Saturday, January 19, 2013

Rasa Sukses

Seorang teman, yang menduduki posisi cukup tinggi di dalam organisasi, selalu terlihat ceria dan mencintai pekerjaannya. Temannya sampai berkomentar bahwa terkadang ia terlihat lebih ‘happy’ dari ‘owner’ perusahaan, yang jelas-jelas lebih berada dan lebih ‘powerful’ daripada dia. Cukup surprising, ketika ditanya apa rahasianya, teman ini mengatakan,”Saya sukses terus”. Padahal, kita tahu bahwa persoalan yang dihadapinya tidak sedikit. Selain beban kerja yang tinggi, atasannya pun kelihatan menuntut banyak. Jadi, kita bisa melihat bahwa kesuksesan itu sangat subyektif dan sangat tergantung bagaimana orang melihatnya.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Sebaliknya, seorang teman lain yang pintar dan berprestasi, begitu jarang merasa sukses, bahkan tidak pernah terlihat merasa puas dengan apa yang ia kerjakan. Selalu saja ia melihat banyak kekurangan yang harus diperbaiki dari dirinya. Komentar dan pujian orang disekitarnya yang meyakinkan bahwa hasil kerjanya baik, seolah tidak mempan. Apakah begitu sulit mempercayai apresiasi atasan dan rekannya, sehingga ia tetap menganggap bahwa pekerjaannya “belum apa-apa”? Mengapa orang merasa berjarak dengan sukses, bahkan tidak bisa melihat kesuksesannya sendiri? Rasa sukses yang sering tidak kita pikirkan ini, seakan hal sepele, namun tentu saja besar dampaknya self-esteem kita, juga bagi “happiness”. Tanpa memelihara rasa sukses dan happiness, bagaimana kita akan mendorong semangat untuk memacu produktivitas dan mencetak sukses-sukses lain?

Dunia kerja memang bukan seperti dunia olah raga di mana “kalah-menang”, sukses tidak selalu sukses sangat nyata. Kesuksesan dalam dunia kerja sangat relatif dan subyektif, mengingat dalam dunia kerja, banyak kegiatan kita yang terkait imajinasi, konsep, ide-ide, kepuasan customer, pengembangan diri, penguatan kecerdasan emosi, pengembangan anak buah, dan bukan semata pekerjaaan fisik yang kuantitas dan kualitasnya langsung bisa teraga. Apalagi bagi banyak orang yang berfikir bahwa ia memang ‘makan gaji’ , sukses atau tidak dalam bekerja itu nomor dua, yang penting ini adalah matapencaharian. Di era kompetitif, di mana beban kerja bisa ditumpuk dalam hitungan detik, kita betul-betul juga harus mempertimbangkan ‘wellness management’, bukan secara defensif, tetapi justru secara proaktif. Kita perlu aktif membangun rasa ‘happy’ di pekerjaan, karena kerja demikian penting bagi hidup kita, mengisi sebagian besar waktu kita, sehingga tidak bisa kita biarkan berlalu dalam keadaan ‘galau’ atau terbebani. Tanda kesuksesan sekarang sudah berubah. Kita tidak selamanya mengukur apa yang kita ‘punya’ dan ‘dapat’ lagi, tetapi lebih ke apa yang kita rasakan di pekerjaan.

Musuh-musuh sukses

Mari kita cermati hal-hal yang bisa membuat kita menumpuk emosi negatif sehingga kita begitu sulit merasa sukses atau merasa happy. Kita kerap mengeluhkan pekerjaan yang berat, atasan yang tidak fair, perusahaan yang kulturnya negatif, sehingga kita seolah merasa selalu berada dalam posisi sulit. Sebenarnya pertanyaannya, apakah ini hanya sekedar fenomena menjebak diri sendiri dalam situasi mengeluh, menggerutu dan berbicara di ‘belakang’ secara berkelanjutan ? Padahal kita semua tahu, bahwa pikiran negatif ini pasti membuat kita tidak produktif dan tidak memungkinkan perasaan sukses. Tanpa kita sadari, kita kerap memelihara perasaan ‘menjadi korban’ dari pihak-pihak yang sebenarnya tidak perlu membuat kita menjadi korbannya.

