kita mau berjuang dan ‘fight', lakukanlah pada saat ‘bermain’, bukan sesudahnya.

Dimuat di KOMPAS, 26 Juni 2010

EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com

Monday, July 26, 2010

Interviu

Setiap orang pasti akan meningkat kewaspadaannya bila sedang menghadapi interviu. Bagi fresh graduate ataupun orang yang melamar pekerjaan, situasi interviu seringkali menjadi situasi yang menegangkan. Bagi karyawan yang diinterviu untuk kepentingan promosi atau pindah ke bagian lain pun, perasaan deg-degan juga biasa menyertai. Kita bisa menyaksikan, banyak sekali ulah para kandidat dalam menghadapi wawancara. Ada yang diam dan menjawab seperlunya karena terlalu tegang, ada yang 'ja-im' (baca: jaga image) sampai-sampai berperilaku dibuat-buat dan tidak wajar, sementara ada juga yang berlatih keras menghafal jawaban atas pertanyaan-pertanyaan standar yang tercantum di kebanyakan buku-buku di pasaran.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dalam wawancara, kita kerap melihat bukan hanya kandidat yang 'sibuk' dan tegang, namun pewawancara pun tak jarang juga tegang. Ada pewawancara yang kelihatan bingung mau bertanya apa dan sibuk mencari-cari pertanyaan yang tepat. Ada juga yang sepanjang wawancara sibuk membolak-bailk CV kandidat dan akhirnya sekedar menegaskan apa yang sudah tercantum di dokumen yang ada. Bahkan, ada juga pewawancara yang lebih banyak berbicara sehingga si kandidat terlihat hanya manggut-manggut saja. Kadang kita dengar komentar frustasi pewawancara: “Saya tidak bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk”. Tak jarang juga kita temukan komentar: “Ah, saya tidak senang menentukan nasib orang .....”.

Krusialnya proses wawancara memang menuntut baik pewawancara maupun orang yang diwawancara untuk melakukan persiapan yang matang. Di satu sisi, kita menghadapi kenyataan tenaga yang menganggur di negara kita jumlahnya sangat banyak, sementara di sisi lain perusahaan pun mengeluhkan susahnya menemukan kandidat yang cocok untuk dipekerjakan. Bila saja kandidat dan pewawancara sedikit berupaya lebih keras lagi untuk saling mengerti dan membuka diri, persentase keberhasilan rekrutmen pasti bisa ditingkatkan.

Menerawang Jabatan

Dalam situasi interviu, tugas seorang pewawancara adalah menerawang kandidat untuk mengetahui apakah yang bersangkutan cocok untuk menduduki jabatan yang dilamar. Tentu saja bukan hanya 'terawangan' mengenai kapabilitas kandidat untuk bisa mengerjakan pekerjaan tersebut dengan sempurna, namun juga sikap apa yang mendukung, tipe kepribadian apa yang cocok dan ketrampilan khusus apa yang dibutuhkan. Dengan waktu bertemu yang terbatas, yaitu satu jam atau paling lama dua jam, tanggung jawab ini memang tidak ringan.

Kita sering melihat sebuah pekerjaan, katakanlah teller sebuah bank, secara taken for granted, alias dipahami oleh siapa saja. Jika kita bertanya pada seorang kandidat: “Anda tahu apa tanggung jawab dalam pekerjaan teller?” Maka dengan segera mereka bisa menjawab: "Menerima dan membayarkan uang”. Tetapi kalau pertanyaan diteruskan, “Apakah Anda tahu seberapa lelahnya kerja seorang teller?”, maka ia pun terdorong berpikir keras mengenai tenaga, intensitas dan kegiatan seputar pekerjaan tersebut. Dengan pemahaman yang tajam, proses penggalian bisa dilakukan lebih mendalam dan 'penerawangan' bisa dilakukan dengan lebih mudah.

Seorang pewawancara bisa saja sudah sering melakukan interview, namun demi ketepatan proses interviu, ia memang dituntut untuk selalu menerawang jabatan yang akan diisi sehingga bisa mempersiapkan pertanyaan yang tajam. Hanya dengan analisa spesifik mengenai jabatan yang akan diisi ini, pembicaraan akan lebih terfokus. Pewawancara pun tinggal mencocokkan pengalaman sukses dan gagal yang dimiliki kandidat dengan tuntutan ketrampilan, pengetahuan, sikap dan kultur perusahaan. Dengan begitu, masing-masing pihak tidak membuang waktu untuk menegaskan spesifikasi pekerjaan pada saat interviu.

