Tuesday, November 30, 2010

Gaya Baru

Satu–dua dasawarsa lalu, kita masih banyak menemukan kantor-kantor atau toko tutup pukul 2 siang dan menerima situasi tersebut sebagai hal yang biasa. Bila kita menemukan situasi semacam itu sekarang, kita pastinya tertawa dan akan segera memberi cap 'jadul' (jaman dulu)! Kini, tidak hanya rumah sakit yang memberi pelayanan 24 jam. Apotik, supermarket, perbankan, wartel, bengkel dan toko kebutuhan sehari-hari pun berlomba-lomba memberi layanan sepanjang hari. Bukankah kini tidak aneh lagi kita melakukan diskusi, meeting, pelatihan dan pertemuan bisnis sampai tengah malam? Bekerja long hours telah menjadi rutinitas, bekerja saat wiken seakan sudah menjadi hal yang biasa. Bisakah kita bayangkan, apa jadinya bila kita tidak menemukan gaya baru dalam menghadapi situasi yang serba berubah seperti ini?

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Kita lihat banyak organisasi yang menuntut karyawannya untuk bekerja lebih keras, lebih cepat dan menerapkan prosedur dan disiplin yang kaku. Namun, ternyata tetap saja mereka mengeluhkan kinerja dan produktivitas yang tidak sesuai harapan. Di tengah situasi kerja menekan, kita pun sering mendengar karyawan mengeluhkan atasannya: yang tidak ada puasnya lah, yang sering berubah-ubah lah atau memeras tenaga. Bagaimana kita menyikapi suasana kerja yang seakan-akan tidak lagi menyenangkan? Tuntutan ekonomi, sosial dan global begitu mengharuskan kita berpikir keras untuk me-“refresh” gaya kerja kita. Bila kita merasakan organisasi tidak berganti gaya selama puluhan tahun dan suasana bekerja tidak lagi bergairah, bukankah itu juga tanda-tanda kuat kita perlu berganti gaya atau bahkan berganti arah?

Tertutup atau Terbuka?

Mana yang menurut Anda lebih baik, menahan dan menjaga rapat-rapat “rahasia dapur” kita atau membiarkan desain, produk dan distribusi kita bebas diakses dan dimanfaatkan seluas-luasnya? Tahukah Anda bahwa banyak akademisi handal di negara kita ternyata menyimpan rapat hasil penelitian mereka yang canggih dan bisa bermanfaat luas? Ada yang kuatir hasil karyanya dicontek orang, ada yang berstrategi untuk bertahun-tahun mencari mitra dan waktu yang tepat untuk mempublikasikan karyanya, sampai tak jarang karyanya sama sekali tidak sempat terpublikasikan atau bahkan menjadi basi. Masih bisakah kita menerapkan pendekatan menahan, menjaga dan menyimpan di jaman yang terus berubah seperti ini?

Dulu, perusahaan yang jeli menangkap kebutuhan pelanggan, jago memprediksi tren pasar, memiliki sistem dan prosedur yang lengkap, bisa kita pastikan akan merajai pasar. Mereka bisa 'menangkap' banyak pelanggan dengan pendekatan yang kita kenal dengan Push Platform. Namun, beberapa perusahaan kelas dunia sekarang justru meninggalkan mindset ini. Mereka tidak lagi mengejar pelanggan, tak lagi berorientasi memenuhi kebutuhan pelanggan, namun mereka membebaskan diri berinovasi, membuka diri terhadap masukan, belajar dari bidang yang berbeda, menciptakan nilai-nilai baru, menonjolkan keunikan produk dan layanan mereka. Ujung-ujungnya, pelanggan yang malah 'mereka'. Gaya baru, Pull Platform inilah yang memampukan organisasi tidak sekedar bisa mengejar ketinggalannya, namun sebaliknya meng-attract values.

Perusahaan atau individu yang berorientasi menahan, menjaga, merahasiakan, apalagi memikirkan keuntungan diri sendiri kita lihat jadi sulit untuk bersaing dengan perusahaan yang terbuka, fleksibel, berinovasi dan mengandalkan strength values. Bukankah kita melihat perusahaan-perusahaan Cina dan India maju begitu pesat dengan open production, open distribution dan proses design yang kreatif? Contoh yang paling nyata adalah bertahannya perusahaan seperti Linux yang mengumandangkan open source, melawan Microsoft yang tertututup, menahan dan men-charge semua layanannya. Tengok juga apa yang dilakukan Adidas dalam Adidas X David Beckham 2010 Lookbook. Manajemen Adidas mengungkapkan: ”Adidas is going from strength to strength." Kompetisi sudah tidak bisa kita lakukan dengan parameter uang lagi, demikian ungkap mereka, tetapi lebih kepada value creation.