Hal yang memperburuk keadaan adalah bila kita mencari teman senasib, yaitu teman berbagi rasa tidak happy, pesimis, dan mencerca diri sendiri. Kelompok orang-orang frustrasi ini biasanya juga berbagi cerita-cerita yang dibumbui konspirasi bahwa manusia memang selalu berlatar belakang buruk. Pilihan untuk mencari teman yang lebih optimis sebenarnya selalu ada, tetapi si pesimis umumnya akan segera menemukan pesimis lainnya sehingga mereka justru akan lebih terjebak pada perasaan ‘tidak berarti’ yang lebih dalam. Apalagi kalau kita berkonsentrasi pada hal-hal yang tidak bisa kita kontrol, seperti situasi politik yang ‘seram’, serta korupsi yang merajalela. Namun, bukankah sesungguhnya banyak hal-hal di dunia kerja kita yang memang lebih mudah dikontrol dan lebih mudah diperbaiki daripada situasi-situasi itu? Seorang atasan, yang merasa frustrasi karena punya bawahan yang tidak bisa diandalkan 100 %, sebetulnya bisa melihat bahwa banyak orang di tempat lain menghadapi situasi yang sama. Bukankah dalam situasi ini kita lebih baik berpikir untuk “work with what we got” daripada berfantasi untuk mendapatkan bawahan yang lebih bermutu?

Manusia memang dilengkapi dengan ‘defense mechanism’ psikologis yang akan menjaga agar kita tidak terlalu depresif. Terkadang, pilihan mekanisme diri kita adalah kebiasaan mencari kesalahan diluar diri kita. Kita bisa dengan mudah menyalahkan atasan yang serakah, pelanggan yang penuntut, kompetisi yang tidak fair, tanpa ada sebersit perasaan bahwa kita pun berpartisipasi dalam menciptakan situasi tertentu. Demi menghalau galau dan merasa sukses, hal yang perlu kita kekembangkan sesungguhnya adalah belajar untuk bersikap jantan melihat ke dalam diri dan bertanya, apakah kita sudah berusaha sekuat-kuatnya untuk mencari solusi yang “workable”? Sudahkah kita mengambil pelajaran dari situasi sulit yang dihadapi di pekerjaan, serta sekuat tenaga berfokus untuk produktif dan ‘happy’ dipekerjaan? Success is not the key to happiness.Happiness is the key to success.
If you love what you are doing, you will be successful.- Albert Schweitzer

Temukan Cinta

Kita tidak mungkin ‘happy’ bila kita membenci pekerjaan. Kita perlu ingat bahwa bekerja itu tidak lagi identik dengan membanting tulang dan memeras keringat saja. Kita perlu mengambil manfaat sebanyak-banyaknya dari pekerjaaan kita, dan dari pekerjaan seharusnya membuat seseorang gembira.

Tidak seperti jaman dulu, di mana perusahaan mengambil manfaat sebanyak banyaknya dari pekerja, sekarang, pekerjaan perlu membuat seseorang gembira. Bila rasa simbiosa mutualistis antara perusahaan dan karyawan tidak terjadi, karyawan tidak akan melakukan usaha ekstra untuk bekerja dengan ‘hati’nya. Semua pekerjaan bersifat ‘multifaceted’ dan pasti terdiri dari elemen yang kita sukai maupun tidak kita sukai. Kitalah yang perlu secara kreatif mengembangkan hal hal yang kita sukai dari pekerjaan kita, dan meningkatkan ‘job content’ kita. Kita bukan lagi perlu menegosiasikan pengurangan beban kerja atau pengurangan tanggung jawab, tapi yang perlu kita perjuangkan juga adalah bagaimana mendapatkan pekerjaan yang benar-benar kita cintai. Kemudian, kita pun perlu mengupayakan agar kita dalam sehari bisa merasa ‘happy’ berkali kali. Hanya dengan menciptakan ‘small wins” di dalam pekerjaan kita, kita bisa merasakan sukses itu. Nothing is perfect, and everything can be improved. Agar selalu merasa sukses, perbaikan itu bukan kita lakukan sekali-sekali, tetapi setiap hari, bahkan setiap saat. Excellence akan menjamin kesuksesan, karenanya hal ini harus menjadi ‘mindset” Obsesi untuk selalu ‘lebih baik lagi’ akan mempengaruhi cara kita melihat dunia, bagaimana kita mempertimbangkan isinya, dan bagaimana kita bersikap di dalamnya. Excellence akan menjamin konsumsi kita akan rasa sukses.