Menemukan Daya Tarik

Dalam interviu kita akan berhadapan dengan kandidat, satu lawan satu, face to face. Suasana tegang akan terus terpancar, bila pewawancara sudah enggan untuk membangun koneksi dengan si kandidat. Sebagai pewawancara, kita perlu percaya bahwa setiap individu pasti punya keunikan. Bila kita tidak meyakini bahwa tiap individu punya daya tarik, pastinya akan sulit menemukan kandidat-kandidat yang cocok. Betapa seringnya, saya ‘menemukan’ kandidat potensial justru setelah beberapa waktu kita secara subyektif mencari hal yang menarik dari individunya. Ini bukan berarti bahwa kita meninggalkan objektivitas, namun pendalaman tentang apa yang disukai dan apa yang tidak disukai, apakah seseorang itu ‘gampang diatur’ atau tidak, bahkan potensi kepemimpinannya, hanya bisa ditemukan bila kita betul-betul mau ‘mendalami’ seseorang.

Sebaliknya, di pihak kandidat, tidak ada salahnya menampilkan daya tarik, sesuatu yang khas diri sendiri. Bukan berarti bersikap seksi, seduktif, berlebihan, tetapi justru saat seseorang nyaman menjadi dirinya sendiri, maka ia serta merta akan menjadi pribadi yang menarik.

Upaya Sadar Menghindari 'Bias'

Manusia memang selalu berasumsi. Demikian pula, manusia memang tidak bisa melupakan pengalaman masa lalunya, baik positif maupun negatif. Mau tidak mau proses interviu menggunakan penilaian yang subyektif dari pewawancara. Misalnya, kita menilai seseorang dari suku bangsanya, latar belakang sekolah atau jurusannya, bahkan kemiripan dia dengan seseorang yang kita kenal. Di satu sisi, intuisi kita, bila dilatih dan diasah, bisa jadi senjata yang baik untuk menganalisa dan mengambil kesimpulan. Namun sebaliknya, sebagai pewawancara kita pun harus berhati-hati agar tidak terkecoh dengan pengambilan kesimpulan yang tergesa-gesa. Kita harus sadar akan upaya kandidat untuk memenangkan kesan pertama, misalnya dengan memoles diri dengan penampilan yang menarik atau menggunakan kata-kata yang 'mengangkat' hati kita. Untuk bisa mendapatkan penilaian yang akurat, kita perlu keluar dari jebakan stereotip dan senantiasa mencari bukti-bukti objektif dan kuat sebelum mengambil kesimpulan tentang diri seseorang.

Dimuat di KOMPAS, 19 Juni 2010

EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com

Harga Diri

Masyarakat Indonesia sekarang bisa mengerti dan mengetahui berapa 'harga' Sri Mulyani, mantan menteri keuangan RI, sebagai seorang profesional. Media massa secara gamblang memaparkan sekian milyar gaji, sekian milyar tunjangan pensiun, serta sekian milyar tunjangan lain-lain yang akan diterima beliau nanti sebagai salah satu direktur Bank Dunia. Seorang pebisnis sukses, sering juga secara berkelakar bertanya pada saya, berapa ia akan dihargai oleh dunia profesi, bila ia menjadi seorang profesional. Terlepas dari kesuksesan seseorang, kita tahu bahwa banyak orang bertanya-tanya dan menggunakan gaji yang diterima ataupun pangkat yang dimiliki sebagai salah satu cara mengukur 'harga' dirinya, juga 'harga' orang lain.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Pertanyaan yang menggelitik adalah seberapa tepat orang bisa mengukur 'harga diri'-nya dengan upah yang ia terima? Pernahkah kita yang punya pangkat dan gaji besar, merasa diri tidak ada artinya saat pendapat kita tidak didengarkan oleh publik? Dengan kedudukan yang kita miliki, pernahkah kita menghadapi sorot mata yang mempertanyakan, “Siapa Kamu?”, saat kita menginstruksikan sesuatu? Kita yang terkadang terlalu materialistis dan mengejar kekayaan, pastilah ada rasa tertampar juga, misalnya saat menonton film Laskar Pelangi, yang memperlihatkan betapa orang mengejar nilai-nilai yang lebih luhur dan mengebelakangkan upah dan kekayaan.

