Belum selesai isu pelaksanaan ujian negara yang dianggap sebagai momok bagi sekelompok orang di dunia pendidikan, kita kembali tertampar dengan mencuatnya berita plagiat dalam penyusunan skripsi, tesis, bahkan disertasi doktor. Tugas akhir yang biasanya memakan pemikiran dan jerih payah berbulan-bulan, memaksa kita untuk membedah puluhan buku dan teori, senantiasa dipandang sebagai masterpiece-nya seorang mahasiswa, tidak lagi menjadi ‘sakral’ dan dengan mudahnya bisa diupahkan ke orang lain. Hal yang lebih mencengangkan, si 'pemberi jasa' pembuatan skripsi dengan terang-terangan beriklan di koran-koran, seakan sah-sah saja tindakan yang dilakukannya. Ada apa sebenarnya dengan pengembangan ilmu di negara kita, sehingga pelecehan, penyelewengan seolah menjadi marak dan dianggap membudaya?
Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Tak pelak, kita pasti tergelitik untuk bertanya, apakah kita memang punya banyak alasan untuk berada jauh dari obyektivitas dan pengembangan ilmu? Bukankah universitas kita yang sudah berdiri sejak jaman Belanda juga punya reputasi yang tidak kalah dengan negara lain? Bukankah banyak sekali ahli, peneliti, insinyur, dokter, ekonom ternama juga keluaran universitas negeri kita? Bukankah banyak karya terbaik dan bermanfaat dihasilkan, bahkan insinyur Departemen Pekerjaan Umum kita juga sudah meluncurkan alat penyaring air kotor praktis yang bisa digunakan para korban banjir dari manfaat ilmunya? Dengan kemajuan teknologi yang memungkinkan kita untuk semakin mudah mengakses teori, riset, informasi, bukankah semestinya pengembangan ilmu semakin pesat dan bukan sebaliknya semakin tumpul, bahkan kotor? Apa benar mindset intelek kita sedang bermasalah?
Kita memang bisa melihat kemajuan dan pengembangan ilmu dari bagaimana aplikasi nyatanya dalam masyarakat. Namun, pengaruh dunia pendidikan juga bisa kita teropong dari sikap terhadap masalah, cara berpikir, cara menganalisis, bahkan cara bicara. Bila kita menyaksikan cara orang bertanya, tanpa diikuti pengambilan kesimpulan yang bermutu, cara orang berkomentar yang tidak didukung data tanpa rasa bersalah, kita memang perlu prihatin dengan kurang berpengaruhnya dunia pendidikan dalam perkembangan sikap intelek di masyarakat kita.
Bertanya sebelum Menyimpulkan
Cucu saya, seperti halnya anal-anak lain, terus menanyakan pertanyaan-pertanyaan kritis. Pernah saya tanyai, dari mana ia mendapatkan ide untuk mengajukan pertanyaan tertentu. Lucunya, ia menjawab bahwa di sekolahnya ada pelajaran khusus, yang diberi nama enquiry learning. Di sini setiap siswa diberi suatu topik dan hanya boleh ‘bertanya’ dan ‘bertanya’, kemudian beramai–ramai membuat kesimpulan tentang apa yang mereka 'temukan' hari itu dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Saya tertegun dan berpikir, betapa banyak di antara kita memang tidak dilatih dan tidak merasa penting untuk sabar menggali pemahaman secara mendalam. Padahal bila selama pendidikan dasar kita diberikan latihan semacam itu, tidak hanya kita terbiasa untuk mengambil kesimpulan yang tajam, namun kita juga bisa berkomunikasi dengan lebih harmonis dan berelasi dengan lebih efektif. Kita sama-sama tahu, bila kita tidak secara seimbang menggali pemahaman dengan 5W + 1 H (what, when, who, where, why dan how), tak jarang dampaknya akan membuat hard feeling dari lawan bicara atau tidak didapatnya kesimpulan yang bermutu, bahkan melenceng.
