Saturday, December 4, 2010

Bahasa Action

Pergantian pucuk pimpinan beberapa lembaga tinggi negara yang perannya sangat strategis telah menyedot perhatian kita dalam beberapa minggu terakhir ini. Tidak habis-habis diulas, dikupas, dibahas kualitas dan kompetensi pemimpin yang perlu dimiliki oleh sosok yang nantinya akan mengisi jabatan tersebut. Apakah pemimpin perlu tahu segala hal sampai ke detil? Ataukah lebih baik yang sekedar paham big picture-nya saja? Apakah lebih tepat yang cepat ambil tindakan ataukah lebih baik yang mau mendengarkan berbagai pendapat dan membuat pertimbangan yang matang dalam tiap langkah? Bagaimana komposisi yang 'pas'? Tidak hanya di tingkat negara, namun di banyak perusahaan pun kita kerap melihat sulitnya memilih dan menentukan sosok yang bisa mewakili harapan banyak pihak.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dalam pembahasan mengenai leadership, kita kerap membaca ulasan mengenai bedanya 'manajer' dan leader. Di lapangan dan di atas kertas, kita memang melihat bahwa pemimpin punya 'derajat' yang lebih tinggi dari manajer. Manajer lebih dipandang sebagai ahli dalam pelaksanaan dan motor untuk mencapai hasil yang diinginkan. Sementara, pemimpin dipandang memiliki peran yang lebih strategis. Ia harus punya visi ke masa depan, menentukan arah, memilih strategi dan sekaligus memiliki kemampuan persuasi untuk membawa orang-orang yang dipimpinnya bergerak ke arah yang diinginkan. Ahli manajemen, Peter F. Drucker pun berkomentar "Management is doing things right; leadership is doing the right things." Pertanyaannya, apakah kita membutuhkan pemimpin dengan kemampuan manajerial yang kuat atau manajer dengan kepemimpinan yang kuat?
Meramu Kompetensi Manajerial dan Kepemimpinan

Banyak nasehat yang beredar mengenai teknik kepemimpinan untuk lebih melihat permasalahan secara menyeluruh, dari sudut pandang helicopter dan melihat jauh ke depan. Padahal, di sisi lain, kita tahu Xerox tidak akan selamat dari keterpurukan bila Anne Mulcahy tidak membenahi setiap detil perusahaan itu, pada masa-masa awal kepemimpinannya. Di samping mimpi dan visi yang jauh dan progresif, jagoan-jagoan seperti Francis Ford Coppola atau Steve Jobs pun ternyata adalah orang-orang yang sangat mendalami industri dan keahlian yang diperlukan dalam lini bisnisnya dan selalu mempelajari semua persoalan secara in-depth. Ini berarti pemisahan antara fungsi kompetensi manajerial dan kepemimpinan sudah tidak bisa kita lakukan secara ekstrim. Bahkan, perlu kita akui bahwa di samping kapasitas kepemimpinan yang harus digali dari seorang manajer, seorang pemimpin juga perlu mewarnai kapasitas memimpinnya dengan hal-hal yang berbau how it will be done.

Saya jadi teringat nasehat seseorang yang sudah bisa tergolong begawan di dalam lini bisnis telekomunikasi. Ketika seorang CEO baru berkunjung dan mempertanyakan kegagalan-kegagalan pendahulunya. senior ini hanya menganjurkan untuk berkunjung ke ‘pasar’ dan mendapatkan ‘rasa’ dan ‘pengalaman pelanggan’ yang sesungguhnya. Nasihat ini tentu menyadarkan bahwa pemimpin tidak akan bisa membuat terobosan dan keputusan yang tajam, bila ia tidak menjiwai, merasakan dan menghayati kebutuhan anak buah dan 'pelanggan' di lapangan.


Harus kita akui, banyak sekali pemimpin yang dianggap oleh anak buahnya sebagai 'ahli teori', namun tidak mengenal keadaan anak buahnya sama sekali. Pemimpin tipe big picture only ini mungkin saja tersandung pembuatan keputusan yang hanya berdasarkan data di kertas, namun tidak mempunyai akses pada realita di lapangan. Tak heran bila kita pun sering mendengar komplain adanya keputusan yang kaku dan 'tidak mau tahu'. Ini juga tampaknya yang mendasari tuntutan agar para pemimpin harus senantiasa ingat untuk 'walk the talk'. Tidak bisa sekedar memberi instruksi perubahan atau pengembangan di atas kertas, namun harus senantiasa mengikuti sampai implemetasinya. Bukankah ini juga yang bisa kita pelajari dari Steve Jobs. Secara teratur ia mendatangi Apple store di setiap kota yang dia kunjungi. Kedekatan dan pemahaman dengan kondisi di lapangan inilah yang membuatnya bisa senantiasa mengambil keputusan dan tindakan progresif yang terbukti membawa perusahaannya menjadi terdepan.

Action Tidak Bisa dipertukarkan dengan Konsep

Seringkali pemimpin berhadapan dengan masalah, berkutat membahas, menganalisanya berhari-hari. Pada saat menyusun action plan, entah karena habis tenaga atau memang menganggap bahwa action itu mudah dan taken for granted, perumusan tindakan pun digambarkan seadanya saja. Padahal action plan pun harus ditelaah kembali, perlu betul-betul dipastikan apakah memang akan bisa membawa perubahan signifikan atau tidaknya. Action plan juga dbutuhkan untuk menjamin follow up dan mempermudah pengecekan. Bisa kita lihat sendiri betapa kebijakan kebijakan yang dibuat oleh penguasa negara sering tidak berbuah perubahan, karena tindak lanjut yang tak jelas.

Dari sebuah simulasi kegiatan pada pelatihan kepemimpinan, tidak satu pun kelompok yang mendapat tugas merancang perubahan, menyertakan time frame dan action plan yang mendetil. Di sini kita bisa berkaca bahwa sosok pemimpin yang dibayangkan seringkali adalah sosok yang tidak perlu go into details. Padahal jarak antara perancangan dan tindakan ini bagaikan jurang yang dalam yang bahkan terkadang misterius. Dengan tidak diterjemahkannya konsep ke dalam action, kita tidak bisa melihat nilai, konflik bahkan ketakutan-ketakutan apa yang menghambat pelaksanaan perubahan. Setiap anak buah pastinya menunggu-nunggu pernyataan pemimpin untuk menggerakkan perbaikan proses,sumberdaya manusia, infrastruktur dan mental di lembaga yang dipimpinnya. Semakin nyata instruksi mengenai sasaran, tindakan apa yang perlu dilakukan, kapan dan seberapa besar cakupannya, akan semakin bisa kita menjamin adanya langkah perubahan dan perbaikan proses. Sehebat-hebatnya visi pemimpin, arahan tindakannya harus jelas.

Dimuat di Kompas, 2 Oktober 2010

EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
Experd

Tuesday, November 30, 2010

Gaya Baru

Satu–dua dasawarsa lalu, kita masih banyak menemukan kantor-kantor atau toko tutup pukul 2 siang dan menerima situasi tersebut sebagai hal yang biasa. Bila kita menemukan situasi semacam itu sekarang, kita pastinya tertawa dan akan segera memberi cap 'jadul' (jaman dulu)! Kini, tidak hanya rumah sakit yang memberi pelayanan 24 jam. Apotik, supermarket, perbankan, wartel, bengkel dan toko kebutuhan sehari-hari pun berlomba-lomba memberi layanan sepanjang hari. Bukankah kini tidak aneh lagi kita melakukan diskusi, meeting, pelatihan dan pertemuan bisnis sampai tengah malam? Bekerja long hours telah menjadi rutinitas, bekerja saat wiken seakan sudah menjadi hal yang biasa. Bisakah kita bayangkan, apa jadinya bila kita tidak menemukan gaya baru dalam menghadapi situasi yang serba berubah seperti ini?

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Kita lihat banyak organisasi yang menuntut karyawannya untuk bekerja lebih keras, lebih cepat dan menerapkan prosedur dan disiplin yang kaku. Namun, ternyata tetap saja mereka mengeluhkan kinerja dan produktivitas yang tidak sesuai harapan. Di tengah situasi kerja menekan, kita pun sering mendengar karyawan mengeluhkan atasannya: yang tidak ada puasnya lah, yang sering berubah-ubah lah atau memeras tenaga. Bagaimana kita menyikapi suasana kerja yang seakan-akan tidak lagi menyenangkan? Tuntutan ekonomi, sosial dan global begitu mengharuskan kita berpikir keras untuk me-“refresh” gaya kerja kita. Bila kita merasakan organisasi tidak berganti gaya selama puluhan tahun dan suasana bekerja tidak lagi bergairah, bukankah itu juga tanda-tanda kuat kita perlu berganti gaya atau bahkan berganti arah?

Tertutup atau Terbuka?

Mana yang menurut Anda lebih baik, menahan dan menjaga rapat-rapat “rahasia dapur” kita atau membiarkan desain, produk dan distribusi kita bebas diakses dan dimanfaatkan seluas-luasnya? Tahukah Anda bahwa banyak akademisi handal di negara kita ternyata menyimpan rapat hasil penelitian mereka yang canggih dan bisa bermanfaat luas? Ada yang kuatir hasil karyanya dicontek orang, ada yang berstrategi untuk bertahun-tahun mencari mitra dan waktu yang tepat untuk mempublikasikan karyanya, sampai tak jarang karyanya sama sekali tidak sempat terpublikasikan atau bahkan menjadi basi. Masih bisakah kita menerapkan pendekatan menahan, menjaga dan menyimpan di jaman yang terus berubah seperti ini?

Dulu, perusahaan yang jeli menangkap kebutuhan pelanggan, jago memprediksi tren pasar, memiliki sistem dan prosedur yang lengkap, bisa kita pastikan akan merajai pasar. Mereka bisa 'menangkap' banyak pelanggan dengan pendekatan yang kita kenal dengan Push Platform. Namun, beberapa perusahaan kelas dunia sekarang justru meninggalkan mindset ini. Mereka tidak lagi mengejar pelanggan, tak lagi berorientasi memenuhi kebutuhan pelanggan, namun mereka membebaskan diri berinovasi, membuka diri terhadap masukan, belajar dari bidang yang berbeda, menciptakan nilai-nilai baru, menonjolkan keunikan produk dan layanan mereka. Ujung-ujungnya, pelanggan yang malah 'mereka'. Gaya baru, Pull Platform inilah yang memampukan organisasi tidak sekedar bisa mengejar ketinggalannya, namun sebaliknya meng-attract values.

Perusahaan atau individu yang berorientasi menahan, menjaga, merahasiakan, apalagi memikirkan keuntungan diri sendiri kita lihat jadi sulit untuk bersaing dengan perusahaan yang terbuka, fleksibel, berinovasi dan mengandalkan strength values. Bukankah kita melihat perusahaan-perusahaan Cina dan India maju begitu pesat dengan open production, open distribution dan proses design yang kreatif? Contoh yang paling nyata adalah bertahannya perusahaan seperti Linux yang mengumandangkan open source, melawan Microsoft yang tertututup, menahan dan men-charge semua layanannya. Tengok juga apa yang dilakukan Adidas dalam Adidas X David Beckham 2010 Lookbook. Manajemen Adidas mengungkapkan: ”Adidas is going from strength to strength." Kompetisi sudah tidak bisa kita lakukan dengan parameter uang lagi, demikian ungkap mereka, tetapi lebih kepada value creation.

Kolaborasi vs Senioritas

Bila dulu orang takut memangkas semua yang berbau senioritas karena bukti bahwa pengalaman sangat diperlukan dalam menjalankan bisnis, saat sekarang pembuktian terbalik sudah terjadi. Semakin kita menunggu orang agar berpengalaman, semakin lambat juga perkembangan perusahaan. “Satu satunya jalan adalah berkolaborasi. Semakin banyak partisipasi dan interaksi, semakin kinerja terakselerasi.” Inilah gaya kerja dan manajemen perusahaan perusahan India dan Cina, seperti Li & Fung, Dachangjiang Group, Tata Group. Mereka yang dulunya terbelakang, sekarang menjadi buah bibir dan fokus bahasan manajemen gaya baru, karena pendekatan yang memanfaatkan upaya network-centric-nya.