Kolaborasi vs Senioritas

Bila dulu orang takut memangkas semua yang berbau senioritas karena bukti bahwa pengalaman sangat diperlukan dalam menjalankan bisnis, saat sekarang pembuktian terbalik sudah terjadi. Semakin kita menunggu orang agar berpengalaman, semakin lambat juga perkembangan perusahaan. “Satu satunya jalan adalah berkolaborasi. Semakin banyak partisipasi dan interaksi, semakin kinerja terakselerasi.” Inilah gaya kerja dan manajemen perusahaan perusahan India dan Cina, seperti Li & Fung, Dachangjiang Group, Tata Group. Mereka yang dulunya terbelakang, sekarang menjadi buah bibir dan fokus bahasan manajemen gaya baru, karena pendekatan yang memanfaatkan upaya network-centric-nya.

Sebagai individu, kita masing-masing pun perlu 'terbuka' dan berorientasi untuk berkolaborasi. Hal yang sering terlupakan adalah menelaah dan menghargai diri sendiri dan perusahaan kita sebagai kekuatan yang penting. Kita sendiri sering tidak sadar bahwa ada enerji lebih dan ‘power’ di dalam diri kita. Kita perlu meyakini kekuatan kita untuk bereksperimen, mengambil resiko, bahkan membuat perubahan. Kita perlu berpikir apa kekuatan diri kita yang bisa kita kontribusikan untuk menjadi nilai tambah pada tim dan pada pasar. Selanjutnya, Kita perlu memompa dan menggali apa yang secara lembaga atau individu bisa kita ‘kawinkan’, ‘campur’, kooperasikan dengan pihak lain. Bayangkan bila dalam sebuah perusahaan yang isinya 1000 orang semua orang berniat membuat 1 perubahan saja.

Apalagi setiap individu itu kemudian mengkolaborasikan upayanya dengan teman yang lain. Perusahaan seperti ini pasti bisa membuat inovasi tanpa susah-susah berpikir keras lagi. Kita perlu meyakini bahwa kita memang terlahir imajinatif dan “resourceful”.

Menyuburkan Passion

Setiap CEO yang ditanya apa yang paling penting dalam organisasinya, akan menjawab satu kata: manusia. Namun, bila pengembangan talenta dalam organisasi mandek, biasanya top manajemen akan langsung menunjuk pada program-program pelatihan, coaching, mentoring dan segala macam upaya pengembangan SDM yang canggih dan mahal. Bila manusia dan talenta benar-benar penting, mengapa jarang kita dengar CEO yang segera menyingsingkan lengan baju untuk menangai sendiri orang-orang “penting” yang butuh pengembangan? Mengapa tidak banyak CEO yang menyatakan komitmen terhadap peningkatan “passion” di perusahaan? Padahal, ‘passion’ jauh melampaui kepuasan, baik pelanggan maupun karyawan. Hanya bermodalkan ‘passion’-lah, kinerja bisa meningkat ekstrim. Hanya passion yang menyebabkan karyawan tidak melakukan hitung2an “What’s in it for me”. Kita lihat, pendekatan pada manusia pun membutuhkan gaya baru. Jika tidak, kita tidak hanya membuat diri kita rawan kehilangan pasar dan pelanggan, namun juga ditinggalkan karyawan kita sendiri.