Kita memang perlu merasa 'berharga' untuk membuat kita mampu berdiri tegak, merasa bermakna dan happy di tengah lingkungan kita. Harga diri bisa menjadi masalah kita, terutama saat menghadapi situasi-situasi pelik, di mana kita terjebak di dalam situasi yang sudah tidak obyektif lagi. Kita lihat bahwa seseorang tentu saja pantas membela diri, menyatakan ia benar, bila ia dipermalukan di depan publik. Namun, apa sebenarnya perbedaan antara bersikap defensif dengan tindakan bersikeras menjaga muka profesi, jabatan ataupun diri? Cukupkah untuk meyakini bahwa dengan lurus memegang prinsip kita bisa tetap survive di situasi sosial yang penuh dengan trick agresivitas, politik dan kecurangan ini?

Sasar Penguatan Ego

Banyak orang menggunakan kata ego secara salah kaprah. Jika mengacu pada teori yang disampaikan bapak ilmu Psikologi, Sigmund Freud, ego adalah kekuatan penyeimbang pertarungan antara dorongan naluriah untuk mencapai kehendak (Id) dengan tuntutan untuk menuruti nilai-nilai sosial dan budaya (superego). Semakin banyak individu berhasil menyelesaikan konflik, apakah melalui kontrol emosi, rasionalisasi, komunikasi ataupun tindakan yang berfokus pada penyelesaian masalah, maka akan semakin kuat egonya. Seorang yang kuat egonya, mempunyai cukup enerji untuk melawan tekanan, godaan, bahkan hinaan, tanpa harus bersikap defensif atau menyerang balik. Sebaliknya, setua apapun individu, bila ia tetap tidak berhasil menumpuk keberhasilan balancing dalam hidupnya, akan tetap panik dan kurang kontrol, tidak kenal dirinya dan sering mengambil tindakan yang tidak yakininya sebagai tindakan yang benar.

Dalam dunia kerja, eksekutif, birokrasi maupun otokrasi, kita kadang mendengar pengakuan pejabat yang melakukan sesuatu yang tidak sesuai hati nuraninya karena “diminta oleh atasan”. Bahkan, ada juga individu yang menekan prinsip pribadi dan bertindak atas nama segolongan orang, untuk bertindak tidak fair. Orang yang sedang berjuang untuk menjaga jati dirinya tentu harus berjuang untuk tidak mengalah pada prinsip 'cari aman'. Seorang ahli Kimia, Helen Keller, pernah mengatakan: “Security is mostly a superstition. Avoiding danger is no safer in the long run than outright exposure. Life is either a daring adventure, or nothing”.

Individu yang matang tetap harus berpegang pada sasaran dan rencana pribadinya, dalam setiap situasi. Kemenangan pribadi inilah yang bisa menjadi sumber kekuatan moral selanjutnya. Kemenangan mental ini akan menjadi modal kebahagiaan yang bukan main besar nilainya. Orang boleh tidak banyak uang, tetapi bila mentalnya kuat, ia tetap mampu berbahagia. Beginilah cara orang membangun ego-nya.

Tumbuhkan Rasa Berharga

Di sebuah perusahaan, banyak karyawan muda potensial mengeluhkan sulitnya untuk mengemukakan pendapat secara terbuka di depan pimpinan. “Di sini haram hukumnya untuk kita berargumen, apalagi mengatakan tidak.” ungkap mereka. Kita lihat ternyata masih banyak orang dan organisasi yang tidak menyadari betapa menciptakan lingkungan yang asertif sangat besar peranannya untuk menumbuhkan rasa ‘berharga’ dalam diri individu dan tim.