Sebagai individu, kita masing-masing pun perlu 'terbuka' dan berorientasi untuk berkolaborasi. Hal yang sering terlupakan adalah menelaah dan menghargai diri sendiri dan perusahaan kita sebagai kekuatan yang penting. Kita sendiri sering tidak sadar bahwa ada enerji lebih dan ‘power’ di dalam diri kita. Kita perlu meyakini kekuatan kita untuk bereksperimen, mengambil resiko, bahkan membuat perubahan. Kita perlu berpikir apa kekuatan diri kita yang bisa kita kontribusikan untuk menjadi nilai tambah pada tim dan pada pasar. Selanjutnya, Kita perlu memompa dan menggali apa yang secara lembaga atau individu bisa kita ‘kawinkan’, ‘campur’, kooperasikan dengan pihak lain. Bayangkan bila dalam sebuah perusahaan yang isinya 1000 orang semua orang berniat membuat 1 perubahan saja.

Apalagi setiap individu itu kemudian mengkolaborasikan upayanya dengan teman yang lain. Perusahaan seperti ini pasti bisa membuat inovasi tanpa susah-susah berpikir keras lagi. Kita perlu meyakini bahwa kita memang terlahir imajinatif dan “resourceful”.

Menyuburkan Passion

Setiap CEO yang ditanya apa yang paling penting dalam organisasinya, akan menjawab satu kata: manusia. Namun, bila pengembangan talenta dalam organisasi mandek, biasanya top manajemen akan langsung menunjuk pada program-program pelatihan, coaching, mentoring dan segala macam upaya pengembangan SDM yang canggih dan mahal. Bila manusia dan talenta benar-benar penting, mengapa jarang kita dengar CEO yang segera menyingsingkan lengan baju untuk menangai sendiri orang-orang “penting” yang butuh pengembangan? Mengapa tidak banyak CEO yang menyatakan komitmen terhadap peningkatan “passion” di perusahaan? Padahal, ‘passion’ jauh melampaui kepuasan, baik pelanggan maupun karyawan. Hanya bermodalkan ‘passion’-lah, kinerja bisa meningkat ekstrim. Hanya passion yang menyebabkan karyawan tidak melakukan hitung2an “What’s in it for me”. Kita lihat, pendekatan pada manusia pun membutuhkan gaya baru. Jika tidak, kita tidak hanya membuat diri kita rawan kehilangan pasar dan pelanggan, namun juga ditinggalkan karyawan kita sendiri.

Dimuat di KOMPAS, 28 Agustus 2010

EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com

Tulus

Seorang teman yang bisa dikatakan seorang socialite, kalau diamati lebih teliti, banyak menggunakan pujian bila bertemu dengan teman temannya. Karena pujiannya itu terlalu monoton yaitu selalu mengatakan bahwa lawan bicaranya terlihat ‘lebih langsing’, teman kita ini langsung terlihat ketidak tulusannya. Bahkan bila menemuinya, saya teringat kata kata penyair Irlandia, Oscar Wilde: “How clever you are, my dear! You never mean a single word you say”. Teman saya, yang lebih ekstrim lagi, pasti akan berkomentar: “muna….” ( baca: munafik). Kita begitu banyak menyaksikan transasksi sosial yang terasa tidak diwarnai dengan hati, saling cium pipi bukan sekedar antara ibu ibu tetapi juga bapak bapak, kepura-puraan beramal, spiritual, bijak, bermoral, yang sering membuat kita gundah, dan mencari-cari, siapa di lingkungan sosial kita ini yang bisa dipegang, janji, kata-kata maupun nasehat-nasehatnya. Pertanyaan juga: apakah kesan yang kita dapat itu, disadari oleh individunya sendiri? Apakah ia sadar bahwa kata kata ungkapannya serta ekspresinya penuh kepura-puraan? Almarhum ayah saya selalu mengingatkan: “orang pada dasarnya selalu berniat baik, kalau dia berbuat tidak baik di mata kita, mungkin ia tidak menyadarinya”. C.G.Jung, psikiater Swiss, juga berpendapat: ”... the hypocrisy is based on being not aware of the dark or shadow-side of their nature”.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Membentuk image, berbasa basi, berusaha agar terlihat ‘baik’ adalah revolusi individu untuk mengembangkan, bahkan memperbaharui dan mempertahankan eksistensinya di lingkungan sosial. Pertanyaannya bisakah hal ini kita lakukan dengan self-knowledge yang lebih tinggi agar supaya kadar ketulusannya juga bisa kita kembangkan? Bukankah dengan kesadaran diri yang lebih tinggi, rasa kemanusiaan yang genuine akan lebih dirasakan individu sehingga hal ini bisa mengurangi ‘rasa keterasingan’ dan rasa percaya pada sesama manusia?

Tinjau kembali ketulusan

Dalam sebuah pertemuan antara direktur pemasaran dan para kepala cabangnya di sebuah perusahaan raksasa, sang direktur menceriterakan betapa ketulusan bisa mengubah keluhan menjadi pengembangan bisnis. Tentunya dalam situasi keluhan, mulut manis, senyum dan semua tata cara servis yang standar tidak selalu bisa berlaku lagi. Para pebisnis sangat paham dan bisa membedakan antara komitmen, permintaan maaf dan janji yang dikatakan dengan tulus dan basa basi apalagi kosong. Kecocokan omongan dengan kenyataan di masyarakat sebenarnya hanya memberlakukan ujian satu kali: ”Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”. Terkadang, tanpa perlu ujian, orang yang cukup matang sudah bisa merasakan tulus tidaknya seseorang dalam satu kali pertemuan.

Demikian pula di organisasi. Bisa saja seseorang karena pandainya, katakanlah bermanis mulut, mendapatkan simpati dari atasannya. Tentunya arah penilaian yang obyektif terletak pada kapabilitasnya. Disinilah ujian individu sebenarnya, untuk kembali menelaah dirinya: ”kompetenkah saya?” Kondisi yang sering ‘mengangkat’ individu karena kekuatan lobby-nya ini, sering menyebabkan individu malas berintrospeksi dan terbawa pada situasi ‘semu’ yang penuh ketidak benaran. Bahkan, ia akan berusaha keras, agar ketidak benaran ini dipertahankan melalui manuver-manuver yang tricky lagi. Sebenarnya individu yang mulai lepas dari self-knowledge’ begini, sudah kehilangan kesempatan emas untuk maju. Ia mempunyai pandangan yang semu mengenai dirinya. Dan mulai tergantung pada atribut, norma, manuver sosial palsu saja untuk mempertahankan posisinya.

Tanpa harus mengurangi rasa percaya diri, sebenarnya setiap individu perlu duduk dan bersandar, untuk menelaah dirinya. Apakah informasi, pengetahuan, kapabilitas, ketrampilan, serta praktik-praktik yang dilakukannya masih sejalan dengan kaidah profesi, kejujuran dan fairness di lingkungan sosial yang general. Groucho Marx: “The secret to life is honesty and fair dealing. If you can fake that, you’ve got it made ”.

Dengan contoh bahwa ketulusan bisa menguntungkan, bahkan di bidang bisnis, maka kita memang pantas mempertimbangkan untuk memperkuatnya dari hari ke hari. Kita bisa memulainya dengan lebih mendengarkan kata hati: apakah apa yang saya ucapkan ini benar datang dari lubuk hati yang paling dalam atau sekedar di bibir saja? Kitapun bisa meyakinkan diri, bahwa ketidaktulusan bila diteruskan tidak akan berbuah manis. Bayangkan bila kita menjadi seorang pemimpin, bisakah kita membangkitkan ‘trust’ bila tidak tulus? Trust bila menjadi pelumas hubungan dan transaksi bisnis, sementara ketidaktulusan mau tidak mau akan menjadi penghambat. Tanpa ketulusan, kebersamaan pun akan kering, tidak ber’nyawa’.

Tetap tulus ditengah politik dan kemunafikan

Beberapa teman yang tergabung dalam organisasi besar yang penuh dengan office politics, seperti menusuk dari belakang dan saling sikut menyikut, tetap bisa berjalan maju dengan tenang dan tidak mengesankan terimbas oleh adanya pengaruh basa basi, cari muka, dan ketidak tulusan. Ketika saya tanyai salah seorang teman, apa rahasianya, ia tenang tenang menjawab, “saya banyak melakukan komunikasi tertulis, di hampir semua komunikasi, formal dan tidak formal”. Dengan semua komunikasi tercatat begini, hampir tidak mungkin orang mengingkari apa yang pernah ia katakan. Selain itu, dengan menulis, kita bisa bermain kata-kata, mencari ekspresi yang tepat, dan sekaligus bisa justru membudayakan transparansi, karena pembicaraan atau hasil pembicaraannya bisa kita ‘share’ dengan pihak yang perlu mengetahui dan terkait dengan urusan yang sedang dikerjakan. Kitapun dalam pemecahan masalah bisa menyebut kembali sasaran utama perusahaan sehingga dengan sendirinya motif pribadi akan tersingkir dan didominasi dengan motif untuk men-support sasaran dan nilai nilai perusahaan. ”Menulis membuat kita lebih aware," ungkapnya. Bila terasa masih ada agenda agenda pribadi, kita tidak perlu segan segan memberantasnya, kepentingan lembaga yang sebetulnya adalah kepentingan umum, pasti tidak bisa kalah oleh kepentingan pribadi. Rasanya tetap lebih baik membuang kemunafikan dari perbendaharaan ekspresi kita, karena metode itu perlahan lahan akan membunuh pribadi kita sendiri.

Dimuat di KOMPAS, 7 Agustus 2010

EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com

AsBun

Terkadang kita dibuat bingung, mendengar komentar-komentar para pejabat, wakil rakyat atau para public figure di media. Apa yang disampaikan kemarin, bisa beda dengan yang diungkapkan hari ini. Saat pernyataan dikonfirmasi atau dikonfrontasi lebih lanjut pada kesempatan lain, ada individu yang berkelit, kemudian merasa tidak pernah mengatakan hal dimaksud. Tak jarang, kita pun bengong dengan 'adegan' perang mulut, saling bantah atau bahkan juga ungkapan no comment dari pejabat berkepentingan yang penjelasannya ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Ketika seorang pejabat baru-baru ini menyatakan kecewa bahwa para wakil rakyat tidak menanggapi pertanyaan yang diajukan secara serius, kita pun bertanya-tanya, bisakah seorang yang memangku jabatan penting sekedar 'asal ngomong' saja? Bukankah sangat berbahaya jika kita punya pikiran bahwa orang yang bertanggung jawab terhadap urusan-urusan 'besar' di negeri ini tidak bisa dipegang kata-katanya? Bagaimana dengan kita sendiri, yang situasinya jauh lebih 'mikro' daripada lingkup tanggung jawab para pejabat negara?

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Di dalam keluarga, di tempat kerja, seberapa sering kita menemui gejala ‘asal bunyi’ seperti itu? Pernahkah kita bicara, mengeluarkan usulan, kemudian keluar dari ruang rapat tidak kita follow up lagi, bahkan bersikap seolah-olah pembicaraan tidak pernah terjadi? Tak jarang pula, saat suatu rencana ketahuan macet atau gagal, kita mendengar individu mengeluarkan berbagai alasan 'cerdas' untuk menghindar dari konsekuensi atau tanggung jawab. Dengan sikap seperti ini, bukankah kita malahan menodai integritas kita dan tidak menghormati diri kita sendiri? Padahal, sebetulnya kita punya peluang untuk membentuk karakter pribadi dan menganalisa “lesson learnt” dari setiap perkataan yang kita sampaikan dan tindakan yang kita lakukan.

Integritas = Ujian Konsistensi

Banyak orang yang menyamakan integritas dengan kejujuran, padahal integritas adalah sesuatu yang mendasar dan luas. Dalam berbagai rapat kita sering mendengarkan para peserta rapat menyuarakan kata “setuju” dan komit untuk melakukan action tertentu. Begitu dicek ulang mengenai apa yang akan dikerjakan, ia mengatakan belum tahu caranya, bahkan tidak terlalu paham apa yang dimaksud dalam rapat. Bukankah ini juga termasuk contoh tidak adanya integritas? Orang sering tidak merasa bersalah bila ia tidak paham tentang suatu hal dan tidak mengakuinya, bahkan membiarkan ketidakpahaman terebut menjadi dasar tindakannya. Hal seperti ini sering tidak terdeteksi di banyak perusahaan padahal inilah pangkal tolak dari tidak optimalnya kinerja individu, tim, bahkan organisasi.

Pengecekan ucapan kita versus tindakan adalah pengukuran integritas yang paling mudah dan paling tepat. Integritas langsung bisa dilihat melalui kecocokan apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan. Bila tidak mau dicap sebagai orang yang tidak punya integritas, kita tentu harus betul-betul menimbang kata-kata “ya” yang keluar dari mulut kita. Kita bisa menghormati diri kita sendiri dengan betul-betul bersikap konsisten terhadap apa yang kita sepakati. Bila tidak bisa melaksanakan atau molor dari waktu, bukankah lebih baik kita merevisi kata-kata kita dan memikirkan kerugian apa yang sudah diakibatkan oleh ucapan kita itu. Seorang filsuf mengatakan: ”Think for a moment about the Law of Gravity: there is no such thing as ‘good’ or ‘bad’ gravity; like integrity, it just ‘is’”.