Dimuat di KOMPAS, 28 Agustus 2010

EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com

Tulus

Seorang teman yang bisa dikatakan seorang socialite, kalau diamati lebih teliti, banyak menggunakan pujian bila bertemu dengan teman temannya. Karena pujiannya itu terlalu monoton yaitu selalu mengatakan bahwa lawan bicaranya terlihat ‘lebih langsing’, teman kita ini langsung terlihat ketidak tulusannya. Bahkan bila menemuinya, saya teringat kata kata penyair Irlandia, Oscar Wilde: “How clever you are, my dear! You never mean a single word you say”. Teman saya, yang lebih ekstrim lagi, pasti akan berkomentar: “muna….” ( baca: munafik). Kita begitu banyak menyaksikan transasksi sosial yang terasa tidak diwarnai dengan hati, saling cium pipi bukan sekedar antara ibu ibu tetapi juga bapak bapak, kepura-puraan beramal, spiritual, bijak, bermoral, yang sering membuat kita gundah, dan mencari-cari, siapa di lingkungan sosial kita ini yang bisa dipegang, janji, kata-kata maupun nasehat-nasehatnya. Pertanyaan juga: apakah kesan yang kita dapat itu, disadari oleh individunya sendiri? Apakah ia sadar bahwa kata kata ungkapannya serta ekspresinya penuh kepura-puraan? Almarhum ayah saya selalu mengingatkan: “orang pada dasarnya selalu berniat baik, kalau dia berbuat tidak baik di mata kita, mungkin ia tidak menyadarinya”. C.G.Jung, psikiater Swiss, juga berpendapat: ”... the hypocrisy is based on being not aware of the dark or shadow-side of their nature”.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Membentuk image, berbasa basi, berusaha agar terlihat ‘baik’ adalah revolusi individu untuk mengembangkan, bahkan memperbaharui dan mempertahankan eksistensinya di lingkungan sosial. Pertanyaannya bisakah hal ini kita lakukan dengan self-knowledge yang lebih tinggi agar supaya kadar ketulusannya juga bisa kita kembangkan? Bukankah dengan kesadaran diri yang lebih tinggi, rasa kemanusiaan yang genuine akan lebih dirasakan individu sehingga hal ini bisa mengurangi ‘rasa keterasingan’ dan rasa percaya pada sesama manusia?

Tinjau kembali ketulusan

Dalam sebuah pertemuan antara direktur pemasaran dan para kepala cabangnya di sebuah perusahaan raksasa, sang direktur menceriterakan betapa ketulusan bisa mengubah keluhan menjadi pengembangan bisnis. Tentunya dalam situasi keluhan, mulut manis, senyum dan semua tata cara servis yang standar tidak selalu bisa berlaku lagi. Para pebisnis sangat paham dan bisa membedakan antara komitmen, permintaan maaf dan janji yang dikatakan dengan tulus dan basa basi apalagi kosong. Kecocokan omongan dengan kenyataan di masyarakat sebenarnya hanya memberlakukan ujian satu kali: ”Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”. Terkadang, tanpa perlu ujian, orang yang cukup matang sudah bisa merasakan tulus tidaknya seseorang dalam satu kali pertemuan.

Demikian pula di organisasi. Bisa saja seseorang karena pandainya, katakanlah bermanis mulut, mendapatkan simpati dari atasannya. Tentunya arah penilaian yang obyektif terletak pada kapabilitasnya. Disinilah ujian individu sebenarnya, untuk kembali menelaah dirinya: ”kompetenkah saya?” Kondisi yang sering ‘mengangkat’ individu karena kekuatan lobby-nya ini, sering menyebabkan individu malas berintrospeksi dan terbawa pada situasi ‘semu’ yang penuh ketidak benaran. Bahkan, ia akan berusaha keras, agar ketidak benaran ini dipertahankan melalui manuver-manuver yang tricky lagi. Sebenarnya individu yang mulai lepas dari self-knowledge’ begini, sudah kehilangan kesempatan emas untuk maju. Ia mempunyai pandangan yang semu mengenai dirinya. Dan mulai tergantung pada atribut, norma, manuver sosial palsu saja untuk mempertahankan posisinya.

Tanpa harus mengurangi rasa percaya diri, sebenarnya setiap individu perlu duduk dan bersandar, untuk menelaah dirinya. Apakah informasi, pengetahuan, kapabilitas, ketrampilan, serta praktik-praktik yang dilakukannya masih sejalan dengan kaidah profesi, kejujuran dan fairness di lingkungan sosial yang general. Groucho Marx: “The secret to life is honesty and fair dealing. If you can fake that, you’ve got it made ”.

Dengan contoh bahwa ketulusan bisa menguntungkan, bahkan di bidang bisnis, maka kita memang pantas mempertimbangkan untuk memperkuatnya dari hari ke hari. Kita bisa memulainya dengan lebih mendengarkan kata hati: apakah apa yang saya ucapkan ini benar datang dari lubuk hati yang paling dalam atau sekedar di bibir saja? Kitapun bisa meyakinkan diri, bahwa ketidaktulusan bila diteruskan tidak akan berbuah manis. Bayangkan bila kita menjadi seorang pemimpin, bisakah kita membangkitkan ‘trust’ bila tidak tulus? Trust bila menjadi pelumas hubungan dan transaksi bisnis, sementara ketidaktulusan mau tidak mau akan menjadi penghambat. Tanpa ketulusan, kebersamaan pun akan kering, tidak ber’nyawa’.