Menemukan AHA Experiences
Tentu kita masih ingat dengan cerita telur Colombus. Saat Colombus mendemonstrasikan cara memberdirikan telur di depan cendekiawan Spanyol, yang tidak berhasil menjawab tantanganya tersebut, mereka segera berkata “Ooo... begitu”. Ini sebenarnya adalah proses penerimaan input, didapatkannya sebuah pemahaman baru dan pengambilan kesimpulan yang penting untuk pengayaan intelektualitas individu. Ungkapan “Ooo begitu”, tentu saja sangat berbeda dengan ungkapan: “Okelah kalau begitu”. Dari pernyataan pertama, tampak diperoleh aha experience, di mana individu menemukan solusi atau jawaban dari suatu permasalahan yang selama ini masih kabur. Sementara pernyataan kedua, hanya persetujuan mengenai pendapat atau keadaan, terlepas dari apakah ia paham atau tidak esensi permasalahannya. Aha experiences inilah yang mestinya dihayati dan digali setiap orang dalam tiap situasi, bukan semata milik peneliti dan penemu, seperti Einstein dan Thomas Alfa Edison saja.
Kita bisa semakin jauh dari sikap ilmiah, bila tidak membiasakan diri membaca dan mengambil keputusan berdasarkan analisa data. Di sebuah perusahaan, para manajer yang hampir semuanya sarjana, seringkali berbantah-bantahan dan berkomentar tanpa diperkuat data. Ujung-ujungnya, masalah yang ada tetap tidak kelihatan akarnya. Keputusan pun diambil secara intuitif (baca: tradisional), tanpa dasar yang jelas. Teman saya yang menyaksikan hal ini, sambil menyayangkan, berkomentar: ”Ini baru satu perusahaan, bagaimana kalau satu negara?”. Dari sini kita perlu meninjau kembali kebiasaan di lingkungan kerja kita sendiri. Apakah kita sudah menumbuhkan rasa ingin tahu yang positif? Apakah kita biasa mengajak teman-teman memeras otak untuk mendapatkan solusi kreatif? Apakah kita peduli untuk mengajak lingkungan mencari esensi permasahalan dan kemudian menghitung agar pengambilan resiko bisa pas?
Bila ditelaah kembali, yang menjauhkan kita dari keilmiahan dan keintelekan, bukanlah mundurnya dunia pendidikan semata. Kita sendiri dan cara pergaulan kitalah yang menyebabkan kita tidak malu untuk ‘ngawur’, beralasan untuk tidak obyektif serta malas berpikir. Bila kondisi seperti ini kita pelihara, wajar saja bila para plagiator dan tukang contek tidak terusik rasa malunya dan bahkan masih berani menepuk dada dan minta dielu-elukan.
Dimuat di Kompas, 27 Februari 2010
EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com
Monday, July 26, 2010
Misi
Seorang wanita sukses yang hampir memasuki usia 80 tahun, ditanya teman-temannya, apakah beliau akan membuat pesta besar untuk merayakan ulang tahunnya. Dengan penuh senyum ia menjawab bahwa dirinya ingin ‘cari duit’ saja. Maksudnya, dalam rangka ulang tahun, ia akan membuat acara penggalangan dana. Dana yang terkumpul akan dimanfaatkan untuk membangun gedung laboratorium, asrama untuk anak jalanan atau kegiatan sejenisnya.
Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Dalam usia yang sudah lanjut, beliau masih memikirkan cara membangun dan membuat sesuatu. Saat ditanya apa yang menjadi gregetnya, ia berkomentar,“Sederhana saja. Saya melaksanakan misi suami yang sejak dulu ingin membantu orang miskin, memajukan kesehatan dan pendidikan.” Ternyata kekuatan kehendak suaminya yang sudah meninggal puluhan tahun lalu membuat wanita ini bertujuan dan mampu memaknai hidupnya dengan upaya-upaya positif, berarti dan berguna.