Jangan Permainkan Integritas

Integritas tentu saja bukan sekedar “atribut” tempelan pada kepribadian pegawai. Integritas bukan sesuatu yang nice to have, melainkan keseluruhan dan keutuhan kepribadian individu. Saat lembaga atau seorang pejabat mengeluarkan sebuah komitmen atau pernyataan, misalnya saja tidak akan ada pemadaman listrik terjadi di pulau Jawa, tentu saja kita meyakini bahwa hal ini sudah melalui sebuah pengkajian dan pengujian yang matang, di mana para ahli ini sudah tahu duduk perkaranya, bagaimana menyelesaikan dan bagaimana menjamin bahwa komitmen ini tidak 'as-bun' dan bisa dilaksanakan. Saat seorang menyatakan komitmen di depan publik, ia tentu sadar bahwa dirinya mewakili kepentingan orang banyak. Begitu sebuah komitmen diucapkan, kita harus sadar bahwa jaminannya adalah keutuhan pribadi, di mana kita tidak bisa mengelak sedikit pun dari komitmen yang telah kita sampaikan. Integritas tidak bisa dilaksanakan setengah-setengah.

Saat krisis tahun 1997, kita tahu banyak sekali perusahaan tidak bisa memenuhi komitmennya untuk mensuplai barang, membayar atau melakukan langkah yang sudah disepakati dalam kontrak. Kita jadi berpikir apakah komitmen dan integritas bisa berkompromi pada saat kita terancam kerugian? Saya teringat seorang teman yang menceritakan pengalamannya dengan sebuah maskapai penerbangan. Ia dan keluarganya di upgrade ke kelas bisnis karena kesalahan pihak airline yang melakukan overbook penumpang pesawat. Keeping your word benar-benar menjadi policy bisnis karena kesadaran bahwa sekali komitmen dilanggar, reputasi, kepercayaan dan integritas bisa saja selama-lamanya tidak kembali. Kesalahan tentu saja akan menimbulkan kerugian, namun di sekolah bisnis mana pun, sudah pasti tidak ada pelajaran untuk mengingkari janji sebagai kebijakan menghindari kerugian. Banyaknya perusahaan yang berlomba menjual kredit tanpa agunan dengan bunga mencekik leher tanpa perhitungan yang matang mengenai pengembaliannya tentu perlu berpikir ulang untuk tidak bermain-main dengan integritas.

Menghormati Janji Pribadi

Di salah satu akun facebook, seseorang menuliskan status “Bagaimana mengajarkan kejujuran pada anak di situasi yang tidak menentu begini?”

Sebenarnya kita bisa kembali ke ‘basic’ saja, dengan mengajari anak untuk menghormati apa yang ia katakan. Bila ia berjanji, maka janji tersebut betul-betul harus dikatakan secara jelas, sehingga didengar dan dihayatinya sendiri. Kita pun bisa memperkenalkan kepada anak-anak dan bawahan kita betapa jauh lebih ksatria dan terhormat untuk mengakui kegagalan dalam memenuhi janji atau target daripada bersikap defensif, berkelit atau 'cuci tangan'. Kita bahkan bisa ‘surprised’ bila menyadari betapa rasa percaya orang lain bisa tumbuh lebih pesat bila kita mengakui kesalahan atau kealpaan kita secara gentleman. Merespek kata-kata sendiri betul betul merupakan praktik yang diperlukan setiap individu untuk membentuk kepribadian diri yang kian ‘utuh’ dari hari ke hari. Seperti dikatakan orangtua orangtua kita: “Watch your thoughts, for they become words. Watch your words, for they become actions.Watch your actions, for they become habits. Watch your habits, for they become character. Watch your character, for it becomes your destiny.”

Dimuat di KOMPAS, 31 Juli 2010

EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results

Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com

Wednesday, July 28, 2010

Generasi Chatting

Teman saya, kecewa. Ia yang kagum melihat istrinya begitu bangun tidur langsung menunduk dan berdoa, ternyata harus menghadapi kenyataan bahwa isterinya begitu bangun tidur langsung mengecek pesan yang masuk di hapenya! Ternyata, banyak orang yang melakukan hal tersebut di pagi hari sekarang sekarang ini. Bukannya langsung menghadap yang Kuasa tetapi mengecek pesan teks. Bukankah memang sedikit di antara kita yang tidak membawa hapenya ke samping tempat tidur. Seolah terjebak dalam teknologi digital dan media sosial, kita mau tidak mau sudah memperlakukan gajet-gajet tersebut sebagai bagian dari tubuh kita. Teman saya bahkan tidak punya masalah dengan peraturan dilarang bertelpon, apalagi 'chatting' saat menyetir, karena ia bisa melakukannya tanpa harus memandang handphone-nya. “Sudah hafal”, ujarnya. Dunia kita memang sudah berubah menjadi dunia 'chatting' dalam kurun waktu satu dekade!

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Ramalan penggunaan sistem komunikasi android, komunikasi lewat google tanpa bayar dan masa depan internet ini sering membuat kita khawatir, terutama akan terhambatnya kegiatan sosial tatap muka, isolasi sosial, juga buruknya kegiatan mendengar dan rendahnya perhatian pada orang lain saat tatap muka. Namun, hampir semua dari kita juga berstandar ganda. Di satu sisi kita memberi komentar miring mengenai buruknya dampak penggunaan media elektronik untuk berkomunikasi, sementara di sisi lain kita menggunakannya untuk ngobrol berjam-jam, mengontrol anak, membangun relasi, rapat, dan mengambil keputusan. Kita memang jadi bertanya-tanya, apakah generasi mendatang, generasi milenial, akan lebih 'terisolasi', ‘bodoh’ secara sosial daripada generasi kakek-nenek kita dulu?

Kecerdasan Baru

Tanpa terasa, dalam dua dekade terakhir ini dunia intelektualitas sudah mengalami transformasi besar-besaran. Buku sudah digantikan dengan e-book dan audio-book yang selain mempercepat akses, individu jadi lebih dimudahkan untuk memilih, mem-browse apa yang ia butuhkan. Tentunya kita akan kehilangan pembaca buku cetak yang sejak jaman dahulu sudah dianggap sebagai lambang intelektualitas. Namun, apakah ini berarti kualitas intelektualitas kita akan menurun?

Pusat riset internet Pew dalam laporannya "The Future of the Internet in 2020” mengemukakan konsep yang menarik. Apa yang terjadi sekarang dinilai bukan sekedar pergeseran budaya atau kebiasaan serta cara berhubungan manusia, tetapi juga pergeseran kemampuan cara pikir manusia, bahkan mungkin pada struktur intelegensinya. Dulu diperlukan kemampuan analisa sintesa saja, di mana kemampuan induksi dan deduksi pemikiran sudah cukup. Sekarang diperlukan kemampuan untuk berpindah, surfing, shifting dan swaying dari satu area informasi ke area informasi lain. Seakan harus menyelam, kemudian sekejap berpindah ke area lain, seolah bermain jetski di permukaan jaringan internet. Jadi tantangannya bukan lagi seberapa kuat memori seseorang dan sebanyak apa informasi yang bisa kita simpan dalam ‘hard drive’ alias otak kita, tetapi seberapa pandai dan cepatnya kita menelusuri jaringan untuk mengakses informasi dan seberapa kritisnya kita untuk menseleksi, memilah dan kemudian baru mensintesakannya serta mempelajarinya dalam waktu cepat.

Fleksibilitas bukan pilihan lagi

Perusahaan mana yang masih bisa menerima seorang karyawan yang tidak trampil mengoperasikan komputer, anti menggunakan ha-pe dan bahkan buta elektronik? Dinas rahasia dan badan keamanan Kerajaan Inggris (MI5) baru-baru ini mengumumkan akan melengserkan staff yang 'tidak melek' internet, facebook dan twitter. Mereka menyebut kalangan yang dipecat sebagai ‘generasi James Bond’ karena tidak bisa menggunakan internet dan tidak memahami dunia Twitter atau Facebook. Jonathan Evans, Director General of MI5, mengungkapkan bahwa para teroris banyak yang berkomunikasi dengan sesama anggota via situs jejaring. Karena itu, jadi wajib hukumnya bagi para agen rahasia ahli memakai Facebook demi memantau gerak gerik mereka. Untuk perekrutan baru, MI5 kini juga punya syarat tersendiri, yakni harus melek teknologi.

Dalam era banjirnya informasi seperti sekarang, kita lihat bahwa fleksibilitas bukan lagi menjadi pilihan, namun sudah menjadi keharusan. Seperti menegaskan apa yang disampaikan Darwin mengenai seleksi alam puluhan tahun lalu, “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent that survives. It is the one that is the most adaptable to change“. Bagaimanapun, kita memang tetap harus berterimakasih dengan adanya internet dan media elektronik lainnya ini. Dengan banyaknya dan transparannya informasi ini kita punya banyak kesempatan memilih, apa yang akan kita jejalkan ke benak kita untuk dijadikan pengetahuan.

Kepemimpinan non-elektronik

Betapapun canggihnya dunia elektronik, kita tidak pernah akan dikendalikan mesin. Kita tetap membutuhkan pemimpin dalam berorganisasi, berpolitik dan bernegara. Tentunya cara memimpin organisasi dengan aliran informasi yang kencang ini sangat berbeda dengan birokrasi yang kita dapatkan sebagai warisan bapak-bapak kita. Bila tidak berhati hati, kita akan ketinggalan informasi dan terlihat konyol di mata anak buah yang dengan cepat bisa mengakses informasi dari mana saja. Kita perlu menciptakan kepemimpinan gaya baru untuk mengendalikan 'content generation' yang menjamin kebebasan, tidak membosankan, tetapi juga tetap terstruktur. Semua laporan tetap perlu ber-deadline. Pelaksanaan tugas tetap bisa dihitung jam kerjanya. Rapat-rapat perlu beragenda dan mempunyai sasaran jelas dan terukur. Faktor sukses tetap harus didefinisikan dengan teliti.

Meskipun intensitas di layar elektornik sangat tinggi, hal yang tetap harus ingat oleh tiap pemimpin adalah memberi perhatian pada perasaan. Semua individu tetap ingin ‘happy’, tetap ingin berkawan, tetap ingin tersenyum. Inilah tantangan pimpinan perusahaan, untuk memenuhi semua kebutuhan anggota tim yang fleksibel, beragam dan berubah secepat kilat.

(Ditayangkan di KOMPAS, 17 April 2010)

Tuesday, July 27, 2010

Modern

Walaupun menelan pil pahit, kalah melawan Spanyol di semifinal piala dunia tahun ini, tim Jerman tetap menunjukkan fenomena baru di dunia sepak bola. “Modern lawan modern. Kolektif lawan kolektif. Keindahan lawan keindahan.” begitu ungkap penulis Sindhunata terhadap permainan Jerman saat melawan Argentina. Tim yang disangka akan bergaya panser, ternyata kemudian tampil seperti yang dikemukakan Sindhunata: lincah, cepat, ringan, agresif dan kreatif. Tim Jerman memperlihatkan betapa pendekatan barunya seolah bisa menciptakan magic. Setiap pemain bekerja keras, lari dan bertaktik. Semua pemain begitu sadar akan tugas pentingnya dan tidak ada seorang pemain pun yang terlihat tidak aktif berpikir untuk menempatkan bola-bola cantik. Tim-tim tangguh favorit juara, seperti Inggris dan Argentina pun harus mengakui ketangguhan tim Jerman. Kita yang menyaksikan pun tidak sekedar bisa menikmati menang kalahnya, tapi justru permainannya.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Kita pun bisa melihat kerjasama tim yang indah di kesebelasan Spanyol. Tim yang merajut kerjasama selama dua tahun ini kerap disebut “tidak punya siapa-siapa, tetapi bisa menjadi siapa pun”. Fleksibilitas yang ditunjukkan secara nyata terlihat menghasilkan keunggulan tim yang membuat kita mengacungkan jempol. Inikah pendekatan modern yang disebut-sebut oleh para komentator bola? Seorang filsuf, Delanty, menyebutkan modernisasi sebagai: "The loss of certainty and the realization that certainty can never be established, once and for all." Tanpa adanya pendekatan baru, tampaknya memang sulit kita untuk menghadapi lawan yang unpredictable dan dominan. Di era mobilitas sosio ekonomi, di mana produk, permodalan, manusia dan informasi beredar bebas tidak berbatas, setiap orang tampaknya memang perlu memikirkan desain perubahan spesialisasi, segmentasi dalam masyarakat, sehingga mempengaruhi pola interdependensi dalam organisasi ataupun tim. Kita tentu perlu terus mengevaluasi sejauh mana kita sudah menerapkan cara-cara baru dalam bekerja dan bekerjasama? Seberapa jauh upaya kita untuk me-modern-kan cara pikir dan pola hubungan interpersonal kita?

