Wednesday, February 3, 2010

Genjot Kekuataan

Di masa sekarang, di mana krisis datang silih berganti dan tantangan hadir 24 jam di depan mata, setiap kita tentu butuh menjaga dan menambah kekuatan diri, tim dan organisasi. Meski demikian, kita lihat bahwa banyak orang yang tidak menyadari potensi dan kekuatan dirinya, bahkan tidak merasa penting untuk secara serius menggali dan menemukan kekuatannya. Kita bahkan seringkali terjebak menggali kelemahan-kelemahan kita, membahas kekurangan diri kita, tim bahkan bangsa kita sendiri, sampai-sampai akhirnya menyakini bahwa kita inferior, lemah dan tidak berdaya. Bukankah ini sangat berbahaya?

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dalam sebuah sesi refleksi diri, teman saya yang sangat pandai dan berbakat, sempat tergagap saat diminta untuk menceritakan apa yang sering disebut-sebut ibunya sebagai kekuatan dirinya. Ternyata, banyak diantara kita yang perlu mencari-cari dulu dalam ingatannya, apa yang pernah atau kalau 'beruntung' dikatakan orang tua mereka tentang kekuatannya. Saya jadi teringat ibu saya almarhum, yang memang sangat strength based, berorientasi menegaskan kekuatan dari masing-masing anaknya. Kakak saya yang dilihatnya tidak terlalu kuat dalam analisa, segera dilatih trampil dan cekatan, disekolahkan di SMK, dimagangkan di perusahaan seorang teman, sehingga ia kemudian bisa survive bahkan menjadi penyokong kuliah abang dan adiknya. Sementara karena abang-abang saya sering mengecilkan mental saya, ibu saya sebaliknya, selalu mengatakan saya sebagai seorang pemberani. Saat saya memunculkan ingatan akan kata-kata ibu saya tersebut, segera saya bisa merasakan otot meregang, muka berbinar, enerji merekah, sehingga kita merasa mempunyai kekuatan dobel dalam sekejap. Hal yang sederhana ini ternyata menjadi sumber kekuatan hidup. Saya sadari kemudian bahwa inilah life giving forces yang mendasari segala upaya dalam kehidupan karir saya.

Sadari Kekuatan

Saat diajukan pertanyaan, “apa yang menjadi kekuatan dirimu”, banyak teman yang lalu dengan tertawa-tawa lalu mengatakan: “Saya kuat di semuanya….” Atau “Kekuatan saya sama rata…”, atau bahkan “tidak ada hal yang menonjol, semua sedang-sedang saja...”. Tidak menyadari keunikan diri sendiri bisa jadi menunjukkan betapa banyak orang melihat hidup ini sudah demikian taken for granted-nya. Hidup seolah-olah dipandang seperti permainan, sebut saja sepakbola, di mana bola dan ukuran lapangan sudah standar, aturan sudah baku, dan setiap orang bisa menendang bola serta berlatih dengan acuan yang sama. Jika ini yang terjadi, tanpa disadari individu memang bisa tidak menghargai kemampuannya sebagai modal menciptakan momen-momen terbaik atau peak experience dalam hidup pribadinya, pekerjaan, juga kemasyarakatan. Bayangkan betapa ruginya bila kita tidak sempat menggali life-giving forces sepanjang hidup kita.

Dengan merasakan, memperhatikan dan menghayati setiap momen dalam hidup, kita jadi bisa menjaga vitalitas hidup kita dan punya kesempatan untuk memberi 'warna', menciptakan 'animasi' yang canggih pada hidup kita. Bukankah sebagai manusia modern kita perlu melihat jauh ke masa depan, membuat dan menggambarkan visi serta merancang tindakan kita? Seorang gadis cantik yang berbakat, mengikuti ujian keperagawatian dan lulus. Ia bercita-cita menjadi foto model top dan sempat menikmati profesi modelling-nya beberapa saat. Beberapa waktu lalu, seorang teman bertemu dengannya yang sudah bekerja sebagai seorang SPG showroom. Ia berdalih dengan menjadi sebagai SPG paling tidak penghasilannya lebih rutin. Bukankah kita bisa membuktikan bahwa seseorang bisa dengan mudahnya melewatkan strength-nya, hanya menyambut kesempatan yang lewat di depan matanya, tanpa berjuang untuk membuat dreams come true bagi dirinya?