Dimuat di Kompas, 15 Desember 2012

Wednesday, January 2, 2013

Empowerment

Salah satu indikator organisasi yang sehat adalah bila didalamnya terdapat individu-individu yang bersemangat. Kita bisa menyaksikan seseorang yang bekerja melampaui jam kerja yang standar dan masih penasaran menyelesaikan pekerjaaannya sampai larut malam. Para ‘office boy’ sekalipun bisa terlihat bergerak ke sana kemari, namun tetap tidak lupa memperhatikan apa yang dibutuhkan setiap karyawan yang dilayaninya. Sebaliknya, kita juga tahu bahwa ada lingkungan kerja di mana mindset “apa untungnya buat saya?” sangat kencang, dan selalu terjadi hitung-hitungan ‘untung-rugi’ yang ketat antara karyawan dan perusahaan. Banyak perusahaan yang merasa perlu mengikat karyawan dengan berbagai kontrak agar dana yang digunakan untuk mengembangkan karyawan tidak sia-sia. Padahal kita sangat yakin bahwa bila ‘hati’ tidak berada di pekerjaan, kita dengan mudah ‘tidak berada’ di pekerjaaan kita. Secara fisik, individu bisa jadi tetap ada di depan komputernya, namun yang dikerjakan bisa saja ‘chatting’ seharian dengan teman, bahkan sibuk berbelanja ‘online’. Kita lihat betapa semangat karyawan di dalam sebuah organisasi menjadi misteri yang benar-benar perlu dipecahkan.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Menciptakan suasana produktif dan kondusif sama halnya dengan mempersiapkan tanah untuk menanam benih. Tanah yang liat, keras, dan padat, bila ditanami benih, paling-paling hanya bisa sampai memunculkan tunas, namun kemudian tidak bisa menghasilkan tanaman yang bermutu, bila dibandingkan dengan tanah yang sudah gembur, digarap, dicampur dengan kompos dan pupuk. Organisasi pun perlu memikirkan bagaimana membuat wadah yang nyaman untuk bekerja, berkarya dan berinovasi. ‘Empowerment’ perlu menjadi agenda penting dalam membina karyawan, karena kita tahu individu baru akan mengeluarkan isi pikirannya bila ia secara emosional dan spiritual merasa happy, diterima dan didukung. Kita pun tidak boleh lupa betapa generasi milenial yang kreatif dan pintar, merasa bahwa motivasi adalah hal yang terpenting dalam bekerja. Pada saat bisnis sangat memerlukan konsentrasi, kita kerap melihat ‘empowerment’ bawahan sering kita lupakan. Padahal, dengan adanya karyawan yang penuh percaya diri dan ‘feel good’ terhadap pekerjaan, kita akan diuntungkan oleh sikap responsif, inovasi dan kemampuan belajar yang lebih canggih.

Rasa Sukses sebagai Penyemangat

Kita bisa melihat banyak tantangan yang dihadapi Jokowi-Ahok untuk mengubah mental dan etos kerja institusinya. Namun, suasana kondusif yang kita idam-idamkan, di mana percaya diri dan rasa kompeten karyawan dirasakan setiap individu, bukanlah hal yang mustahil. Keyakinan, visi yang jernih dan sasaran yang jelas tentu merupakan langkah awal yang baik. Agar rasa percaya diri dan rasa kompeten ini semakin subur, seorang atasan mesti bisa memainkan beragam peran, mulai dari ‘trainer’, “coach” dan “mentor” bagi anak buah. Atasan juga perlu membiasakan diri agar dalam setiap instruksi dan tugas yang ia berikan terselip pesan-pesan pembelajaran pada bawahannya. Individu pasti akan tergerak bila ia tahu apa yang bisa ia pelajari, mengapa ia harus mengetahui esensi tugasnya. Dengan memberi cukup informasi, mendemosntrasikan cara melakukan pekerjaan, memberi kesempatan untuk mempraktekkan dan mengkoreksi kesalahannya, individu tentu akan merasa didorong untuk sukses. ‘Performance’ yang sukses inilah yang akan menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri. Bila setiap individu dalam organisasi meyakini bahwa upayanya berdampak signifikan terhadap divisi, instansi bahkan lingkungan, ia akan menyuburkan rasa positif mengenai dirinya, pekerjaannya dan tugasnya.