Bersantai dalam Keberbedaan

Keberhasilan adaptasi terhadap keragaman etnis dalam tim dan sudah tidak dinomorsatukannya senioritas lagi, adalah sebagian contoh betapa pendekatan baru adalah strategi yang bisa membawa keunggulan bagi sebuah tim sepakbola. Pelatih Spanyol, Del Bosque, menyebutkan bahwa ia harus mengelola pemain-pemain usia muda . Para pemain menyatakan betapa permainan dan kerjasama tim bisa mereka nikmati sendiri. Xavi, motor dalam tim Spanyol, bahkan mengungkapkan: "We felt very much at ease on the pitch. That's what we want, that's what we are looking for."

Dalam dunia manajemen pun kita melihat hal yang sama. Seorang anak muda berpenampilan ABG muncul di jajaran direksi sebuah bank besar milik pemerintah. Anak muda yang berhasil mencapai puncak karir dalam usia relatif muda ini pun tidak 'cupu' (baca: culun punya) bahkan ‘gaul’. Kecemerlangannya diakui oleh setiap orang. Ia memperlihatkan betapa dirinya begitu terbuka dan bahkan lebih happy bila bisa berhubungan dengan banyak orang. Ia pun menikmati dan mencari kesempatan untuk melakukan sebanyak-banyaknya sharing pengalaman, pendapat, minat dengan orang yang berbeda suku, negara ataupun bangsa. Seorang anak muda yang saya temui di pesawat mengatakan dirinya berkebangsaan Australia, sementara dari penampilannya terlihat ia beretnis Cina. Menariknya, ia sama sekali tidak menyadari bahwa ia ‘berbeda’ dari suku-suku bangsa yang lain. Ini membuktikan bahwa generasi modern lebih cair dan lebih mampu sharing daripada generasi sebelumnya.

Dengan kondisi ini, organisasi yang saat sekarang masih mengagung-agungkan sikap stereotipik dan birokratis tentu saja terlihat usang. Bayangkan betapa besar kerugiannya bila dalam sebuah divisi atau organisasi masih ramai terdengar keluhan mengenai tidak harmonisnya hubungan antar divisi, tidak nyamannya berhubungan dengan atasan karena alasan birokrasi, atau lambatnya tindakan karena sikap segan pada atasan. Kita bisa menilai sendiri betapa perusahaan-perusahaan seperti ini tidak efisien dan efektif, bahkan membuang kesempatan untuk menguatkan barisan dalam mencapai tujuannya. Suka tidak suka, saat ini kita dihadapkan pada situasi di mana segala sesuatu seolah tidak berstruktur. Bawahan akan memilih siapa yang akan dipanut untuk menjadi mentornya. Mereka pun akan menghindari perusahaan yang membatasi kegiatan networking mereka. Perusahaan yang terus bisa mempertahankan keunggulan, seperti Time Warner, Cisco dan Booz Allen, bahkan terus mendorong kesempatan berbagi know how dan memberi fasilitas untuk mengembangkan network yang tidak berbatas. Citibank dalam kampanyenya menuliskan “to work where and how you want”. Fleksibilitas memang perlu diciptakan dalam beragam bentuk yang kreatif. Kita harus menyadari bahwa segala sesuatu yang berbentuk remixed perlu dipersiapkan bila ingin menerapkan manajemen modern.

Bentuk Organisasi Modern

Tidak bisa diperdebatkan lagi apakah kita mau mencari pola baru dalam berorganisasi. Kita memang harus berubah. Organisasi baru harus mengakomodir proses ‘gunting-copot’ dengan cepat. Karyawan senior tentu saja memiliki 'kecanggihannya' sendiri, misalnya untuk pekerjaan yang mengandalkan tacit knowledge, pengalaman serta kepemimpinan. Amex dan Novartis, misalnya, menjaga dampak negatif dari peremajaan perusahaan, dengan tetap mempekerjakan para ahli senior yang keahliannya memang tidak tergantikan sampai mereka berusia 65 tahun secara part time. Di sisi lain, perusahaan perlu jeli mengoptimalkan kecanggihan yang dikuasai oleh boomers dan gen Y, misalnya kepandaian multitasking, ketajaman dalam menarik data dan informasi, serta kreativitas yang tinggi.

Dalam tim sepakbola, kita melihat bagaimana para pro cabutan berkumpul dalam satu tim dan kemudian bersatu dalam ambisi dan idealisme 'membela negara'. Keliru bila kita membatasi peran strategis kaum muda dengan anggapan bahwa generasi muda tidak punya ambisi, tidak punya idealisme dibanding generasi sebelumnya. Bukankah kita bisa lihat banyak anak muda berani memilih pekerjaan dengan gaji kecil pada perusahaan yang berorientasi ramah lingkungan, eco dan green dan begitu peduli pada pengembangan masyarakat. Ambisi dan idealisme inilah yang sebetulnya bisa menjadi perekat dalam organisasi modern untuk membangun tim dengan 'bentuk baru' yang lebih kuat. Tidak heran bila perusahaan seperti Virgin, Google, Facebook, Microsoft bisa terus mendobrak maju karena sistem yang dianut mengakomodasi keinginan anak muda kreatif yang juga sekaligus idealis.

Dimuat di KOMPAS, 17 Juli 2010

EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com/

Garda Depan

Siapa pun akan ‘kesengsem’ bila memasuki sebuah restoran dan disambut dengan manis, informatif dan gesit oleh seorang ‘frontliner’. Ini bukan taktik dagang yang merupakan rahasia perusahaan lagi. Semua orang tahu, garda depan adalah andalan perusahaan. Namun, tidak semua kita segera bisa membayangkan berapa banyak waktu dan betapa rumitnya membentuk garda depan yang helpful, tangkas dan handal. Ketrampilan dan standar layanan, bisa saja diajarkan melalui training dua atau tiga hari. Tapi, ketrampilan saja tanpa diwarnai spirit melayani yang kental, tentu akan segera terasa 'palsu' dan kakunya, tidak akan pernah bisa membuat pelanggan terkesan. Banyak sekali pemilik perusahaan, direktur dan manager mengeluhkan garda depan yang spirit melayaninya 'naik–turun', tidak konsisten. “Kalau pimpinan ada di lapangan, semua berjalan baik. Begitu kita tidak hadir, komplen berdatangan.”

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Membentuk dan menularkan spirit melayani, dari pucuk pimpinan sampai ujung garda paling bawah, memang senantiasa menjadi tantangan, bagi perusahaan kaliber nomor satu sekalipun. Di sini kita tidak lagi bicara masalah individu atau tim garda depan, tapi atmosfir dan budaya yang tidak hanya teraga, tapi juga harus terasa dalam setiap kata dan tindakan. Bukan saja di perusahaan jasa, seorang teman di sebuah pabrik padat karya pun mengeluh: “Mengapa ya, para pekerja tidak sadar bahwa kalau mereka mengerjakan tugasnya dengan penuh perhatian terhadap kualitas, perusahaan bisa lebih maju. Sekuat-kuatnya kita sebagai pimpinan jadi role model pun tidak membantu“. Sebuah data survey menyebutkan, sekitar 60% perusahaan yang berusaha memompakan corporate culture-nya mengalami kemandegan, tidak sampai ke lapisan paling ujung. Padahal garda depan inilah yang berurusan dengan pelanggan ataupun produk yang dihasilkan perusahaan. Banyak orang berkomentar, lini tengah-lah yang sering tidak mampu meneruskan pesan manajemen. Benarkah begitu? Apa yang bisa kita lakukan?

Komunikasi Bolak-balik

Banyak direktur dan manager mengeluhkan alotnya proses buy-in pada karyawan saat dilakukan cascading dalam penanaman nilai, misalnya saja nilai 'cinta pelanggan' atau 'cinta kualitas'. Kata cascading yang sering digunakan untuk menggambarkan sosialisasi budaya ataupun nilai-nilai perusahaan, sering membuat kita secara prinsipil merasa bahwa nilai-nilai tersebut harus di ‘guyur’-kan dari atas. Seolah-olah doktrin-doktrin yang sudah digariskan, bagai 10 perintah Allah yang harus dipatuhi. Namun, kita sendiri pun pasti mempertanyakan, seberapa efektif nilai-nilai bisa tumbuh dalam diri individu dan tim, bila mereka baru sekedar hapal tanpa penghayatan mendalam?

Sebuah perusahaan yang komit untuk memantapkan nilai dan budaya perusahaan, sangat menyadari bahwa diskusi-diskusi untuk mengumpulkan ‘masukan dari bawah’ sangat penting. Jumlah karyawan yang mencapai lima belas ribu orang membuat mereka melaksanakan tak kurang dari 5000 rapat untuk “menjangkau” seluruh karyawan. Di sinilah terlihat jelas betapa komitmen dari manajer-manajer lini tengah dan para supervisor diperlukan karena merekalah yang menghandel rapat-rapat kecil, mendengar baik-baik dan mengumpulkan masukan. Dari kegiatan ini, tidak hanya isi masukan yang jauh lebih berharga dari riset manapun, namun engagement karyawan pun lebih kuat karena mereka merasa hasil pemikirannya 'didengar' dan diterapkan oleh perusahaan.

Dalam proses pembentukan nilai, kita pun perlu menyadari bahwa doktrin satu arah tidak akan membuahkan hasil terbaik. Komunikasi bolak-balik diperlukan untuk menjamin tumbuhnya penghayatan. Aktivitas cascading yang efektif harus membuka seluas-luasnya kesempatan bagi individu untuk merasakan, terlibat, mendiskusikan, membahas kasus-kasus di lapangan dan mempertanyakan nilai-nilai yang ada, sehingga terjadi inner dialogue yang membuat nilai bisa tumbuh dan kemudian mengakar.

Suntikkan ‘Nilai’, bukan Sekedar Cara

Sebuah bank dengan reputasi standar servis yang sangat baik, masih merasa perlu melakukan benchmark pada sebuah rumah sakit yang dinilai bisa membuat pasien nyaman. Dari luar tampaknya rumah sakit ini tidak mempunyai SOP (Standard Operations Procedure) yang tegas. Semua pasien di dekati dengan cara yang berbeda-beda, tergantung penyakit, usia, suku bangsa, dan karakteristiknya. Dengan perlakuan ini, pasien yang datang segera bisa merasa nyaman, berkurang rasa takutnya, bahkan merasa betah dan ‘ingin kembali’.

Dari pengalaman benchmark, bank tersebut makin menyadari pentingnya memberikan pelayanan yang personal pada pelanggan yang mempunyai 1001 keunikan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Pemrosesan dokumen tentu harus singkat, cepat dan dilakukan dengan sigap, namun penanganan personal adalah kunci untuk memenangkan hati pelanggan. Manajemen bank segera menyadari bahwa sebelum mengarahkan pada pelayanan nasabah, karyawan pun juga perlu merasakan penanganan personal dari para atasannya. Karyawan juga perlu didekati secara tatap muka, face to face, hati ke hati. Selain karyawan perlu digelitik dengan persoalan bisnis seperti bagaimana membuat pelanggan lebih betah, bagaimana meningkatkan transaksi pelanggan dan memikirkan bagaimana perusahaan bisa menjadi word of mouth dari para pelanggan yang puas, karyawan pun perlu terlebih dulu merasa happy dan di treat secara personal.

Satu hal lagi yang bisa kita benchmark juga adalah pihak manajemen bank mendorong pimpinan dan manager untuk mengumpulkan contoh-contoh pengambilan keputusan para karyawan dalam menghadapi kebutuhan pelanggan yang unik dan berubah-ubah. Mereka meyakini pendapat: "New ideas pop up from the pressure of trying to solve a problem for the customer". Pengalaman dari karyawan ini yang kemudian di share dan dijadikan ajang belajar antar karyawan. Kita lihat bahwa standar layanan seharusnya memang tidak 'menyandera' garda depan sehingga jadi bersikap statis dalam memberikan pelayanan pada pelanggan. Penghayatan pun harus dinamis. Hanya dengan cara inilah perusahaan bisa: ”Moving beyond outputs”.