Lingkungan yang tidak asertif, di mana saran dan ide kerap dipatahkan, di mana kita tidak diperkenankan mengemukakan pendapat secara terbuka, serta dianggap kurang ajar bila mengatakan ‘tidak’, sering membuat orang tidak mempunyai kesempatan untuk menghidupkan ‘social smartness’-nya. Demikian juga, social smartness tidak akan berkembang di lingkungan yang tidak tahu cara berbantah, berdiskusi, berdebat tanpa harus mempermalukan lawan bicara. Situasi seperti ini menyebabkan seseorang tidak mempunyai rasa ‘berharga’ bila bisa mengekspresikan cara pikirnya, memilih dan membuat keputusan. Dalam lingkungan seperti ini, seseorang tumbuh tanpa kesempatan merespek dirinya, kurang terasah untuk mengkotak-katik nilai-nilai yang dia anut, apalagi mengkaji wants dan needs-nya. Kita perlu sadar bahayanya tidak bisa merespek diri, karena individu seperti ini tidak akan pernah bisa merespek orang lain secara wajar pula.

Living Consciously

Dalam sebuah aktivitas pelatihan, saat saya meminta peserta untuk secara intensif memikirkan diri sendiri, sering saya menghadapi wajah-wajah yang meragukan. Ada yang sambil tertawa-tawa berkomentar: “Kalau begitu, kita egois dong...”. Kita terkadang memang sering lupa bahwa mengaktifkan pikiran dan mempunyai kesadaran penuh atas apa yang kita hadapi secara internal dan eksternal adalah kunci kematangan dalam bertindak. Kalau kesadaran diri menurun, kita bisa seperti anggota dewan wakil rakyat yang tersorot media namun tidak sadar bahwa ia melakukan tindakan yang kekanak-kanakan. Kitalah yang harus secara aktif, bahkan proaktif, memilih untuk menghadapi situasi eksternal sambil menyadari penuh proses di dalam diri kita, dasar tindakan, motif, nilai, sasaran dan keinginan kita. Bukankah tidak ada seorang pun yang lebih bertanggung jawab menggarap diri kita selain diri kita sendiri?

EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
Experd Consultant

Patuh

Teman saya merasa tidak ‘cocok’ dengan atasannya. Ia mengatakan atasan sering tidak merespek dirinya, misalnya memarahinya di depan umum. Hubungan atasan-bawahan terasa tidak harmonis. Namun, tidak satu pun di antara kedua belah pihak, merasa bahwa ada yang salah dalam hubungan kerja mereka, padahal hubungan atasan-bawahan tersebut sudah berjalan dalam jangka waktu yang cukup lama. Hanya saja, tidak terasa adanya kata sepakat atau tepatnya kemesraan di antara mereka. Apakah kedua eksekutif ini berbeda persepsi atau apakah mereka memang tidak mempunyai “chemistry”?

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Sedikit-banyak, hubungan yang tidak mesra antara atasan-bawahan pastilah akan mempengaruhi kinerja, juga ownership terhadap tugas dan tim. Lalu, siapakah yang bertanggung jawab untuk menjaga kemesraan? Banyak orang sering menafsirkan bahwa bawahan perlu menerka keinginan atasan. Demi mendapatkan nama baik di depan atasan, ada yang mengatakan bahwa bawahan harus datang lebih awal dari jam kerja atasan, juga pulang lebih belakangan dari atasan. Ada yang berpendapat, sebagai bawahan kita perlu menyampaikan berita yang baik-baik saja dan tidak menyampaikan kabar buruk ke atasan, karena menyampaikan kabar buruk malahan bisa merusak hubungan baik,”the messenger get killed”. Banyak juga yang berlindung dibalik birokrasi, misalnya tidak mendahului, mematuhi aturan alur komunikasi yang sangat baku dan hanya berbicara dengan atasan ketika atasan seolah-olah menghendaki situasi komunikasi tersebut. Sebaliknya, teman kerja yang berhasil mempunyai hubungan ‘dekat’ dengan atasan, sering dituduh sebagai pembisik, pencari ’muka’ dan dinilai tidak etis dalam melaksanakan hubungan kerja. Benarkah itu? Apakah hubungan ke atasan, leading-up, demikian rumitnya?