Menciptakan ‘empowerment’ dalam organisasi menyangkut ‘self concept’, ‘self esteem’ dan ‘self talk’ individu. Inidividu perlu merasa berharga, berguna, mempunyai pandangan positif mengenai karir, tugas dan pekerjaannya, dan selalu mempunyai ungkapan-ungkapan yang positif dalam ‘self dialog’-nya.

Tanggung Jawab Pengambilan Keputusan

Di sebuah perusahaan, seorang salesman potensial namun tergolong masih junior ditunjuk untuk mengikuti pertemuan industri sejenis di luar negeri. Ia kemudian datang ke atasannya dan mengatakan bahwa ia sebaiknya tidak diikutkan dalam tim, karena belum menguasai bisnis dibanding dengan rekan kerja lainnya yang sudah hafal mengenai kasus-kasus transaksi di perusahaan. Padahal, sebetulnya ia bisa dengan mudah ikut dalam rombongan, sekedar menikmati perjalanan dinas yang belum pernah dialaminya. Namun, hal ini tidak dilakukan, karena ia merasa punya tanggung jawab untuk memberi kontribusi penting dalam setiap penugasannya. Inilah yang membedakan individu yang ‘empowered’ dan yang tidak. Individu yang ‘empowered’ mampu mengambil keputusan atas dirinya, dan ‘take charge’ terhadap nasib karirnya sendiri.

Kita sendiri pun mungkin sering menggunakan ungkapan “serahkan pada ahlinya”, dan tidak menyadari bahwa sikap ini bisa menjadikan individu seolah menghindar dari pengambilan keputusan dan mengambil jarak terhadap suatu permasalahan. Akibatnya, individu terbiasa bersikap ‘indecisive’, tidak bisa mengambil keputusan di dalam area wewenangnya. Bahkan, yang lebih parah lagi, tidak mengambil keputusan atas diri dan nasibnya sendiri. Padahal, kita tahu bahwa individu sendirilah yang perlu memainkan peran aktif dalam menentukan masa depannya, menggapai cita-cita dan mimpinya, bukan perusahaan. Dalam konteks kerja, kita melihat ini sebagai ‘blind acceptance of authority’, yaitu kondisi di mana individu tidak terbiasa mempunyai gambaran dan melihat dirinya sendiri secara jelas. Bila berlarut-larut, hal ini bisa berkembang dan mempengaruhi struktur ‘power’ di organisasi.

Kita memang tidak bisa menutup mata bahwa individu dibesarkan dengan cara yang berbeda-beda. Ada anak yang sudah diberi pilihan sejak kecil, tetapi ada juga anak yang pilihan hidupnya dibuatkan oleh orang tua. Alhasil, dalam organisasi kita akan menemukan individu yang bervariasi, dari mempunyai kapasitas ‘self growth’ besar dan kecil. Jadi, bisakah kita menciptakan empowerment di organisasi? Yang jelas, menciptakan suasana penuh inisiatif dan berspirit ini bukan suatu proses membalik tangan. Ini sama dengan kenyataan bahwa kita tidak bisa mengubah budaya korporasi dengan satu program saja. Menciptakan suasana penuh empowerment adalah proses yang dinamis, panjang, dan menyentuh area’ bawah sadar’ individu.

(Dimuat di Kompas, 29 Desember 2012)

Sumber: Experd

Memelihara Sukses

Saat seorang karyawan bergabung di perusahaan, kita beranggapan mereka sudah pasti mau bekerjasama, mau berkontribusi, mau menunjukkan loyalitas, apapun alasannya. Meski kita juga sadar bahwa ‘employment’ mereka bersifat sementara, namun ketika ada karyawan mengundurkan diri, apalagi karyawan andalan, kita tetap akan merasa ‘shock’, tidak siap, dan kemudian bereaksi macam-macam. Kadang marah, merasa bahwa karyawan tidak tahu diri. Tak jarang kita juga bertanya-tanya, “Mengapa sudah disediakan yang “enak-enak” tapi tetap tidak kerasan? Apa sih yang salah dengan diri kita?” Situasi karyawan ‘keluar-masuk’ sudah pasti memusingkan. Perpisahan pasti tidak pernah enak, bagi kedua pihak, apalagi bila dibumbui sakit hati. Sebuah riset menunjukkan kerugian finansial sebagai akibat perginya karyawan potensial besarnya mencapai 3 sampai 10 kali biaya upah tahunannya. Belum lagi bila kita menghitung kerugian moral, misalnya ketidakpuasan pelanggan karena orang yang berganti-ganti, juga turunnya spirit tim.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Masalah ‘turnover’ karyawan ini jelas harus dicari jalan keluarnya. Bukan dari sisi manajemennya saja, tetapi juga karyawannya. Siapa sih yang ingin menjadi kutu loncat? Dan, manajemen mana yang tidak menginginkan hubungan langgeng dengan karyawan, apalagi karyawan dengan kontribusi yang baik? Para pemikir manajemen baru-baru ini menganjurkan kita untuk tidak hanya memikirkan hubungan industrial saja, tetapi lebih memperhatikan bagaimana karyawan memelihara “rasa suksesnya”. Pemikiran ini sebetulnya memudahkan kita untuk memikirkan kelanggengan hubungan industrial ini karena justru bisa diupayakan secara aktif oleh kedua belah pihak, di luar cara-cara tradisional untuk mengupayakan “employee satisfaction”.