Dimuat di KOMPAS, 3 Juli 2010


EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com

Tata Krama

Tidak hanya gol-gol indah dan cantiknya permainan tim yang membuat kita tersihir pada ajang Piala Dunia tahun ini. Kericuhan, adu mulut, pertengkaran, juga 'pemberontakan' di balik laga pun tentu jadi perbincangan kita, seperti yang kita saksikan terjadi pada tim bola Perancis. Kita pun dibuat geleng kepala menyaksikan betapa individu bisa tiba-tiba begitu keukeuh membela ego pribadi, tidak mau mengalah, tak lagi menghayati kerja tim, juga tidak patuh pada pemimpin atau coach. Begitu harmoni tim sudah tidak lagi terasa saat latihan, kapten dan coach tidak mampu membuat para pemain sehati, sejiwa dan berlatih atau bekerja bersama-sama untuk menyerang lawan, seketika kematangan teknik tiap-tiap individu tidak lagi berarti dan tidak bisa mengangkat tim untuk berpestasi. Tim yang begitu disegani, juara Piala Dunia 1998 ini pun kocar-kacir. Sungguh disayangkan, kekuatan tim Perancis untuk melambungkan fenomena from Zero to Hero tidak terlihat di tahun ini.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Tidak hanya di lapangan hijau, dalam rapat-rapat perusahaan atau parlemen pun sering kita lihat gejala saling menyerang dan saling menjatuhkan, misalnya saja saat seseorang mempresentasikan pendapatnya. Seorang teman yang kecewa melihat hal ini suatu waktu berkomentar, “Individu seakan tidak lagi bisa melihat sisi positif, manfaat dan kelebihan anggota tim lain, bila di kepalanya sudah terisi keinginan menyerang.” Bayangkan apa jadinya tim, perusahaan, juga negara, bila yang dikedepankan adalah saling menyerang, sementara tata cara, tata krama dan aturan main dilanggar?

Di tengah makin canggihnya sistem manajemen, sebut saja balanced scorecard, 'ISO', 'corporate governance' dan segala macam inovasi manajemen untuk mengelola bisinis yang lebih efektif, yang perlu kita pikirkan juga adalah bagaimana hubungan interpersonal di dalam kelompok di atur agar lebih efektif. Pernahkah kita mengantisipasi konflik, keterasingan, individualism di dalam tim?

Seseorang yang merasa tidak dilibatkan sebelumnya dalam diskusi, tentu memilih diam saja dalam rapat, meskipun dia mempunyai ide-ide cemerlang. Hubungan interpersonal ini memang tidak bisa dilihat berkontribusi langsung dengan keuntungan perusahaan, namun sebaliknya kita nyata-nyata saksikan kerugian perusahaan yang terjadi bila tidak ada kekompakan, keterlibatan perasaan dan pikiran dalam kelompok. Kita tentu perlu serius memikirkan cara untuk 'back to basic', menegakkan norma kelompok dan masyarakat, sehingga kemajuan teknologi, kecanggihan media komunikasi serta semakin kompleksnya cara berpikir ini bisa dilandasi oleh aturan yang bisa dipatuhi bersama dan menciptakan harmoni.

Menjunjung Sikap Sportif

Sportivitas adalah hal yang senantiasa menumbuhkan respek dan membuat kita yang melakukan merasa bangga. Kita bisa temukan betapa pertandingan yang paling sadis pun tetap dimulai dan diakhiri dengan menghormati lawan dan negara. Semua taktik, trik, dan teknik dalam olahraga pun dilakukan dengan aturan main yang super ketat. Tidak hanya saat berlaga di arena saja olahragawan dituntut untuk berkompetisi jujur, saling menghormati dan patuh pada apapun hasil pertandingan, namun olahragawan yang sekarang ini sudah menjadi selebriti dan senantiasa berada di bawah lampu sorot, diharapkan menjaga perilaku dan tata krama bergaul, sebagai bagian dari 'showmanship'-nya. Meski bukan atlet, kita pun bisa memilih bersikap fair menghadapi kekalahan, disiplin, tidak main curang, namun tetap mampu mempresentasikan buah pikiran kita secara straightforward dan benar.

Kita bisa belajar dari Lionel Messi. Ia yang sesudah tiga kali pertandingan tidak kunjung mencetak gol, berkomentar: "Saya tahu, saya belum mencetak gol. Tapi, saya tak terganggu dengan kenyataan ini. Saya ingin sekali mencetak gol dan saya yakin gol itu akan datang dalam waktu dekat ini.” Kata-katanya sungguh menunjukkan tanggung jawabnya terhadap harapan fans, negara, pelatihnya dan tim. Praktik sikap sportif ini hanya bisa dikembangkan melalui learning by doing. Orang tidak lahir dengan pemahaman norma kelompok. Norma kelompok ini tumbuh di dalam diri individu sebagai hasil interaksi dirinya dengan kelompok dan komunitasnya, dan mencontoh perilaku role model-nya.

Itu sebabnya sikap sportif perlu kita upayakan tumbuh dalam setiap situasi, baik di rumah, kantor maupun dalam rapat, tanpa perlu banyak alasan.

Maju Terus sesudah Konflik

Reaksi ‘patah arang’, ‘ngambek’, ‘walk out’ sesudah konflik keras sering terjadi dalam kerja kelompok. Ini tentu tidak bisa dibiarkan jadi kebiasaan, apalagi dijadikan contoh. Kita tahu bahwa konflik pasti terjadi, bahkan tak jarang malah akan memperkaya kekuatan kelompok. Namun, saat umpan balik diberikan dan kesalahan ditunjukkan, sering kita lihat anggota kelompok yang langsung defensif, merasa di nilai jelek atau bahkan merasa dipersalahkan. Terkadang ini berujung pada pemikiran untuk tidak lagi berkontribusi dalam proyek, tidak lagi all out' dalam menyerang pasar atau memenangkan persaingan. Tanpa memupuk kedewasaan, tentu sulit untuk kita maju, menyerang dan berprestasi.

Ada sebuah perusahaan, di mana pada setiap awal meeting dibacakan tata krama rapat. Isinya antara lain ketentuan penggunaan handphone, keharusan tiap individu mengeluarkan pendapat, dorongan bersikap terbuka untuk menyatakan ketidaksetujuan, fokus pada upaya mencari jalan keluar serta sikap merespek setiap pendapat tanpa melupakan tanggung jawab bersama untuk tercapainya sasaran rapat dengan optimal. Dengan cara seperti ini, terbukti setiap orang jadi terdorong untuk bersikap dewasa menghadapi perbedaan pendapat, sudut pandang dan persepsi. Mereka pun bisa mengalahkan kepentingan dirinya pada saat memikirkan kepentingan kelompok dan perusahaan.

Kemenangan atau kekalahan, sebagaimana dalam pertandingan olahraga, adalah hasil yang sering tidak bisa diganggu gugat. Bagaimana pun juga, hasil yang diperoleh adalah buah kerja keras yang harus diterima dengan lapang dada. Saling tuding antar kelompok, antara pelatih dan pemain, bahkan kilas balik permainan pun sudah tidak bisa mengubah hasil. Tidak ada salahnya kita di dunia komersial dan pemerintahan mempelajari sikap ini. Kalau kita mau berjuang dan ‘fight', lakukanlah pada saat ‘bermain’, bukan sesudahnya.

Dimuat di KOMPAS, 26 Juni 2010

EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com

Monday, July 26, 2010

Interviu

Setiap orang pasti akan meningkat kewaspadaannya bila sedang menghadapi interviu. Bagi fresh graduate ataupun orang yang melamar pekerjaan, situasi interviu seringkali menjadi situasi yang menegangkan. Bagi karyawan yang diinterviu untuk kepentingan promosi atau pindah ke bagian lain pun, perasaan deg-degan juga biasa menyertai. Kita bisa menyaksikan, banyak sekali ulah para kandidat dalam menghadapi wawancara. Ada yang diam dan menjawab seperlunya karena terlalu tegang, ada yang 'ja-im' (baca: jaga image) sampai-sampai berperilaku dibuat-buat dan tidak wajar, sementara ada juga yang berlatih keras menghafal jawaban atas pertanyaan-pertanyaan standar yang tercantum di kebanyakan buku-buku di pasaran.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dalam wawancara, kita kerap melihat bukan hanya kandidat yang 'sibuk' dan tegang, namun pewawancara pun tak jarang juga tegang. Ada pewawancara yang kelihatan bingung mau bertanya apa dan sibuk mencari-cari pertanyaan yang tepat. Ada juga yang sepanjang wawancara sibuk membolak-bailk CV kandidat dan akhirnya sekedar menegaskan apa yang sudah tercantum di dokumen yang ada. Bahkan, ada juga pewawancara yang lebih banyak berbicara sehingga si kandidat terlihat hanya manggut-manggut saja. Kadang kita dengar komentar frustasi pewawancara: “Saya tidak bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk”. Tak jarang juga kita temukan komentar: “Ah, saya tidak senang menentukan nasib orang .....”.

Krusialnya proses wawancara memang menuntut baik pewawancara maupun orang yang diwawancara untuk melakukan persiapan yang matang. Di satu sisi, kita menghadapi kenyataan tenaga yang menganggur di negara kita jumlahnya sangat banyak, sementara di sisi lain perusahaan pun mengeluhkan susahnya menemukan kandidat yang cocok untuk dipekerjakan. Bila saja kandidat dan pewawancara sedikit berupaya lebih keras lagi untuk saling mengerti dan membuka diri, persentase keberhasilan rekrutmen pasti bisa ditingkatkan.

Menerawang Jabatan

Dalam situasi interviu, tugas seorang pewawancara adalah menerawang kandidat untuk mengetahui apakah yang bersangkutan cocok untuk menduduki jabatan yang dilamar. Tentu saja bukan hanya 'terawangan' mengenai kapabilitas kandidat untuk bisa mengerjakan pekerjaan tersebut dengan sempurna, namun juga sikap apa yang mendukung, tipe kepribadian apa yang cocok dan ketrampilan khusus apa yang dibutuhkan. Dengan waktu bertemu yang terbatas, yaitu satu jam atau paling lama dua jam, tanggung jawab ini memang tidak ringan.

Kita sering melihat sebuah pekerjaan, katakanlah teller sebuah bank, secara taken for granted, alias dipahami oleh siapa saja. Jika kita bertanya pada seorang kandidat: “Anda tahu apa tanggung jawab dalam pekerjaan teller?” Maka dengan segera mereka bisa menjawab: "Menerima dan membayarkan uang”. Tetapi kalau pertanyaan diteruskan, “Apakah Anda tahu seberapa lelahnya kerja seorang teller?”, maka ia pun terdorong berpikir keras mengenai tenaga, intensitas dan kegiatan seputar pekerjaan tersebut. Dengan pemahaman yang tajam, proses penggalian bisa dilakukan lebih mendalam dan 'penerawangan' bisa dilakukan dengan lebih mudah.

Seorang pewawancara bisa saja sudah sering melakukan interview, namun demi ketepatan proses interviu, ia memang dituntut untuk selalu menerawang jabatan yang akan diisi sehingga bisa mempersiapkan pertanyaan yang tajam. Hanya dengan analisa spesifik mengenai jabatan yang akan diisi ini, pembicaraan akan lebih terfokus. Pewawancara pun tinggal mencocokkan pengalaman sukses dan gagal yang dimiliki kandidat dengan tuntutan ketrampilan, pengetahuan, sikap dan kultur perusahaan. Dengan begitu, masing-masing pihak tidak membuang waktu untuk menegaskan spesifikasi pekerjaan pada saat interviu.

Menemukan Daya Tarik

Dalam interviu kita akan berhadapan dengan kandidat, satu lawan satu, face to face. Suasana tegang akan terus terpancar, bila pewawancara sudah enggan untuk membangun koneksi dengan si kandidat. Sebagai pewawancara, kita perlu percaya bahwa setiap individu pasti punya keunikan. Bila kita tidak meyakini bahwa tiap individu punya daya tarik, pastinya akan sulit menemukan kandidat-kandidat yang cocok. Betapa seringnya, saya ‘menemukan’ kandidat potensial justru setelah beberapa waktu kita secara subyektif mencari hal yang menarik dari individunya. Ini bukan berarti bahwa kita meninggalkan objektivitas, namun pendalaman tentang apa yang disukai dan apa yang tidak disukai, apakah seseorang itu ‘gampang diatur’ atau tidak, bahkan potensi kepemimpinannya, hanya bisa ditemukan bila kita betul-betul mau ‘mendalami’ seseorang.

Sebaliknya, di pihak kandidat, tidak ada salahnya menampilkan daya tarik, sesuatu yang khas diri sendiri. Bukan berarti bersikap seksi, seduktif, berlebihan, tetapi justru saat seseorang nyaman menjadi dirinya sendiri, maka ia serta merta akan menjadi pribadi yang menarik.