Profesionalitas leading-up

Teman saya meyakini faham a good leader is a good follower. Ia mengatakan bahwa individu di mana pun ia bekerja, dengan siapa dan untuk atasan mana pun, haruslah mengembangkan sense of duty. Bila kita menyadari bahwa kita tidak bisa punya pilihan lain kecuali menjalankan tugas, biasanya kita akan terlihat oleh atasan sebagai orang yang patuh pada misi dan visi perusahaan. Tugas kitalah untuk melaporkan kabar baik maupun kabar buruk. Tugas kitalah untuk berpikir keras mencari solusi. Tugas kitalah untuk berinisiatif, berkreasi dan berinovasi. Tugas kita jugalah untuk menginisiasi pembicaraan, memahami apa yang diinstruksikan, disampaikan, bahkan dirasakan atasan.

Dengan menyadari misi dalam pekerjaan, proses leading-up menjadi lebih mudah. Bahkan bila kemudian terlihat perbedaan cara kerja, pendapat dan persepsi, akan lebih mudah menyelesaikannya dengan komunikasi yang intensif. Teman saya yang bekerja di angkatan bersenjata pun setuju bahwa dalam ketentaraan yang birokrasinya sangat kental pun ada pembicaraan diskusi dan debat yang intensif antara atasan-bawahan yang perlu terjadi di luar suasana briefing. Intinya, sikap patuh akan menyamakan dan menyelaraskan tujuan masing-masing individu yang mengerti akan tujuan perusahaan.

Seorang ahli manajemen mengatakan bahwa justru bawahan yang merasa comfortable dengan atasan yang seperti apapun, biasanya adalah orang yang berintegritas dan berwibawa. Bahkan kalau sampai ada kejadian di mana seorang atasan ‘salah jalan’ sekalipun, seorang bawahan yang berpegang teguh pada misi perusahaan, profesi dan pribadi pasti bisa memutuskan bagaimana bersikap yang seharusnya. Tidak perlu ragu apakah ia perlu menjadi whistle blower alias pembuka rahasia atau si penurut yang tidak berani berpendapat. Bawahan yang kuat menjaga prinsip dan berpegang pada misi perusahaan, biasanya tidak akan kehilangan respek baik dari bawahannya maupun dari atasannya, karena pada dasarnya sikap ini memancarkan kharisma dan kepemimpinan tersendiri.

Followership yang dinamis dan pemberani

Dalam keadaan ekonomi dan perkembangannya yang menuntut lebih sedikit manusia, lebih keras upaya dan lebih besar hasil, mengelola hubungan dengan atasan atau managing up menjadi sangat penting. Bukan untuk membuat diri kita ‘aman’ dan tidak di PHK, tetapi justru untuk kelincahan ‘memainkan’ peran dan kinerja sesuai dengan kehendak perusahaan. Seorang ahli manajemen mengatakan: ”Stretch yourself. You need to go above and beyond the tasks assigned to you so that you can enhance your manager's work”.

Pada intinya, managing up adalah kemampuan seseorang untuk memudahkan pekerjaan atasan. Tentunya dalam hal ini kita perlu mengupayakan kemampuan kita untuk mengendus dan menerka kapan atasan lebih memerlukan kita dan informasi apa yang ia butuhkan. Teman saya, yang sangat nyaman dengan posisinya sebagai asisten atasannya menyampaikan rahasia me-manage ke atas: 'pertama-tama kita perlu tahu bagaimana berpendapat, berbicara dan berargumentasi seperti atasan kita'. Sebaliknya kitapun perlu meneriakkan: 'pendapat professional kita sendiri dan bahkan menunjukkan bahwa semua tindakan kita adalah insiatif kita sendiri'. Begitu kita merasa sekedar ‘orang suruhan’ maka kita terancam menjadi bawahan yang yang tidak berkinerja. Manajemen ke atas yang banyak didominasi dengan manajemen informasi dan trust, membuat kegiatan berpolitik kantor hampir-hampir tidak diperlukan lagi.

Dimuat di KOMPAS, 24 April 2010


EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com

Ilmu

Belum selesai isu pelaksanaan ujian negara yang dianggap sebagai momok bagi sekelompok orang di dunia pendidikan, kita kembali tertampar dengan mencuatnya berita plagiat dalam penyusunan skripsi, tesis, bahkan disertasi doktor. Tugas akhir yang biasanya memakan pemikiran dan jerih payah berbulan-bulan, memaksa kita untuk membedah puluhan buku dan teori, senantiasa dipandang sebagai masterpiece-nya seorang mahasiswa, tidak lagi menjadi ‘sakral’ dan dengan mudahnya bisa diupahkan ke orang lain. Hal yang lebih mencengangkan, si 'pemberi jasa' pembuatan skripsi dengan terang-terangan beriklan di koran-koran, seakan sah-sah saja tindakan yang dilakukannya. Ada apa sebenarnya dengan pengembangan ilmu di negara kita, sehingga pelecehan, penyelewengan seolah menjadi marak dan dianggap membudaya?