Tetap tulus ditengah politik dan kemunafikan

Beberapa teman yang tergabung dalam organisasi besar yang penuh dengan office politics, seperti menusuk dari belakang dan saling sikut menyikut, tetap bisa berjalan maju dengan tenang dan tidak mengesankan terimbas oleh adanya pengaruh basa basi, cari muka, dan ketidak tulusan. Ketika saya tanyai salah seorang teman, apa rahasianya, ia tenang tenang menjawab, “saya banyak melakukan komunikasi tertulis, di hampir semua komunikasi, formal dan tidak formal”. Dengan semua komunikasi tercatat begini, hampir tidak mungkin orang mengingkari apa yang pernah ia katakan. Selain itu, dengan menulis, kita bisa bermain kata-kata, mencari ekspresi yang tepat, dan sekaligus bisa justru membudayakan transparansi, karena pembicaraan atau hasil pembicaraannya bisa kita ‘share’ dengan pihak yang perlu mengetahui dan terkait dengan urusan yang sedang dikerjakan. Kitapun dalam pemecahan masalah bisa menyebut kembali sasaran utama perusahaan sehingga dengan sendirinya motif pribadi akan tersingkir dan didominasi dengan motif untuk men-support sasaran dan nilai nilai perusahaan. ”Menulis membuat kita lebih aware," ungkapnya. Bila terasa masih ada agenda agenda pribadi, kita tidak perlu segan segan memberantasnya, kepentingan lembaga yang sebetulnya adalah kepentingan umum, pasti tidak bisa kalah oleh kepentingan pribadi. Rasanya tetap lebih baik membuang kemunafikan dari perbendaharaan ekspresi kita, karena metode itu perlahan lahan akan membunuh pribadi kita sendiri.

Dimuat di KOMPAS, 7 Agustus 2010

EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com

AsBun

Terkadang kita dibuat bingung, mendengar komentar-komentar para pejabat, wakil rakyat atau para public figure di media. Apa yang disampaikan kemarin, bisa beda dengan yang diungkapkan hari ini. Saat pernyataan dikonfirmasi atau dikonfrontasi lebih lanjut pada kesempatan lain, ada individu yang berkelit, kemudian merasa tidak pernah mengatakan hal dimaksud. Tak jarang, kita pun bengong dengan 'adegan' perang mulut, saling bantah atau bahkan juga ungkapan no comment dari pejabat berkepentingan yang penjelasannya ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Ketika seorang pejabat baru-baru ini menyatakan kecewa bahwa para wakil rakyat tidak menanggapi pertanyaan yang diajukan secara serius, kita pun bertanya-tanya, bisakah seorang yang memangku jabatan penting sekedar 'asal ngomong' saja? Bukankah sangat berbahaya jika kita punya pikiran bahwa orang yang bertanggung jawab terhadap urusan-urusan 'besar' di negeri ini tidak bisa dipegang kata-katanya? Bagaimana dengan kita sendiri, yang situasinya jauh lebih 'mikro' daripada lingkup tanggung jawab para pejabat negara?

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Di dalam keluarga, di tempat kerja, seberapa sering kita menemui gejala ‘asal bunyi’ seperti itu? Pernahkah kita bicara, mengeluarkan usulan, kemudian keluar dari ruang rapat tidak kita follow up lagi, bahkan bersikap seolah-olah pembicaraan tidak pernah terjadi? Tak jarang pula, saat suatu rencana ketahuan macet atau gagal, kita mendengar individu mengeluarkan berbagai alasan 'cerdas' untuk menghindar dari konsekuensi atau tanggung jawab. Dengan sikap seperti ini, bukankah kita malahan menodai integritas kita dan tidak menghormati diri kita sendiri? Padahal, sebetulnya kita punya peluang untuk membentuk karakter pribadi dan menganalisa “lesson learnt” dari setiap perkataan yang kita sampaikan dan tindakan yang kita lakukan.

Integritas = Ujian Konsistensi

Banyak orang yang menyamakan integritas dengan kejujuran, padahal integritas adalah sesuatu yang mendasar dan luas. Dalam berbagai rapat kita sering mendengarkan para peserta rapat menyuarakan kata “setuju” dan komit untuk melakukan action tertentu. Begitu dicek ulang mengenai apa yang akan dikerjakan, ia mengatakan belum tahu caranya, bahkan tidak terlalu paham apa yang dimaksud dalam rapat. Bukankah ini juga termasuk contoh tidak adanya integritas? Orang sering tidak merasa bersalah bila ia tidak paham tentang suatu hal dan tidak mengakuinya, bahkan membiarkan ketidakpahaman terebut menjadi dasar tindakannya. Hal seperti ini sering tidak terdeteksi di banyak perusahaan padahal inilah pangkal tolak dari tidak optimalnya kinerja individu, tim, bahkan organisasi.