Upaya Sadar Menghindari 'Bias'

Manusia memang selalu berasumsi. Demikian pula, manusia memang tidak bisa melupakan pengalaman masa lalunya, baik positif maupun negatif. Mau tidak mau proses interviu menggunakan penilaian yang subyektif dari pewawancara. Misalnya, kita menilai seseorang dari suku bangsanya, latar belakang sekolah atau jurusannya, bahkan kemiripan dia dengan seseorang yang kita kenal. Di satu sisi, intuisi kita, bila dilatih dan diasah, bisa jadi senjata yang baik untuk menganalisa dan mengambil kesimpulan. Namun sebaliknya, sebagai pewawancara kita pun harus berhati-hati agar tidak terkecoh dengan pengambilan kesimpulan yang tergesa-gesa. Kita harus sadar akan upaya kandidat untuk memenangkan kesan pertama, misalnya dengan memoles diri dengan penampilan yang menarik atau menggunakan kata-kata yang 'mengangkat' hati kita. Untuk bisa mendapatkan penilaian yang akurat, kita perlu keluar dari jebakan stereotip dan senantiasa mencari bukti-bukti objektif dan kuat sebelum mengambil kesimpulan tentang diri seseorang.

Dimuat di KOMPAS, 19 Juni 2010

EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com

Harga Diri

Masyarakat Indonesia sekarang bisa mengerti dan mengetahui berapa 'harga' Sri Mulyani, mantan menteri keuangan RI, sebagai seorang profesional. Media massa secara gamblang memaparkan sekian milyar gaji, sekian milyar tunjangan pensiun, serta sekian milyar tunjangan lain-lain yang akan diterima beliau nanti sebagai salah satu direktur Bank Dunia. Seorang pebisnis sukses, sering juga secara berkelakar bertanya pada saya, berapa ia akan dihargai oleh dunia profesi, bila ia menjadi seorang profesional. Terlepas dari kesuksesan seseorang, kita tahu bahwa banyak orang bertanya-tanya dan menggunakan gaji yang diterima ataupun pangkat yang dimiliki sebagai salah satu cara mengukur 'harga' dirinya, juga 'harga' orang lain.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Pertanyaan yang menggelitik adalah seberapa tepat orang bisa mengukur 'harga diri'-nya dengan upah yang ia terima? Pernahkah kita yang punya pangkat dan gaji besar, merasa diri tidak ada artinya saat pendapat kita tidak didengarkan oleh publik? Dengan kedudukan yang kita miliki, pernahkah kita menghadapi sorot mata yang mempertanyakan, “Siapa Kamu?”, saat kita menginstruksikan sesuatu? Kita yang terkadang terlalu materialistis dan mengejar kekayaan, pastilah ada rasa tertampar juga, misalnya saat menonton film Laskar Pelangi, yang memperlihatkan betapa orang mengejar nilai-nilai yang lebih luhur dan mengebelakangkan upah dan kekayaan.

Kita memang perlu merasa 'berharga' untuk membuat kita mampu berdiri tegak, merasa bermakna dan happy di tengah lingkungan kita. Harga diri bisa menjadi masalah kita, terutama saat menghadapi situasi-situasi pelik, di mana kita terjebak di dalam situasi yang sudah tidak obyektif lagi. Kita lihat bahwa seseorang tentu saja pantas membela diri, menyatakan ia benar, bila ia dipermalukan di depan publik. Namun, apa sebenarnya perbedaan antara bersikap defensif dengan tindakan bersikeras menjaga muka profesi, jabatan ataupun diri? Cukupkah untuk meyakini bahwa dengan lurus memegang prinsip kita bisa tetap survive di situasi sosial yang penuh dengan trick agresivitas, politik dan kecurangan ini?

Sasar Penguatan Ego

Banyak orang menggunakan kata ego secara salah kaprah. Jika mengacu pada teori yang disampaikan bapak ilmu Psikologi, Sigmund Freud, ego adalah kekuatan penyeimbang pertarungan antara dorongan naluriah untuk mencapai kehendak (Id) dengan tuntutan untuk menuruti nilai-nilai sosial dan budaya (superego). Semakin banyak individu berhasil menyelesaikan konflik, apakah melalui kontrol emosi, rasionalisasi, komunikasi ataupun tindakan yang berfokus pada penyelesaian masalah, maka akan semakin kuat egonya. Seorang yang kuat egonya, mempunyai cukup enerji untuk melawan tekanan, godaan, bahkan hinaan, tanpa harus bersikap defensif atau menyerang balik. Sebaliknya, setua apapun individu, bila ia tetap tidak berhasil menumpuk keberhasilan balancing dalam hidupnya, akan tetap panik dan kurang kontrol, tidak kenal dirinya dan sering mengambil tindakan yang tidak yakininya sebagai tindakan yang benar.

Dalam dunia kerja, eksekutif, birokrasi maupun otokrasi, kita kadang mendengar pengakuan pejabat yang melakukan sesuatu yang tidak sesuai hati nuraninya karena “diminta oleh atasan”. Bahkan, ada juga individu yang menekan prinsip pribadi dan bertindak atas nama segolongan orang, untuk bertindak tidak fair. Orang yang sedang berjuang untuk menjaga jati dirinya tentu harus berjuang untuk tidak mengalah pada prinsip 'cari aman'. Seorang ahli Kimia, Helen Keller, pernah mengatakan: “Security is mostly a superstition. Avoiding danger is no safer in the long run than outright exposure. Life is either a daring adventure, or nothing”.

Individu yang matang tetap harus berpegang pada sasaran dan rencana pribadinya, dalam setiap situasi. Kemenangan pribadi inilah yang bisa menjadi sumber kekuatan moral selanjutnya. Kemenangan mental ini akan menjadi modal kebahagiaan yang bukan main besar nilainya. Orang boleh tidak banyak uang, tetapi bila mentalnya kuat, ia tetap mampu berbahagia. Beginilah cara orang membangun ego-nya.

Tumbuhkan Rasa Berharga

Di sebuah perusahaan, banyak karyawan muda potensial mengeluhkan sulitnya untuk mengemukakan pendapat secara terbuka di depan pimpinan. “Di sini haram hukumnya untuk kita berargumen, apalagi mengatakan tidak.” ungkap mereka. Kita lihat ternyata masih banyak orang dan organisasi yang tidak menyadari betapa menciptakan lingkungan yang asertif sangat besar peranannya untuk menumbuhkan rasa ‘berharga’ dalam diri individu dan tim.

Lingkungan yang tidak asertif, di mana saran dan ide kerap dipatahkan, di mana kita tidak diperkenankan mengemukakan pendapat secara terbuka, serta dianggap kurang ajar bila mengatakan ‘tidak’, sering membuat orang tidak mempunyai kesempatan untuk menghidupkan ‘social smartness’-nya. Demikian juga, social smartness tidak akan berkembang di lingkungan yang tidak tahu cara berbantah, berdiskusi, berdebat tanpa harus mempermalukan lawan bicara. Situasi seperti ini menyebabkan seseorang tidak mempunyai rasa ‘berharga’ bila bisa mengekspresikan cara pikirnya, memilih dan membuat keputusan. Dalam lingkungan seperti ini, seseorang tumbuh tanpa kesempatan merespek dirinya, kurang terasah untuk mengkotak-katik nilai-nilai yang dia anut, apalagi mengkaji wants dan needs-nya. Kita perlu sadar bahayanya tidak bisa merespek diri, karena individu seperti ini tidak akan pernah bisa merespek orang lain secara wajar pula.

Living Consciously

Dalam sebuah aktivitas pelatihan, saat saya meminta peserta untuk secara intensif memikirkan diri sendiri, sering saya menghadapi wajah-wajah yang meragukan. Ada yang sambil tertawa-tawa berkomentar: “Kalau begitu, kita egois dong...”. Kita terkadang memang sering lupa bahwa mengaktifkan pikiran dan mempunyai kesadaran penuh atas apa yang kita hadapi secara internal dan eksternal adalah kunci kematangan dalam bertindak. Kalau kesadaran diri menurun, kita bisa seperti anggota dewan wakil rakyat yang tersorot media namun tidak sadar bahwa ia melakukan tindakan yang kekanak-kanakan. Kitalah yang harus secara aktif, bahkan proaktif, memilih untuk menghadapi situasi eksternal sambil menyadari penuh proses di dalam diri kita, dasar tindakan, motif, nilai, sasaran dan keinginan kita. Bukankah tidak ada seorang pun yang lebih bertanggung jawab menggarap diri kita selain diri kita sendiri?

EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
Experd Consultant

Patuh

Teman saya merasa tidak ‘cocok’ dengan atasannya. Ia mengatakan atasan sering tidak merespek dirinya, misalnya memarahinya di depan umum. Hubungan atasan-bawahan terasa tidak harmonis. Namun, tidak satu pun di antara kedua belah pihak, merasa bahwa ada yang salah dalam hubungan kerja mereka, padahal hubungan atasan-bawahan tersebut sudah berjalan dalam jangka waktu yang cukup lama. Hanya saja, tidak terasa adanya kata sepakat atau tepatnya kemesraan di antara mereka. Apakah kedua eksekutif ini berbeda persepsi atau apakah mereka memang tidak mempunyai “chemistry”?

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Sedikit-banyak, hubungan yang tidak mesra antara atasan-bawahan pastilah akan mempengaruhi kinerja, juga ownership terhadap tugas dan tim. Lalu, siapakah yang bertanggung jawab untuk menjaga kemesraan? Banyak orang sering menafsirkan bahwa bawahan perlu menerka keinginan atasan. Demi mendapatkan nama baik di depan atasan, ada yang mengatakan bahwa bawahan harus datang lebih awal dari jam kerja atasan, juga pulang lebih belakangan dari atasan. Ada yang berpendapat, sebagai bawahan kita perlu menyampaikan berita yang baik-baik saja dan tidak menyampaikan kabar buruk ke atasan, karena menyampaikan kabar buruk malahan bisa merusak hubungan baik,”the messenger get killed”. Banyak juga yang berlindung dibalik birokrasi, misalnya tidak mendahului, mematuhi aturan alur komunikasi yang sangat baku dan hanya berbicara dengan atasan ketika atasan seolah-olah menghendaki situasi komunikasi tersebut. Sebaliknya, teman kerja yang berhasil mempunyai hubungan ‘dekat’ dengan atasan, sering dituduh sebagai pembisik, pencari ’muka’ dan dinilai tidak etis dalam melaksanakan hubungan kerja. Benarkah itu? Apakah hubungan ke atasan, leading-up, demikian rumitnya?

Profesionalitas leading-up

Teman saya meyakini faham a good leader is a good follower. Ia mengatakan bahwa individu di mana pun ia bekerja, dengan siapa dan untuk atasan mana pun, haruslah mengembangkan sense of duty. Bila kita menyadari bahwa kita tidak bisa punya pilihan lain kecuali menjalankan tugas, biasanya kita akan terlihat oleh atasan sebagai orang yang patuh pada misi dan visi perusahaan. Tugas kitalah untuk melaporkan kabar baik maupun kabar buruk. Tugas kitalah untuk berpikir keras mencari solusi. Tugas kitalah untuk berinisiatif, berkreasi dan berinovasi. Tugas kita jugalah untuk menginisiasi pembicaraan, memahami apa yang diinstruksikan, disampaikan, bahkan dirasakan atasan.

Dengan menyadari misi dalam pekerjaan, proses leading-up menjadi lebih mudah. Bahkan bila kemudian terlihat perbedaan cara kerja, pendapat dan persepsi, akan lebih mudah menyelesaikannya dengan komunikasi yang intensif. Teman saya yang bekerja di angkatan bersenjata pun setuju bahwa dalam ketentaraan yang birokrasinya sangat kental pun ada pembicaraan diskusi dan debat yang intensif antara atasan-bawahan yang perlu terjadi di luar suasana briefing. Intinya, sikap patuh akan menyamakan dan menyelaraskan tujuan masing-masing individu yang mengerti akan tujuan perusahaan.

Seorang ahli manajemen mengatakan bahwa justru bawahan yang merasa comfortable dengan atasan yang seperti apapun, biasanya adalah orang yang berintegritas dan berwibawa. Bahkan kalau sampai ada kejadian di mana seorang atasan ‘salah jalan’ sekalipun, seorang bawahan yang berpegang teguh pada misi perusahaan, profesi dan pribadi pasti bisa memutuskan bagaimana bersikap yang seharusnya. Tidak perlu ragu apakah ia perlu menjadi whistle blower alias pembuka rahasia atau si penurut yang tidak berani berpendapat. Bawahan yang kuat menjaga prinsip dan berpegang pada misi perusahaan, biasanya tidak akan kehilangan respek baik dari bawahannya maupun dari atasannya, karena pada dasarnya sikap ini memancarkan kharisma dan kepemimpinan tersendiri.