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Tak pelak, kita pasti tergelitik untuk bertanya, apakah kita memang punya banyak alasan untuk berada jauh dari obyektivitas dan pengembangan ilmu? Bukankah universitas kita yang sudah berdiri sejak jaman Belanda juga punya reputasi yang tidak kalah dengan negara lain? Bukankah banyak sekali ahli, peneliti, insinyur, dokter, ekonom ternama juga keluaran universitas negeri kita? Bukankah banyak karya terbaik dan bermanfaat dihasilkan, bahkan insinyur Departemen Pekerjaan Umum kita juga sudah meluncurkan alat penyaring air kotor praktis yang bisa digunakan para korban banjir dari manfaat ilmunya? Dengan kemajuan teknologi yang memungkinkan kita untuk semakin mudah mengakses teori, riset, informasi, bukankah semestinya pengembangan ilmu semakin pesat dan bukan sebaliknya semakin tumpul, bahkan kotor? Apa benar mindset intelek kita sedang bermasalah?

Kita memang bisa melihat kemajuan dan pengembangan ilmu dari bagaimana aplikasi nyatanya dalam masyarakat. Namun, pengaruh dunia pendidikan juga bisa kita teropong dari sikap terhadap masalah, cara berpikir, cara menganalisis, bahkan cara bicara. Bila kita menyaksikan cara orang bertanya, tanpa diikuti pengambilan kesimpulan yang bermutu, cara orang berkomentar yang tidak didukung data tanpa rasa bersalah, kita memang perlu prihatin dengan kurang berpengaruhnya dunia pendidikan dalam perkembangan sikap intelek di masyarakat kita.

Bertanya sebelum Menyimpulkan

Cucu saya, seperti halnya anal-anak lain, terus menanyakan pertanyaan-pertanyaan kritis. Pernah saya tanyai, dari mana ia mendapatkan ide untuk mengajukan pertanyaan tertentu. Lucunya, ia menjawab bahwa di sekolahnya ada pelajaran khusus, yang diberi nama enquiry learning. Di sini setiap siswa diberi suatu topik dan hanya boleh ‘bertanya’ dan ‘bertanya’, kemudian beramai–ramai membuat kesimpulan tentang apa yang mereka 'temukan' hari itu dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

Saya tertegun dan berpikir, betapa banyak di antara kita memang tidak dilatih dan tidak merasa penting untuk sabar menggali pemahaman secara mendalam. Padahal bila selama pendidikan dasar kita diberikan latihan semacam itu, tidak hanya kita terbiasa untuk mengambil kesimpulan yang tajam, namun kita juga bisa berkomunikasi dengan lebih harmonis dan berelasi dengan lebih efektif. Kita sama-sama tahu, bila kita tidak secara seimbang menggali pemahaman dengan 5W + 1 H (what, when, who, where, why dan how), tak jarang dampaknya akan membuat hard feeling dari lawan bicara atau tidak didapatnya kesimpulan yang bermutu, bahkan melenceng.

Menemukan AHA Experiences

Tentu kita masih ingat dengan cerita telur Colombus. Saat Colombus mendemonstrasikan cara memberdirikan telur di depan cendekiawan Spanyol, yang tidak berhasil menjawab tantanganya tersebut, mereka segera berkata “Ooo... begitu”. Ini sebenarnya adalah proses penerimaan input, didapatkannya sebuah pemahaman baru dan pengambilan kesimpulan yang penting untuk pengayaan intelektualitas individu. Ungkapan “Ooo begitu”, tentu saja sangat berbeda dengan ungkapan: “Okelah kalau begitu”. Dari pernyataan pertama, tampak diperoleh aha experience, di mana individu menemukan solusi atau jawaban dari suatu permasalahan yang selama ini masih kabur. Sementara pernyataan kedua, hanya persetujuan mengenai pendapat atau keadaan, terlepas dari apakah ia paham atau tidak esensi permasalahannya. Aha experiences inilah yang mestinya dihayati dan digali setiap orang dalam tiap situasi, bukan semata milik peneliti dan penemu, seperti Einstein dan Thomas Alfa Edison saja.