Pengecekan ucapan kita versus tindakan adalah pengukuran integritas yang paling mudah dan paling tepat. Integritas langsung bisa dilihat melalui kecocokan apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan. Bila tidak mau dicap sebagai orang yang tidak punya integritas, kita tentu harus betul-betul menimbang kata-kata “ya” yang keluar dari mulut kita. Kita bisa menghormati diri kita sendiri dengan betul-betul bersikap konsisten terhadap apa yang kita sepakati. Bila tidak bisa melaksanakan atau molor dari waktu, bukankah lebih baik kita merevisi kata-kata kita dan memikirkan kerugian apa yang sudah diakibatkan oleh ucapan kita itu. Seorang filsuf mengatakan: ”Think for a moment about the Law of Gravity: there is no such thing as ‘good’ or ‘bad’ gravity; like integrity, it just ‘is’”.

Jangan Permainkan Integritas

Integritas tentu saja bukan sekedar “atribut” tempelan pada kepribadian pegawai. Integritas bukan sesuatu yang nice to have, melainkan keseluruhan dan keutuhan kepribadian individu. Saat lembaga atau seorang pejabat mengeluarkan sebuah komitmen atau pernyataan, misalnya saja tidak akan ada pemadaman listrik terjadi di pulau Jawa, tentu saja kita meyakini bahwa hal ini sudah melalui sebuah pengkajian dan pengujian yang matang, di mana para ahli ini sudah tahu duduk perkaranya, bagaimana menyelesaikan dan bagaimana menjamin bahwa komitmen ini tidak 'as-bun' dan bisa dilaksanakan. Saat seorang menyatakan komitmen di depan publik, ia tentu sadar bahwa dirinya mewakili kepentingan orang banyak. Begitu sebuah komitmen diucapkan, kita harus sadar bahwa jaminannya adalah keutuhan pribadi, di mana kita tidak bisa mengelak sedikit pun dari komitmen yang telah kita sampaikan. Integritas tidak bisa dilaksanakan setengah-setengah.

Saat krisis tahun 1997, kita tahu banyak sekali perusahaan tidak bisa memenuhi komitmennya untuk mensuplai barang, membayar atau melakukan langkah yang sudah disepakati dalam kontrak. Kita jadi berpikir apakah komitmen dan integritas bisa berkompromi pada saat kita terancam kerugian? Saya teringat seorang teman yang menceritakan pengalamannya dengan sebuah maskapai penerbangan. Ia dan keluarganya di upgrade ke kelas bisnis karena kesalahan pihak airline yang melakukan overbook penumpang pesawat. Keeping your word benar-benar menjadi policy bisnis karena kesadaran bahwa sekali komitmen dilanggar, reputasi, kepercayaan dan integritas bisa saja selama-lamanya tidak kembali. Kesalahan tentu saja akan menimbulkan kerugian, namun di sekolah bisnis mana pun, sudah pasti tidak ada pelajaran untuk mengingkari janji sebagai kebijakan menghindari kerugian. Banyaknya perusahaan yang berlomba menjual kredit tanpa agunan dengan bunga mencekik leher tanpa perhitungan yang matang mengenai pengembaliannya tentu perlu berpikir ulang untuk tidak bermain-main dengan integritas.

Menghormati Janji Pribadi

Di salah satu akun facebook, seseorang menuliskan status “Bagaimana mengajarkan kejujuran pada anak di situasi yang tidak menentu begini?”

Sebenarnya kita bisa kembali ke ‘basic’ saja, dengan mengajari anak untuk menghormati apa yang ia katakan. Bila ia berjanji, maka janji tersebut betul-betul harus dikatakan secara jelas, sehingga didengar dan dihayatinya sendiri. Kita pun bisa memperkenalkan kepada anak-anak dan bawahan kita betapa jauh lebih ksatria dan terhormat untuk mengakui kegagalan dalam memenuhi janji atau target daripada bersikap defensif, berkelit atau 'cuci tangan'. Kita bahkan bisa ‘surprised’ bila menyadari betapa rasa percaya orang lain bisa tumbuh lebih pesat bila kita mengakui kesalahan atau kealpaan kita secara gentleman. Merespek kata-kata sendiri betul betul merupakan praktik yang diperlukan setiap individu untuk membentuk kepribadian diri yang kian ‘utuh’ dari hari ke hari. Seperti dikatakan orangtua orangtua kita: “Watch your thoughts, for they become words. Watch your words, for they become actions.Watch your actions, for they become habits. Watch your habits, for they become character. Watch your character, for it becomes your destiny.”

Dimuat di KOMPAS, 31 Juli 2010

EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results

Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com