Followership yang dinamis dan pemberani

Dalam keadaan ekonomi dan perkembangannya yang menuntut lebih sedikit manusia, lebih keras upaya dan lebih besar hasil, mengelola hubungan dengan atasan atau managing up menjadi sangat penting. Bukan untuk membuat diri kita ‘aman’ dan tidak di PHK, tetapi justru untuk kelincahan ‘memainkan’ peran dan kinerja sesuai dengan kehendak perusahaan. Seorang ahli manajemen mengatakan: ”Stretch yourself. You need to go above and beyond the tasks assigned to you so that you can enhance your manager's work”.

Pada intinya, managing up adalah kemampuan seseorang untuk memudahkan pekerjaan atasan. Tentunya dalam hal ini kita perlu mengupayakan kemampuan kita untuk mengendus dan menerka kapan atasan lebih memerlukan kita dan informasi apa yang ia butuhkan. Teman saya, yang sangat nyaman dengan posisinya sebagai asisten atasannya menyampaikan rahasia me-manage ke atas: 'pertama-tama kita perlu tahu bagaimana berpendapat, berbicara dan berargumentasi seperti atasan kita'. Sebaliknya kitapun perlu meneriakkan: 'pendapat professional kita sendiri dan bahkan menunjukkan bahwa semua tindakan kita adalah insiatif kita sendiri'. Begitu kita merasa sekedar ‘orang suruhan’ maka kita terancam menjadi bawahan yang yang tidak berkinerja. Manajemen ke atas yang banyak didominasi dengan manajemen informasi dan trust, membuat kegiatan berpolitik kantor hampir-hampir tidak diperlukan lagi.

Dimuat di KOMPAS, 24 April 2010


EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com

Ilmu

Belum selesai isu pelaksanaan ujian negara yang dianggap sebagai momok bagi sekelompok orang di dunia pendidikan, kita kembali tertampar dengan mencuatnya berita plagiat dalam penyusunan skripsi, tesis, bahkan disertasi doktor. Tugas akhir yang biasanya memakan pemikiran dan jerih payah berbulan-bulan, memaksa kita untuk membedah puluhan buku dan teori, senantiasa dipandang sebagai masterpiece-nya seorang mahasiswa, tidak lagi menjadi ‘sakral’ dan dengan mudahnya bisa diupahkan ke orang lain. Hal yang lebih mencengangkan, si 'pemberi jasa' pembuatan skripsi dengan terang-terangan beriklan di koran-koran, seakan sah-sah saja tindakan yang dilakukannya. Ada apa sebenarnya dengan pengembangan ilmu di negara kita, sehingga pelecehan, penyelewengan seolah menjadi marak dan dianggap membudaya?

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Tak pelak, kita pasti tergelitik untuk bertanya, apakah kita memang punya banyak alasan untuk berada jauh dari obyektivitas dan pengembangan ilmu? Bukankah universitas kita yang sudah berdiri sejak jaman Belanda juga punya reputasi yang tidak kalah dengan negara lain? Bukankah banyak sekali ahli, peneliti, insinyur, dokter, ekonom ternama juga keluaran universitas negeri kita? Bukankah banyak karya terbaik dan bermanfaat dihasilkan, bahkan insinyur Departemen Pekerjaan Umum kita juga sudah meluncurkan alat penyaring air kotor praktis yang bisa digunakan para korban banjir dari manfaat ilmunya? Dengan kemajuan teknologi yang memungkinkan kita untuk semakin mudah mengakses teori, riset, informasi, bukankah semestinya pengembangan ilmu semakin pesat dan bukan sebaliknya semakin tumpul, bahkan kotor? Apa benar mindset intelek kita sedang bermasalah?

Kita memang bisa melihat kemajuan dan pengembangan ilmu dari bagaimana aplikasi nyatanya dalam masyarakat. Namun, pengaruh dunia pendidikan juga bisa kita teropong dari sikap terhadap masalah, cara berpikir, cara menganalisis, bahkan cara bicara. Bila kita menyaksikan cara orang bertanya, tanpa diikuti pengambilan kesimpulan yang bermutu, cara orang berkomentar yang tidak didukung data tanpa rasa bersalah, kita memang perlu prihatin dengan kurang berpengaruhnya dunia pendidikan dalam perkembangan sikap intelek di masyarakat kita.

Bertanya sebelum Menyimpulkan

Cucu saya, seperti halnya anal-anak lain, terus menanyakan pertanyaan-pertanyaan kritis. Pernah saya tanyai, dari mana ia mendapatkan ide untuk mengajukan pertanyaan tertentu. Lucunya, ia menjawab bahwa di sekolahnya ada pelajaran khusus, yang diberi nama enquiry learning. Di sini setiap siswa diberi suatu topik dan hanya boleh ‘bertanya’ dan ‘bertanya’, kemudian beramai–ramai membuat kesimpulan tentang apa yang mereka 'temukan' hari itu dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

Saya tertegun dan berpikir, betapa banyak di antara kita memang tidak dilatih dan tidak merasa penting untuk sabar menggali pemahaman secara mendalam. Padahal bila selama pendidikan dasar kita diberikan latihan semacam itu, tidak hanya kita terbiasa untuk mengambil kesimpulan yang tajam, namun kita juga bisa berkomunikasi dengan lebih harmonis dan berelasi dengan lebih efektif. Kita sama-sama tahu, bila kita tidak secara seimbang menggali pemahaman dengan 5W + 1 H (what, when, who, where, why dan how), tak jarang dampaknya akan membuat hard feeling dari lawan bicara atau tidak didapatnya kesimpulan yang bermutu, bahkan melenceng.

Menemukan AHA Experiences

Tentu kita masih ingat dengan cerita telur Colombus. Saat Colombus mendemonstrasikan cara memberdirikan telur di depan cendekiawan Spanyol, yang tidak berhasil menjawab tantanganya tersebut, mereka segera berkata “Ooo... begitu”. Ini sebenarnya adalah proses penerimaan input, didapatkannya sebuah pemahaman baru dan pengambilan kesimpulan yang penting untuk pengayaan intelektualitas individu. Ungkapan “Ooo begitu”, tentu saja sangat berbeda dengan ungkapan: “Okelah kalau begitu”. Dari pernyataan pertama, tampak diperoleh aha experience, di mana individu menemukan solusi atau jawaban dari suatu permasalahan yang selama ini masih kabur. Sementara pernyataan kedua, hanya persetujuan mengenai pendapat atau keadaan, terlepas dari apakah ia paham atau tidak esensi permasalahannya. Aha experiences inilah yang mestinya dihayati dan digali setiap orang dalam tiap situasi, bukan semata milik peneliti dan penemu, seperti Einstein dan Thomas Alfa Edison saja.

Kita bisa semakin jauh dari sikap ilmiah, bila tidak membiasakan diri membaca dan mengambil keputusan berdasarkan analisa data. Di sebuah perusahaan, para manajer yang hampir semuanya sarjana, seringkali berbantah-bantahan dan berkomentar tanpa diperkuat data. Ujung-ujungnya, masalah yang ada tetap tidak kelihatan akarnya. Keputusan pun diambil secara intuitif (baca: tradisional), tanpa dasar yang jelas. Teman saya yang menyaksikan hal ini, sambil menyayangkan, berkomentar: ”Ini baru satu perusahaan, bagaimana kalau satu negara?”. Dari sini kita perlu meninjau kembali kebiasaan di lingkungan kerja kita sendiri. Apakah kita sudah menumbuhkan rasa ingin tahu yang positif? Apakah kita biasa mengajak teman-teman memeras otak untuk mendapatkan solusi kreatif? Apakah kita peduli untuk mengajak lingkungan mencari esensi permasahalan dan kemudian menghitung agar pengambilan resiko bisa pas?

Bila ditelaah kembali, yang menjauhkan kita dari keilmiahan dan keintelekan, bukanlah mundurnya dunia pendidikan semata. Kita sendiri dan cara pergaulan kitalah yang menyebabkan kita tidak malu untuk ‘ngawur’, beralasan untuk tidak obyektif serta malas berpikir. Bila kondisi seperti ini kita pelihara, wajar saja bila para plagiator dan tukang contek tidak terusik rasa malunya dan bahkan masih berani menepuk dada dan minta dielu-elukan.

Dimuat di Kompas, 27 Februari 2010

EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com

Misi

Seorang wanita sukses yang hampir memasuki usia 80 tahun, ditanya teman-temannya, apakah beliau akan membuat pesta besar untuk merayakan ulang tahunnya. Dengan penuh senyum ia menjawab bahwa dirinya ingin ‘cari duit’ saja. Maksudnya, dalam rangka ulang tahun, ia akan membuat acara penggalangan dana. Dana yang terkumpul akan dimanfaatkan untuk membangun gedung laboratorium, asrama untuk anak jalanan atau kegiatan sejenisnya.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dalam usia yang sudah lanjut, beliau masih memikirkan cara membangun dan membuat sesuatu. Saat ditanya apa yang menjadi gregetnya, ia berkomentar,“Sederhana saja. Saya melaksanakan misi suami yang sejak dulu ingin membantu orang miskin, memajukan kesehatan dan pendidikan.” Ternyata kekuatan kehendak suaminya yang sudah meninggal puluhan tahun lalu membuat wanita ini bertujuan dan mampu memaknai hidupnya dengan upaya-upaya positif, berarti dan berguna.

Seorang Psikiater, Victor Frankl, mengemukakan pentingnya menyadari dan menyuarakan ‘purpose of life’ individu. Tidak hanya sekedar untuk diri pribadinya, namun juga pada keluarga, anak, cucu, karyawan, anggota kelompok bahkan rakyatnya. Frankl juga menekankan bahwa manusia punya kebebasan penuh untuk menyikapi situasi yang dihadapinya. Apakah itu kegelapan, tantangan, godaan, kenikmatan, batu besar ataupun kerikil. Pada akhirnya, manusia memang bisa mengisi hidupnya dengan good stuff atau ‘bad stuff’ dan menjadikan dirinya pribadi yang terhormat atau tidak terhormat.

Saya jadi teringat cerita ayah saya tentang pengalamannya berada di tahanan Belanda. Di sana ada seorang temannya yang punya kebiasaan berbagi. Apapun makanan yang ditemukan, bahkan telur bebek yang sulit dibagi sekali pun, akan di-share dengan seluruh anggota kelompok. Ini membuktikan bahwa dalam keadaan sulit dan ‘survival’ sekali pun, seseorang tetap punya pilihan untuk menjadi manusia yang bermutu atau tidak. Tentu saja ini sulit terjadi jika beliau tidak punya ‘misi’ yang membuat dirinya dengan mudah menentukan langkah dan mengambil sikap.

Di jaman modern ini, kita lihat semakin banyak individu berkeyakinan bahwa kebahagiaannya datang dari kekayaan materi. Banyak orang sudah tidak bisa membedakan halal tidak halalnya mata pencaharian, dibudakkan harta, lupa batas antara kebutuhan dan keserakahan, bahkan tidak peduli membangun karakter pribadi. Buntut-buntutnya, setelah kekayaan di tangan pun, hidup tetap terasa pahit dan tidak berarti.

Banyak orang yang sudah ‘punya segalanya’, namun tidak bahagia dan berusaha mencari ketenangan melalui upaya penggalangan kegiatan religius yang tidak berujung. Bagaimana pun, kesibukan dan tantangan yang terus menerus hadir di depan mata, memang bisa membuat kita tidak punya lagi banyak waktu untuk melakukan refleksi diri. Jika kita ingin hidup kita berarti, tampaknya kita harus memaksa diri untuk diam sejenak, memikirkan kembali, dan memahami dengan jelas apa misi hidup kita.

Power of Missions

Pertanyaannya, bisakah seseorang menjalankan hidup tanpa misi yang jelas? Terkadang banyak orang di sekitar kita yang mengambil keputusan tanpa repot-repot pikir panjang mengenai ‘apa yang ingin ia capai’ dalam hidupnya. Banyak di antara kita tidak mendera diri untuk mencari jawaban ‘mengapa’ ia bersikap dalam situasi tertentu. Misalnya saja, orang tua yang bercerai karena emosi dan marah pada pasangan, tanpa memikirkan nasib putra-putrinya. Dalam situasi ini kita bisa meilihat bahwa prioritas untuk membuat putra-putrinya bahagia, aman dan nyaman, tidak menjadi dasar mengambil keputusan.