Mengobati Rasa Frustrasi

Seorang karyawan cemerlang yang baru saja mendapatkan beasiswa dan menyelesaikan studi S2-nya, merasa ‘happy’ ketika ia dijadikan narasumber dalam komite perubahan bisnis proses dan penggantian sistem perusahaan. Rasa suksesnya ini membuat ia bangga, seolah bisa menepuk dada bila ia pulang ke keluarganya, dan bisa mengatakan “Ayah bekerja keras karena sangat dibutuhkan di perusahaan”. Sebaliknya, kita tentu pernah mendengar ada karyawan merasa frustrasi hanya karena rapat-rapat dalam tim yang berkepanjangan ataupun pengambilan keputusan yang bolak-balik. Meski terlihat sepele, hal ini bisa membuat karyawan merasa tidak merasa ada kemajuan dalam pekerjaannya. Bawahan juga bisa merasa tidak sukses karena sikap atasan. Atasan yang tidak berhasil memberi kejelasan akan harapan manajemen, mengubah-ubah sasaran pekerjaan, tidak menjelaskan kemungkinan perbaikan kesejahteraan, tidak memberi umpan balik yang ‘workable’, ataupun tidak mampu memimpin rapat yang efektif dan inspiratif, tak jarang juga membuat anak buah lelah dan merasa bahwa pekerjaan menjadi rutin dan ‘biasa-biasa’ saja. Sepanjang ide kita diterima, apalagi ‘dipakai’ sebgai inisiatif perusahaan, individu pasti akan bisa merasakan kesuksesan. Ini jelas berarti bahwa sukses tidak selamanya berbentuk didapatnya fasilitas-fasilitas yang mentereng dari perusahaan.

Hal lain yang bisa membuat karyawan frustrasi adalah tangga karir yang vertikal dan berbentuk piramid, sehingga mendaki karir terlihat sebagai tantangan yang ‘too complicated’. Padahal, karyawan perlu melihat kesuksesan, kecil maupun besar, yang ‘bisa’ dicapai, baik itu secara lateral, maupun secara emosional. Dari segi ‘benefit’, kita tidak lagi bisa menyamakan nilai-nilai karyawan dua-tiga dekade lalu dengan karyawan masa sekarang. Kalau dulu yang dicari karyawan adalah lebih pada ‘rasa aman’, seperti jaminan hari tua dan kesehatan, survei mengatakan bahwa karyawan sekarang lebih menginginkan jaminan yang bisa dikelolanya sendiri di masa depan. Adanya tawaran ‘wealth management’ yang kreatif akan membuat individu yang bekerja sebagai karyawan akan mempunyai pandangan yang berbeda tentang ‘kekayaannya’. Mau tidak mau, kita pun harus meninjau kembali pandangan

mengenai ‘kerja keras’. Kaum muda sekarang lebih bisa merasa sukses bila bisa mengelola pekerjaan, sekaligus mengurus dan mengirim anak-anak ke pendidikan yang bermutu. Inilah sebabnya, kita perlu berusaha untuk menciptakan suasana kerja di mana karyawan bisa merasa berada dalam kultur yang dinamis, bisa menampung aspirasi dan bisa inspiratif pula.