Kita bisa semakin jauh dari sikap ilmiah, bila tidak membiasakan diri membaca dan mengambil keputusan berdasarkan analisa data. Di sebuah perusahaan, para manajer yang hampir semuanya sarjana, seringkali berbantah-bantahan dan berkomentar tanpa diperkuat data. Ujung-ujungnya, masalah yang ada tetap tidak kelihatan akarnya. Keputusan pun diambil secara intuitif (baca: tradisional), tanpa dasar yang jelas. Teman saya yang menyaksikan hal ini, sambil menyayangkan, berkomentar: ”Ini baru satu perusahaan, bagaimana kalau satu negara?”. Dari sini kita perlu meninjau kembali kebiasaan di lingkungan kerja kita sendiri. Apakah kita sudah menumbuhkan rasa ingin tahu yang positif? Apakah kita biasa mengajak teman-teman memeras otak untuk mendapatkan solusi kreatif? Apakah kita peduli untuk mengajak lingkungan mencari esensi permasahalan dan kemudian menghitung agar pengambilan resiko bisa pas?

Bila ditelaah kembali, yang menjauhkan kita dari keilmiahan dan keintelekan, bukanlah mundurnya dunia pendidikan semata. Kita sendiri dan cara pergaulan kitalah yang menyebabkan kita tidak malu untuk ‘ngawur’, beralasan untuk tidak obyektif serta malas berpikir. Bila kondisi seperti ini kita pelihara, wajar saja bila para plagiator dan tukang contek tidak terusik rasa malunya dan bahkan masih berani menepuk dada dan minta dielu-elukan.

Dimuat di Kompas, 27 Februari 2010

EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com

Misi

Seorang wanita sukses yang hampir memasuki usia 80 tahun, ditanya teman-temannya, apakah beliau akan membuat pesta besar untuk merayakan ulang tahunnya. Dengan penuh senyum ia menjawab bahwa dirinya ingin ‘cari duit’ saja. Maksudnya, dalam rangka ulang tahun, ia akan membuat acara penggalangan dana. Dana yang terkumpul akan dimanfaatkan untuk membangun gedung laboratorium, asrama untuk anak jalanan atau kegiatan sejenisnya.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dalam usia yang sudah lanjut, beliau masih memikirkan cara membangun dan membuat sesuatu. Saat ditanya apa yang menjadi gregetnya, ia berkomentar,“Sederhana saja. Saya melaksanakan misi suami yang sejak dulu ingin membantu orang miskin, memajukan kesehatan dan pendidikan.” Ternyata kekuatan kehendak suaminya yang sudah meninggal puluhan tahun lalu membuat wanita ini bertujuan dan mampu memaknai hidupnya dengan upaya-upaya positif, berarti dan berguna.

Seorang Psikiater, Victor Frankl, mengemukakan pentingnya menyadari dan menyuarakan ‘purpose of life’ individu. Tidak hanya sekedar untuk diri pribadinya, namun juga pada keluarga, anak, cucu, karyawan, anggota kelompok bahkan rakyatnya. Frankl juga menekankan bahwa manusia punya kebebasan penuh untuk menyikapi situasi yang dihadapinya. Apakah itu kegelapan, tantangan, godaan, kenikmatan, batu besar ataupun kerikil. Pada akhirnya, manusia memang bisa mengisi hidupnya dengan good stuff atau ‘bad stuff’ dan menjadikan dirinya pribadi yang terhormat atau tidak terhormat.

Saya jadi teringat cerita ayah saya tentang pengalamannya berada di tahanan Belanda. Di sana ada seorang temannya yang punya kebiasaan berbagi. Apapun makanan yang ditemukan, bahkan telur bebek yang sulit dibagi sekali pun, akan di-share dengan seluruh anggota kelompok. Ini membuktikan bahwa dalam keadaan sulit dan ‘survival’ sekali pun, seseorang tetap punya pilihan untuk menjadi manusia yang bermutu atau tidak. Tentu saja ini sulit terjadi jika beliau tidak punya ‘misi’ yang membuat dirinya dengan mudah menentukan langkah dan mengambil sikap.