Seorang Psikiater, Victor Frankl, mengemukakan pentingnya menyadari dan menyuarakan ‘purpose of life’ individu. Tidak hanya sekedar untuk diri pribadinya, namun juga pada keluarga, anak, cucu, karyawan, anggota kelompok bahkan rakyatnya. Frankl juga menekankan bahwa manusia punya kebebasan penuh untuk menyikapi situasi yang dihadapinya. Apakah itu kegelapan, tantangan, godaan, kenikmatan, batu besar ataupun kerikil. Pada akhirnya, manusia memang bisa mengisi hidupnya dengan good stuff atau ‘bad stuff’ dan menjadikan dirinya pribadi yang terhormat atau tidak terhormat.
Saya jadi teringat cerita ayah saya tentang pengalamannya berada di tahanan Belanda. Di sana ada seorang temannya yang punya kebiasaan berbagi. Apapun makanan yang ditemukan, bahkan telur bebek yang sulit dibagi sekali pun, akan di-share dengan seluruh anggota kelompok. Ini membuktikan bahwa dalam keadaan sulit dan ‘survival’ sekali pun, seseorang tetap punya pilihan untuk menjadi manusia yang bermutu atau tidak. Tentu saja ini sulit terjadi jika beliau tidak punya ‘misi’ yang membuat dirinya dengan mudah menentukan langkah dan mengambil sikap.
Di jaman modern ini, kita lihat semakin banyak individu berkeyakinan bahwa kebahagiaannya datang dari kekayaan materi. Banyak orang sudah tidak bisa membedakan halal tidak halalnya mata pencaharian, dibudakkan harta, lupa batas antara kebutuhan dan keserakahan, bahkan tidak peduli membangun karakter pribadi. Buntut-buntutnya, setelah kekayaan di tangan pun, hidup tetap terasa pahit dan tidak berarti.
Banyak orang yang sudah ‘punya segalanya’, namun tidak bahagia dan berusaha mencari ketenangan melalui upaya penggalangan kegiatan religius yang tidak berujung. Bagaimana pun, kesibukan dan tantangan yang terus menerus hadir di depan mata, memang bisa membuat kita tidak punya lagi banyak waktu untuk melakukan refleksi diri. Jika kita ingin hidup kita berarti, tampaknya kita harus memaksa diri untuk diam sejenak, memikirkan kembali, dan memahami dengan jelas apa misi hidup kita.
Power of Missions
Pertanyaannya, bisakah seseorang menjalankan hidup tanpa misi yang jelas? Terkadang banyak orang di sekitar kita yang mengambil keputusan tanpa repot-repot pikir panjang mengenai ‘apa yang ingin ia capai’ dalam hidupnya. Banyak di antara kita tidak mendera diri untuk mencari jawaban ‘mengapa’ ia bersikap dalam situasi tertentu. Misalnya saja, orang tua yang bercerai karena emosi dan marah pada pasangan, tanpa memikirkan nasib putra-putrinya. Dalam situasi ini kita bisa meilihat bahwa prioritas untuk membuat putra-putrinya bahagia, aman dan nyaman, tidak menjadi dasar mengambil keputusan.
Ada seorang pemilik perusahaan yang membawa perusahaannya tumbuh besar, kemudian menjualnya dan meraup keuntungan besar dari proses akuisisi perusahaan. Setelah diakuisisi, ia tidak lagi tampak serius menggarap pengembangan perusahaan dan berhenti berinvestasi. Di sini kita bisa bertanya-tanya, apa misi pemiliknya? Dalam situasi ini, masih bisakah ia mempengaruhi karyawan untuk terus berinovasi? Apakah beliau kemudian bisa menjawab kepentingan kolektif stakeholder lainnya?