Hindari Bahasa Defisit

Kegiatan menonton wakil rakyat melakukan wawancara secara maraton sedikit banyak pasti membuat kita merasa down. Betapa tidak, selama berbulan-bulan kita diajak untuk mengikuti adegan demi adegan di mana anggota majelis satu sama lain berusaha saling menjatuhkan. Setiap pertanyaan yang diajukan menggali what’s wrong-nya sehingga kita terus-menerus disuguhkan kekurangan, kegagalan, sampai-sampai kita pun merasa pesimis dan menjadikan rasa inferior menetap dalam kehidupan kita sehari-hari. Padahal, dalam momen krisis begini, sangat disarankan kita untuk bisa bersikap konstruktif. Mau tidak mau, diskusi berkepanjangan dan melelahkan ini sangat berpengaruh terhadap bagaimana kita melihat dunia, bagaimana kita menyikapinya dan menerima realitas.

Seorang peneliti mencatatkan hasil surveinya bahwa dalam 30 tahun terakhir, terjadi penambahan jumlah yang signifikan pada kata-kata depresi, kecemasan, kegagalan dalam berbagai artikel. Sebaliknya, tercatat pengurangan signifikan terhadap tulisan-tulisan yang memuat kata ‘gembira’. “Maybe what looks like a symptom of depression – negative thinking - is itself the disease", komentarnya.

Berani Positif

Saya pernah meyakinkan dan membuktikan bahwa hanya dengan menggunakan pertanyaan dan pernyatan positif saja kita bisa mengubah keputusan seseorang. Dan kenyatannya fenomena ini sangat magic. Ketimbang menanyakan “apa yang dibutuhkan?”, kita langsung menanyakan “apa yang terbaik?”. Daripada berkutat pada penyebabnya, kita menanyakan “Apa perbaikan yang kita ingin ciptakan?”. Dengan demikian kita tidak berorientasi pada masalah tetapi lebih fokus kepada menciptakan masa depan dan menambah kekuatan.

Tampaknya kita perlu selalu mengingat bahwa sebuah pertanyaan atau pernyataan yang tajam akan mengubah hidup seseorang, ke arah positif maupun negatif. Kita harus sadari bahwa kita punya pilihan untuk membesarkan anak-anak kita, tim kerja, perusahaan, bahkan rakyat dengan pilihan kata-kata yang lebih positif sehingga kita semua bisa menumbuhkan sikap positif dan konstruktif menghadapi berbagai tantangan yang ada, bukan sebaliknya menyeret diri ke dalam ‘kegelapan’. “Ultimately, we create the future we imagine.”

Ditayangkan di Kompas, 30 Januari 2010

Sumber: Sumber: http://www.experd.com

Monday, February 1, 2010

Bergerak

Setiap orang memang unik. Sangat menarik bila kita memperhatikan betapa berbeda-bedanya respons tiap orang terhadap perubahan. Ada teman yang dengan cepat masuk ke situasi perubahan, tanpa banyak perlawanan. Dia berpendapat bahwa apa yang dikatakan oleh para senior sebaiknya di ‘terima’ saja, karena toh para sesepuh ini berpengalaman dan sudah banyak makan asam garam. Perubahan apapun yang harus dia lakukan, dikerjakan dengan sukarela tanpa banyak perlawanan. Adaptasinya prima, walaupun bisa juga dikatakan teman kita ini layaknya robot, tidak melakukan perubahan atas insiatifnya sendiri.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Sebaliknya, teman yang lebih muda, menggunakan pendekatan yang berbeda bila dihadapkan pada segala macam barang baru, instruksi baru, sistem dan prosedur baru. Ia bisa diam membeku, tidak melakukan apa-apa. Mungkin sebenarnya ingin juga dia demo atau protes, tetapi karena status juniornya, ia memilih diam. Ketika saya tanyakan mengapa dia tidak ‘menurut’ saja bila diberi instruksi, dia menjawab: ”Saya perlu tahu akar permasalahannya , mengapa dan untuk apa saya berubah.” Jadi teman kita ini mempunyai syarat -syarat yang harus dipenuhi untuk mau berubah. Pantas saja, perubahan sulit terjadi. Untuk ‘membeli’ alasan berubah saja individu ada yang bermasalah.

Kekuatan Menerobos Kesulitan

Dalam sebuah rapat perusahaan, saya menyaksikan betapa ‘berubah’ itu terasa bagai benda langka. Ketika ada usulan untuk membuat ‘lompatan signifikan’, ada beberapa orang yang melanjutkan pembicaraan, namun ada juga yang saling lempar pandang. Ironisnya, tak ada seorang pun yang lantang mengusulkan kegiatan apa yang perlu dihentikan, pos mana yang perlu dipangkas dan tindakan apa yang harus dilakukan. Bila kita perhatikan, sikap “gotong royong” menyuburkan keengganan berubah begitu besar pengaruhnya, seakan menjadi benteng tebal yang menghambat perubahan. Mentalitas malas berubah inilah yang perlu kita garap.