Di jaman modern ini, kita lihat semakin banyak individu berkeyakinan bahwa kebahagiaannya datang dari kekayaan materi. Banyak orang sudah tidak bisa membedakan halal tidak halalnya mata pencaharian, dibudakkan harta, lupa batas antara kebutuhan dan keserakahan, bahkan tidak peduli membangun karakter pribadi. Buntut-buntutnya, setelah kekayaan di tangan pun, hidup tetap terasa pahit dan tidak berarti.

Banyak orang yang sudah ‘punya segalanya’, namun tidak bahagia dan berusaha mencari ketenangan melalui upaya penggalangan kegiatan religius yang tidak berujung. Bagaimana pun, kesibukan dan tantangan yang terus menerus hadir di depan mata, memang bisa membuat kita tidak punya lagi banyak waktu untuk melakukan refleksi diri. Jika kita ingin hidup kita berarti, tampaknya kita harus memaksa diri untuk diam sejenak, memikirkan kembali, dan memahami dengan jelas apa misi hidup kita.

Power of Missions

Pertanyaannya, bisakah seseorang menjalankan hidup tanpa misi yang jelas? Terkadang banyak orang di sekitar kita yang mengambil keputusan tanpa repot-repot pikir panjang mengenai ‘apa yang ingin ia capai’ dalam hidupnya. Banyak di antara kita tidak mendera diri untuk mencari jawaban ‘mengapa’ ia bersikap dalam situasi tertentu. Misalnya saja, orang tua yang bercerai karena emosi dan marah pada pasangan, tanpa memikirkan nasib putra-putrinya. Dalam situasi ini kita bisa meilihat bahwa prioritas untuk membuat putra-putrinya bahagia, aman dan nyaman, tidak menjadi dasar mengambil keputusan.

Ada seorang pemilik perusahaan yang membawa perusahaannya tumbuh besar, kemudian menjualnya dan meraup keuntungan besar dari proses akuisisi perusahaan. Setelah diakuisisi, ia tidak lagi tampak serius menggarap pengembangan perusahaan dan berhenti berinvestasi. Di sini kita bisa bertanya-tanya, apa misi pemiliknya? Dalam situasi ini, masih bisakah ia mempengaruhi karyawan untuk terus berinovasi? Apakah beliau kemudian bisa menjawab kepentingan kolektif stakeholder lainnya?

Dari situasi tadi kita bisa melihat betapa seseorang bisa kehilangan arah dan power jika tidak jelas misi dirinya. Dalam situasi kepemimpinan, para pengikut akan dibuat bingung oleh pemimpin yang tidak jelas ke mana tim akan dibawa. Sebaliknya, pimpinan yang punya misi mencerdaskan bawahan, bisa bertindak tegas, bahkan keras, pada anak buahnya yang enggan belajar. Teman saya, seorang pengusaha sukses, berprinsip: “Pokoknya perusahaan, orang, dan industri harus maju terus”. Kedengaran seperti tagline Ganefo jaman Sukarno, Onward, never Retreat. Namun, kejelasan misinya itu membuat seluruh karyawan jadi ‘tidak berani’ untuk tidak maju, aktif dan agresif dalam bekerja.

Berisi dengan Misi

Rasanya kita perlu kembali menyadari bahwa misi lebih sakti daripada sekedar uang. Chris Gardner yang kisah hidupnya diangkat ke layar kaca mengatakan: “Your pursuit determines your happiness”. Kita sesungguhnya bisa mengecek sendiri, apakah di akhir hidup nanti kita bisa berkata: “I did what I was created to do. I contributed to this world in a significant manner”.

Setiap kali tindakan kita mengarah pada pencapaian misi, kita tentu serta merta merasa happy dan semakin menikmati hidup ber-misi kita. Dengan misi yang jelas, kita bisa lebih kuat menangkis godaan, apakah itu harta, jabatan dan fasilitas. Misi akan otomatis menjadi patokan yang membuat kita jadi lebih jelas dalam mengambil keputusan dan tindakan. Misi dapat dikatakan bagaikan magnet yang menjaga agar kita stay on track.

Dimuat di Kompas, 13 Februari 2010


EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com