Dari situasi tadi kita bisa melihat betapa seseorang bisa kehilangan arah dan power jika tidak jelas misi dirinya. Dalam situasi kepemimpinan, para pengikut akan dibuat bingung oleh pemimpin yang tidak jelas ke mana tim akan dibawa. Sebaliknya, pimpinan yang punya misi mencerdaskan bawahan, bisa bertindak tegas, bahkan keras, pada anak buahnya yang enggan belajar. Teman saya, seorang pengusaha sukses, berprinsip: “Pokoknya perusahaan, orang, dan industri harus maju terus”. Kedengaran seperti tagline Ganefo jaman Sukarno, Onward, never Retreat. Namun, kejelasan misinya itu membuat seluruh karyawan jadi ‘tidak berani’ untuk tidak maju, aktif dan agresif dalam bekerja.
Berisi dengan Misi
Rasanya kita perlu kembali menyadari bahwa misi lebih sakti daripada sekedar uang. Chris Gardner yang kisah hidupnya diangkat ke layar kaca mengatakan: “Your pursuit determines your happiness”. Kita sesungguhnya bisa mengecek sendiri, apakah di akhir hidup nanti kita bisa berkata: “I did what I was created to do. I contributed to this world in a significant manner”.
Setiap kali tindakan kita mengarah pada pencapaian misi, kita tentu serta merta merasa happy dan semakin menikmati hidup ber-misi kita. Dengan misi yang jelas, kita bisa lebih kuat menangkis godaan, apakah itu harta, jabatan dan fasilitas. Misi akan otomatis menjadi patokan yang membuat kita jadi lebih jelas dalam mengambil keputusan dan tindakan. Misi dapat dikatakan bagaikan magnet yang menjaga agar kita stay on track.
Dimuat di Kompas, 13 Februari 2010
EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com
Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Dalam usia yang sudah lanjut, beliau masih memikirkan cara membangun dan membuat sesuatu. Saat ditanya apa yang menjadi gregetnya, ia berkomentar,“Sederhana saja. Saya melaksanakan misi suami yang sejak dulu ingin membantu orang miskin, memajukan kesehatan dan pendidikan.” Ternyata kekuatan kehendak suaminya yang sudah meninggal puluhan tahun lalu membuat wanita ini bertujuan dan mampu memaknai hidupnya dengan upaya-upaya positif, berarti dan berguna.
Seorang Psikiater, Victor Frankl, mengemukakan pentingnya menyadari dan menyuarakan ‘purpose of life’ individu. Tidak hanya sekedar untuk diri pribadinya, namun juga pada keluarga, anak, cucu, karyawan, anggota kelompok bahkan rakyatnya. Frankl juga menekankan bahwa manusia punya kebebasan penuh untuk menyikapi situasi yang dihadapinya. Apakah itu kegelapan, tantangan, godaan, kenikmatan, batu besar ataupun kerikil. Pada akhirnya, manusia memang bisa mengisi hidupnya dengan good stuff atau ‘bad stuff’ dan menjadikan dirinya pribadi yang terhormat atau tidak terhormat.
Saya jadi teringat cerita ayah saya tentang pengalamannya berada di tahanan Belanda. Di sana ada seorang temannya yang punya kebiasaan berbagi. Apapun makanan yang ditemukan, bahkan telur bebek yang sulit dibagi sekali pun, akan di-share dengan seluruh anggota kelompok. Ini membuktikan bahwa dalam keadaan sulit dan ‘survival’ sekali pun, seseorang tetap punya pilihan untuk menjadi manusia yang bermutu atau tidak. Tentu saja ini sulit terjadi jika beliau tidak punya ‘misi’ yang membuat dirinya dengan mudah menentukan langkah dan mengambil sikap.
Di jaman modern ini, kita lihat semakin banyak individu berkeyakinan bahwa kebahagiaannya datang dari kekayaan materi. Banyak orang sudah tidak bisa membedakan halal tidak halalnya mata pencaharian, dibudakkan harta, lupa batas antara kebutuhan dan keserakahan, bahkan tidak peduli membangun karakter pribadi. Buntut-buntutnya, setelah kekayaan di tangan pun, hidup tetap terasa pahit dan tidak berarti.