Komunikasikan sukses

Bila karyawan sudah memutuskan untuk pergi dari perusahaan, kita kerap merasa bahwa ‘exit interview’ sudah terlambat, sudah sulit untuk bisa memenangkan lagi hati karyawan. Jadi sebetulnya, hal yang lebih penting adalah melakukan ‘stay interview’, di mana kita. justru bisa mendapatkan ide-ide, apa yang membuat karyawan ‘happy’ dan apa yang bisa membuatnya lebih happy lagi. Hal yang juga penting adalah memahami bahwa ‘reward’ saat sekarang tidak sekedar finansial tetapi juga mental. Orang bisa dianggap sukses bukan sekedar dari ‘performance’ langsungnya, tetapi karena sikapnya. Cara bersikap yang bermotivasi, penuh respek dan positif juga bisa di‘klaim’ sebagai tindakan kesuksesan yang bisa di ‘reward’.

Di masa sekarang, di mana orang bisa menyaksikan kesuksesan secara instan, diberikannya ‘award-award’ kesuksesan yang langsung bisa dilihat dari multimedia, bahkan secara ‘realtime’, kita pun perlu memikirkan cara mengenai bagaimana setiap individu dalam organisasi merasakan ‘celebration’ yang sama. Hal-hal sederhana seperti makan bersama karena proyek berhasil diselesaikan dengan baik, tepukan tulus ‘good job’ pun tidak bisa diabaikan karena selalu ampuh untuk bisa membuat karyawan merasa sukses.

Dimuat di Kompas, 8 Desember 2012

Sumber: Experd

Tuesday, January 1, 2013

Komunikasi Plus dalam Coaching

Kita tidak bisa menutup mata betapa komunikasi dalam organisasi sering “tidak kena”, tidak ber-impact. Di sebuah perusahaan, ketika sesi sosialisasi mengenai prosedur perusahaan berakhir, banyak karyawan yang berguman, “Oh, hanya ini yang dibicarakan? Kalau hanya arah perusahaan dan peraturan baru, kita bisa baca sendiri di intranet..” Dalam banyak sesi komunikasi , di mana atasan bertemu dengan bawahan, meskipun sudah dalam situasi tatap muka “one on one” , atau coaching sekalipun, tak jarang komunikasi tetap terasa dingin, formal, tidak sampai “hati ke hati”. Ujungnya, sosialisasi dan coaching, juga berbagai interaksi komunikasi lain, tidak menjadi hal yang ditunggu-tunggu, malahan dirasa berat, dihindari dan berjarak.

Oleh: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Kita tentu juga pernah melihat situasi di mana atasan menugaskan orang lain untuk menegur seseorang, “Anda yang lebih dekat dan tahu tentang dia, Anda sajalah yang bicara.”. Ini adalah gejala, di mana komunikasi dianggap sebagai suatu hal yang bisa didelegasikan, tanpa berpikir bahwa absennya komunikasi sudah pasti akan menghasilkan kerenggangan hubungan antara si empunya berita dan penerimanya. Ya, komunikasi memang bisa didelegasikan, tetapi hubungan interpersonal, tidak bisa. Hubungan interpersonal ‘man to man’ hanya bisa dilakukan oleh pelakunya. Tidak mungkin, hasil dari komunikasi si B dan Si C bisa menghasilkan kentalnya hubungan interpersonal antara si A dan si C. Komunikasi ini menjadi sangat krusial, apalagi bila tujuan kita dalam komunikasi bukan sekedar menyampaikan berita, tetapi juga untuk kepentingan lain, seperti perbaikan kinerja, perbaikan hubungan ataupun perubahan tingkah laku.

Kita memang sepenuhnya sadar perlunya memperkuat komunikasi. Seringkali tantangan ini kita jawab dengan menambah medianya, baik itu melalui intranet, web, bahkan twitter, serta segala upaya untuk menampung ‘curhat’ karyawan. Kita tentu bertanya-tanya apakah komunikasi begini tetap tidak cukup? Memperbanyak frekuensi, media dan sarana komunikasi tentu adalah upaya positif, namun pertanyaan sesungguhnya adalah apakah kita menjawab apa yang diharapkan karyawan? Apakah komunikasi yang kita upayakan bisa menyentuh emosi, memotivasi, menggerakkan, membuahkan ‘hubungan’ serta meningkatkan ‘engagement’ seperti yang diidam-idamkan?