Bila individu sudah mau berubah, seakan ada energi baginya untuk menghentikan kebiasaan lama dan mendorong dirinya masuk ke masa transisi. Dalam masa transisi inilah, biasanya cobaan silih berganti muncul. Kebiasaan lama memanggil, rintangan dan konflik mulai berkecamuk. Bayangkan godaan di minggu-minggu pertama seseorang yang memulai diet atau berniat berhenti merokok. Pada saat inilah kondisi baru, tidak terasa nikmat oleh yang bersangkutan sehingga tidak memotivasinya. Konflik dalam diri bisa menimbulkan sikap skeptis, bahkan sinis terhadap inisiatif perubahan yang dicanangkan. Transisi ini memang sangat kritikal. Kita perhatikan, dalam upaya awal perubahan, kira-kira 95% populasi, kembali pada posisi lama. Mereka yang berhasil biasanya adalah individu yang punya kemampuan ‘adversity’ yang baik, yaitu kekuatan menerobos kesulitan, melawan kegamangan, mendobrak masuk ke situasi baru dan menghentikan lama. Tanpa mengembangkan kemampuan adversity, sulit bagi kita untuk bisa membuat lompatan dengan enerji ekstra.

Dari Ujung ke Ujung

Sebuah tim salesman terbiasa bertindak tanpa pikir panjang, grabag-grubug, minim perencanaan. Kebiasaan ini akhirnya menimbulkan banyak inefisiensi dan kerugian bagi tim. Atasan yang melihat situasi ini, kemudian berusaha mendalami permasalahannya bahkan mengumpulkan tim salesmannya untuk meeting dan menetapkan komitmen. Tiga bulan berlalu, ternyata kebiasaan lama tetap berjalan. Inilah yang sering sekali terjadi pada upaya perubahan yang dicanangkan. Misi perubahan yang tidak dibarengi dengan kekuatan kontrol, penguatan spirit dan visi serta ke-’kekeuh’-an atasan pada misinya akan sulit untuk mencetak kesuksesan perubahan.

Di banyak perusahaan besar, tak jarang ‘change agent’ hanya berfokus pada seremonial pencanangan perubahan saja dan berasumsi bahwa perubahan bisa terjadi dengan sendirinya. Padahal, motivasi ‘khalayak’ perlu diperhitungkan. Akan sangat membantu bila kita memahami berapa persen karyawan yang bisa menjadi promotor, yaitu mereka yang sudah menerima, mau serta mampu segera menjalankan perubahan. Sebaliknya, kita pun perlu mengira-ngira berapa persen yang tidak mau atau tidak bisa menjalankannya agar kita bisa menentukan langkah dan gerakan. Kita juga perlu membuat langkah-langkah kecil agar perubahan bisa dimonitor oleh semua pihak dan bisa segera dirasakan manfaatnya. Terkadang upaya organisasi, katakanlah dalam menerapkan paperless management, online service atau Performance Based Culture, sering patah di tengah jalan, karena sulitnya mempersepsi proses perubahannya secara total sampai ke ujung. Bila ini terjadi, perubahan akan terlihat dan terasa ‘hangat-hangat tahi ayam’ saja.

Jangan Terlambat Menyadari

Banyak orang berpendapat, kondisi sekarang saja belum optimal, kok sudah mau berubah lagi. Pilihannya tentu saja di tangan kita sendiri. Kita punya pilihan untuk setiap saat siap menantang diri untuk maju dan seperti layaknya ‘climbers’, para pendaki gunung. Kita bisa juga memilih untuk meng-enjoy perubahan sedikit demi sedikit atau sering disebut ‘campers’. Asalkan jangan menjadi ‘quitters’, yang baru mencoba berubah sedikit langsung kembali ke kebiasaan lama.

Seorang ahli mengingatkan kita yang masih ingin berkembang untuk waspada dengan “boiling frog phenomenon”, yaitu katak hidup yang direbus dalam air secara perlahan-lahan. Si katak tidak menyadari bahaya karena perubahan panas terjadi perlahan-lahan. Saat ia sadar, semua sudah terlambat. Ia tidak punya tenaga lagi untuk melarikan diri. Kita pun juga bisa terjebak dan tidak sadar akan perubahan yang lambat dan membahayakan. Tantangan dan kompetisi sudah di depan mata. Jika kita terus menunggu, menunda, tidak waspada, lambat mengambil tindakan, gagal melakukan antisipasi, berarti kita membuat situasi bertambah parah. Saat kita menyadari, bisa jadi semuanya sudah terlambat.

Dimuat di Kompas, 23 Januari 2010

Sumber: http://www.experd.com