Banyak orang yang sudah ‘punya segalanya’, namun tidak bahagia dan berusaha mencari ketenangan melalui upaya penggalangan kegiatan religius yang tidak berujung. Bagaimana pun, kesibukan dan tantangan yang terus menerus hadir di depan mata, memang bisa membuat kita tidak punya lagi banyak waktu untuk melakukan refleksi diri. Jika kita ingin hidup kita berarti, tampaknya kita harus memaksa diri untuk diam sejenak, memikirkan kembali, dan memahami dengan jelas apa misi hidup kita.
Power of Missions
Pertanyaannya, bisakah seseorang menjalankan hidup tanpa misi yang jelas? Terkadang banyak orang di sekitar kita yang mengambil keputusan tanpa repot-repot pikir panjang mengenai ‘apa yang ingin ia capai’ dalam hidupnya. Banyak di antara kita tidak mendera diri untuk mencari jawaban ‘mengapa’ ia bersikap dalam situasi tertentu. Misalnya saja, orang tua yang bercerai karena emosi dan marah pada pasangan, tanpa memikirkan nasib putra-putrinya. Dalam situasi ini kita bisa meilihat bahwa prioritas untuk membuat putra-putrinya bahagia, aman dan nyaman, tidak menjadi dasar mengambil keputusan.
Ada seorang pemilik perusahaan yang membawa perusahaannya tumbuh besar, kemudian menjualnya dan meraup keuntungan besar dari proses akuisisi perusahaan. Setelah diakuisisi, ia tidak lagi tampak serius menggarap pengembangan perusahaan dan berhenti berinvestasi. Di sini kita bisa bertanya-tanya, apa misi pemiliknya? Dalam situasi ini, masih bisakah ia mempengaruhi karyawan untuk terus berinovasi? Apakah beliau kemudian bisa menjawab kepentingan kolektif stakeholder lainnya?
Dari situasi tadi kita bisa melihat betapa seseorang bisa kehilangan arah dan power jika tidak jelas misi dirinya. Dalam situasi kepemimpinan, para pengikut akan dibuat bingung oleh pemimpin yang tidak jelas ke mana tim akan dibawa. Sebaliknya, pimpinan yang punya misi mencerdaskan bawahan, bisa bertindak tegas, bahkan keras, pada anak buahnya yang enggan belajar. Teman saya, seorang pengusaha sukses, berprinsip: “Pokoknya perusahaan, orang, dan industri harus maju terus”. Kedengaran seperti tagline Ganefo jaman Sukarno, Onward, never Retreat. Namun, kejelasan misinya itu membuat seluruh karyawan jadi ‘tidak berani’ untuk tidak maju, aktif dan agresif dalam bekerja.
Berisi dengan Misi
Rasanya kita perlu kembali menyadari bahwa misi lebih sakti daripada sekedar uang. Chris Gardner yang kisah hidupnya diangkat ke layar kaca mengatakan: “Your pursuit determines your happiness”. Kita sesungguhnya bisa mengecek sendiri, apakah di akhir hidup nanti kita bisa berkata: “I did what I was created to do. I contributed to this world in a significant manner”.
Setiap kali tindakan kita mengarah pada pencapaian misi, kita tentu serta merta merasa happy dan semakin menikmati hidup ber-misi kita. Dengan misi yang jelas, kita bisa lebih kuat menangkis godaan, apakah itu harta, jabatan dan fasilitas. Misi akan otomatis menjadi patokan yang membuat kita jadi lebih jelas dalam mengambil keputusan dan tindakan. Misi dapat dikatakan bagaikan magnet yang menjaga agar kita stay on track.
Dimuat di Kompas, 13 Februari 2010
EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com
Subscribe to:
Posts (Atom)