Komunikasi Plus Spirit

Kita tahu bahwa kinerja perusahaan tergantung pada kinerja manusianya. Kinerja manusia ini sangat bergantung pada motivasinya. Motivasi bisa timbul-tenggelam. Saat motivasi tinggi, maka kinerja yang dihasilkan akan memberi impact dan loyalitas pelanggan berlipat ganda. Ini berarti keberhasilan komunikasi tidak bisa lepas dari agenda motivasinya.

Setiap leader dan coach harus sadar betul betapa komunikasi adalah kesempatan menyentuh rasa dan merupakan nadi motivasi. Di lembaga yang besar, perusahaan ataupun negara, anggota kelompok, karyawan atau rakyat bisa kehilangan motivasi bila tidak ‘mendengar sendiri’ harapan, mimpi, prioritas dan keyakinan pemimpinnya. Kita juga tidak boleh lupa betapa komunikasi perlu diberi bobot emosi agar bisa menjangkau penerima beritanya. Tuntutan, instruksi, informasi terkini, perencanaan, bisa membentuk “sense of security”, respek, kekuatan, dan kemampuan untuk mengontrol pendengarnya. Apabila organisasi dalam situasi krisis, maka ‘suara perusahaan’ perlu disampaikan secara langsung oleh pemimpinnya, agar para pendengar terdorong untuk berani, merasa ditemani dan tahu ia tidak ditinggalkan sendiri.

Bermutu tidaknya komunikasi memang banyak bergantung dari sikap komunikatornya. Komunikator yang menginginkan ‘excellence’ akan memperhatikan sikapnya dalam berkomunikasi. Ia akan memilih media, kata-kata, intonasi, volume yang tepat. Ia akan menghilangkan sikap yang mengecilkan hati dan menyurutkan minat. Seorang atasan yang menginginkan perbaikan kinerja akan dengan cermat memilihkan prinsip dan teknik yang bisa men-support bawahannya. Bahkan tanpa ragu ia akan mengekspresikan ‘tough love’ dalam komunikasinya seperti “Some of the things I’ll tell you may be hard to swallow, but they will also be good medicine.” Inilah yang kita namakan komunikasi yang berbobot, karena dimuati dengan spirit, emosi dan kekuatan pembicaranya.

Cuaca komunikasi dalam “coaching’

Cuaca komunikasi sangat bisa kita rasa dan raba. Kita tentu bisa merasakan bila antara satu orang dengan orang lainnya di dalam tim tidak ada koneksi atau hubungan batin. Bisa saja seluruh anggota tim secara fisik ada bersama di dalam rapat, namun diskusi yang terjadi terasa tidak tulus, tidak ada kontak mata, penuh basa-basi dan tidak dilakukan ‘sepenuh hati’. Kita tentu bisa membayangkan betapa organisasi dengan suasana seperti ini pasti tidak menyenangkan dan akan sulit berfungsi optimal. Coaching pun pastinya akan menjadi tantangan berat dalam cuaca komunikasi seperti ini.

Dalam bukunya “The Leadership Experience,” Richard L. Daft dan Patricia G. Lane memberi kiat mengupayakan cuaca komunikasi yang positif. Keterbukaan sudah pasti fokus utama untuk memperbaiki cuaca komunikasi ini. Hal yang perlu dilakukan, pertama-tama, birokrasi perlu ditinjau kembali. Bila atasan masih dipandang sebagai simbol kekuasaan dan bukan sebagai sumber pengetahuan dan keahlian, maka rasa enggan untuk berhubungan pasti akan muncul. Keterbukaan juga penting untuk mengikis rasa gengsi antar bagian. Kita bisa mengupayakan keterbukaan, misalnya dengan transparansi data kinerja. Bila ini dilakukan, kita bisa berharap akan munculnya keinginan untuk membahas strategi perusahaan bersama, meningkatkan produktivitas, dan juga, mengembangkan kebiasaan ‘coaching’ dan ‘mentoring’ yang intensif. Keterbukaan berarti juga kesiapan untuk ‘mendengar’ dengan perhatian penuh. Saat setiap bawahan diberi kesempatan mengemukakan sasaran, frustrasi dan perasaannya, sampai tuntas, tidak hanya hubungan yang lebih baik akan terbentuk, namun motivasi diri untuk berkontribusi dan mendukung visi organisasi pun akan hadir dan menjadi motor bagi individu untuk berkinerja. Seorang ‘coach’ adalah ‘pawang cuaca’ situasi kerja ini.

(Dimuat di Kompas, 3 November 2012

Sumber: Experd