Ada seorang pemilik perusahaan yang membawa perusahaannya tumbuh besar, kemudian menjualnya dan meraup keuntungan besar dari proses akuisisi perusahaan. Setelah diakuisisi, ia tidak lagi tampak serius menggarap pengembangan perusahaan dan berhenti berinvestasi. Di sini kita bisa bertanya-tanya, apa misi pemiliknya? Dalam situasi ini, masih bisakah ia mempengaruhi karyawan untuk terus berinovasi? Apakah beliau kemudian bisa menjawab kepentingan kolektif stakeholder lainnya?

Dari situasi tadi kita bisa melihat betapa seseorang bisa kehilangan arah dan power jika tidak jelas misi dirinya. Dalam situasi kepemimpinan, para pengikut akan dibuat bingung oleh pemimpin yang tidak jelas ke mana tim akan dibawa. Sebaliknya, pimpinan yang punya misi mencerdaskan bawahan, bisa bertindak tegas, bahkan keras, pada anak buahnya yang enggan belajar. Teman saya, seorang pengusaha sukses, berprinsip: “Pokoknya perusahaan, orang, dan industri harus maju terus”. Kedengaran seperti tagline Ganefo jaman Sukarno, Onward, never Retreat. Namun, kejelasan misinya itu membuat seluruh karyawan jadi ‘tidak berani’ untuk tidak maju, aktif dan agresif dalam bekerja.

Berisi dengan Misi

Rasanya kita perlu kembali menyadari bahwa misi lebih sakti daripada sekedar uang. Chris Gardner yang kisah hidupnya diangkat ke layar kaca mengatakan: “Your pursuit determines your happiness”. Kita sesungguhnya bisa mengecek sendiri, apakah di akhir hidup nanti kita bisa berkata: “I did what I was created to do. I contributed to this world in a significant manner”.

Setiap kali tindakan kita mengarah pada pencapaian misi, kita tentu serta merta merasa happy dan semakin menikmati hidup ber-misi kita. Dengan misi yang jelas, kita bisa lebih kuat menangkis godaan, apakah itu harta, jabatan dan fasilitas. Misi akan otomatis menjadi patokan yang membuat kita jadi lebih jelas dalam mengambil keputusan dan tindakan. Misi dapat dikatakan bagaikan magnet yang menjaga agar kita stay on track.

Dimuat di Kompas, 13 Februari 2010


EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax. 021-7590 6442
http://www.experd.com

Wednesday, February 3, 2010

Genjot Kekuataan

Di masa sekarang, di mana krisis datang silih berganti dan tantangan hadir 24 jam di depan mata, setiap kita tentu butuh menjaga dan menambah kekuatan diri, tim dan organisasi. Meski demikian, kita lihat bahwa banyak orang yang tidak menyadari potensi dan kekuatan dirinya, bahkan tidak merasa penting untuk secara serius menggali dan menemukan kekuatannya. Kita bahkan seringkali terjebak menggali kelemahan-kelemahan kita, membahas kekurangan diri kita, tim bahkan bangsa kita sendiri, sampai-sampai akhirnya menyakini bahwa kita inferior, lemah dan tidak berdaya. Bukankah ini sangat berbahaya?

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dalam sebuah sesi refleksi diri, teman saya yang sangat pandai dan berbakat, sempat tergagap saat diminta untuk menceritakan apa yang sering disebut-sebut ibunya sebagai kekuatan dirinya. Ternyata, banyak diantara kita yang perlu mencari-cari dulu dalam ingatannya, apa yang pernah atau kalau 'beruntung' dikatakan orang tua mereka tentang kekuatannya. Saya jadi teringat ibu saya almarhum, yang memang sangat strength based, berorientasi menegaskan kekuatan dari masing-masing anaknya. Kakak saya yang dilihatnya tidak terlalu kuat dalam analisa, segera dilatih trampil dan cekatan, disekolahkan di SMK, dimagangkan di perusahaan seorang teman, sehingga ia kemudian bisa survive bahkan menjadi penyokong kuliah abang dan adiknya. Sementara karena abang-abang saya sering mengecilkan mental saya, ibu saya sebaliknya, selalu mengatakan saya sebagai seorang pemberani. Saat saya memunculkan ingatan akan kata-kata ibu saya tersebut, segera saya bisa merasakan otot meregang, muka berbinar, enerji merekah, sehingga kita merasa mempunyai kekuatan dobel dalam sekejap. Hal yang sederhana ini ternyata menjadi sumber kekuatan hidup. Saya sadari kemudian bahwa inilah life giving forces yang mendasari segala upaya dalam kehidupan karir saya.

Sadari Kekuatan

Saat diajukan pertanyaan, “apa yang menjadi kekuatan dirimu”, banyak teman yang lalu dengan tertawa-tawa lalu mengatakan: “Saya kuat di semuanya….” Atau “Kekuatan saya sama rata…”, atau bahkan “tidak ada hal yang menonjol, semua sedang-sedang saja...”. Tidak menyadari keunikan diri sendiri bisa jadi menunjukkan betapa banyak orang melihat hidup ini sudah demikian taken for granted-nya. Hidup seolah-olah dipandang seperti permainan, sebut saja sepakbola, di mana bola dan ukuran lapangan sudah standar, aturan sudah baku, dan setiap orang bisa menendang bola serta berlatih dengan acuan yang sama. Jika ini yang terjadi, tanpa disadari individu memang bisa tidak menghargai kemampuannya sebagai modal menciptakan momen-momen terbaik atau peak experience dalam hidup pribadinya, pekerjaan, juga kemasyarakatan. Bayangkan betapa ruginya bila kita tidak sempat menggali life-giving forces sepanjang hidup kita.

Dengan merasakan, memperhatikan dan menghayati setiap momen dalam hidup, kita jadi bisa menjaga vitalitas hidup kita dan punya kesempatan untuk memberi 'warna', menciptakan 'animasi' yang canggih pada hidup kita. Bukankah sebagai manusia modern kita perlu melihat jauh ke masa depan, membuat dan menggambarkan visi serta merancang tindakan kita? Seorang gadis cantik yang berbakat, mengikuti ujian keperagawatian dan lulus. Ia bercita-cita menjadi foto model top dan sempat menikmati profesi modelling-nya beberapa saat. Beberapa waktu lalu, seorang teman bertemu dengannya yang sudah bekerja sebagai seorang SPG showroom. Ia berdalih dengan menjadi sebagai SPG paling tidak penghasilannya lebih rutin. Bukankah kita bisa membuktikan bahwa seseorang bisa dengan mudahnya melewatkan strength-nya, hanya menyambut kesempatan yang lewat di depan matanya, tanpa berjuang untuk membuat dreams come true bagi dirinya?

Hindari Bahasa Defisit

Kegiatan menonton wakil rakyat melakukan wawancara secara maraton sedikit banyak pasti membuat kita merasa down. Betapa tidak, selama berbulan-bulan kita diajak untuk mengikuti adegan demi adegan di mana anggota majelis satu sama lain berusaha saling menjatuhkan. Setiap pertanyaan yang diajukan menggali what’s wrong-nya sehingga kita terus-menerus disuguhkan kekurangan, kegagalan, sampai-sampai kita pun merasa pesimis dan menjadikan rasa inferior menetap dalam kehidupan kita sehari-hari. Padahal, dalam momen krisis begini, sangat disarankan kita untuk bisa bersikap konstruktif. Mau tidak mau, diskusi berkepanjangan dan melelahkan ini sangat berpengaruh terhadap bagaimana kita melihat dunia, bagaimana kita menyikapinya dan menerima realitas.

Seorang peneliti mencatatkan hasil surveinya bahwa dalam 30 tahun terakhir, terjadi penambahan jumlah yang signifikan pada kata-kata depresi, kecemasan, kegagalan dalam berbagai artikel. Sebaliknya, tercatat pengurangan signifikan terhadap tulisan-tulisan yang memuat kata ‘gembira’. “Maybe what looks like a symptom of depression – negative thinking - is itself the disease", komentarnya.

Berani Positif

Saya pernah meyakinkan dan membuktikan bahwa hanya dengan menggunakan pertanyaan dan pernyatan positif saja kita bisa mengubah keputusan seseorang. Dan kenyatannya fenomena ini sangat magic. Ketimbang menanyakan “apa yang dibutuhkan?”, kita langsung menanyakan “apa yang terbaik?”. Daripada berkutat pada penyebabnya, kita menanyakan “Apa perbaikan yang kita ingin ciptakan?”. Dengan demikian kita tidak berorientasi pada masalah tetapi lebih fokus kepada menciptakan masa depan dan menambah kekuatan.

Tampaknya kita perlu selalu mengingat bahwa sebuah pertanyaan atau pernyataan yang tajam akan mengubah hidup seseorang, ke arah positif maupun negatif. Kita harus sadari bahwa kita punya pilihan untuk membesarkan anak-anak kita, tim kerja, perusahaan, bahkan rakyat dengan pilihan kata-kata yang lebih positif sehingga kita semua bisa menumbuhkan sikap positif dan konstruktif menghadapi berbagai tantangan yang ada, bukan sebaliknya menyeret diri ke dalam ‘kegelapan’. “Ultimately, we create the future we imagine.”

Ditayangkan di Kompas, 30 Januari 2010

Sumber: Sumber: http://www.experd.com

Monday, February 1, 2010

Bergerak

Setiap orang memang unik. Sangat menarik bila kita memperhatikan betapa berbeda-bedanya respons tiap orang terhadap perubahan. Ada teman yang dengan cepat masuk ke situasi perubahan, tanpa banyak perlawanan. Dia berpendapat bahwa apa yang dikatakan oleh para senior sebaiknya di ‘terima’ saja, karena toh para sesepuh ini berpengalaman dan sudah banyak makan asam garam. Perubahan apapun yang harus dia lakukan, dikerjakan dengan sukarela tanpa banyak perlawanan. Adaptasinya prima, walaupun bisa juga dikatakan teman kita ini layaknya robot, tidak melakukan perubahan atas insiatifnya sendiri.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Sebaliknya, teman yang lebih muda, menggunakan pendekatan yang berbeda bila dihadapkan pada segala macam barang baru, instruksi baru, sistem dan prosedur baru. Ia bisa diam membeku, tidak melakukan apa-apa. Mungkin sebenarnya ingin juga dia demo atau protes, tetapi karena status juniornya, ia memilih diam. Ketika saya tanyakan mengapa dia tidak ‘menurut’ saja bila diberi instruksi, dia menjawab: ”Saya perlu tahu akar permasalahannya , mengapa dan untuk apa saya berubah.” Jadi teman kita ini mempunyai syarat -syarat yang harus dipenuhi untuk mau berubah. Pantas saja, perubahan sulit terjadi. Untuk ‘membeli’ alasan berubah saja individu ada yang bermasalah.

Kekuatan Menerobos Kesulitan

Dalam sebuah rapat perusahaan, saya menyaksikan betapa ‘berubah’ itu terasa bagai benda langka. Ketika ada usulan untuk membuat ‘lompatan signifikan’, ada beberapa orang yang melanjutkan pembicaraan, namun ada juga yang saling lempar pandang. Ironisnya, tak ada seorang pun yang lantang mengusulkan kegiatan apa yang perlu dihentikan, pos mana yang perlu dipangkas dan tindakan apa yang harus dilakukan. Bila kita perhatikan, sikap “gotong royong” menyuburkan keengganan berubah begitu besar pengaruhnya, seakan menjadi benteng tebal yang menghambat perubahan. Mentalitas malas berubah inilah yang perlu kita garap.

Bila individu sudah mau berubah, seakan ada energi baginya untuk menghentikan kebiasaan lama dan mendorong dirinya masuk ke masa transisi. Dalam masa transisi inilah, biasanya cobaan silih berganti muncul. Kebiasaan lama memanggil, rintangan dan konflik mulai berkecamuk. Bayangkan godaan di minggu-minggu pertama seseorang yang memulai diet atau berniat berhenti merokok. Pada saat inilah kondisi baru, tidak terasa nikmat oleh yang bersangkutan sehingga tidak memotivasinya. Konflik dalam diri bisa menimbulkan sikap skeptis, bahkan sinis terhadap inisiatif perubahan yang dicanangkan. Transisi ini memang sangat kritikal. Kita perhatikan, dalam upaya awal perubahan, kira-kira 95% populasi, kembali pada posisi lama. Mereka yang berhasil biasanya adalah individu yang punya kemampuan ‘adversity’ yang baik, yaitu kekuatan menerobos kesulitan, melawan kegamangan, mendobrak masuk ke situasi baru dan menghentikan lama. Tanpa mengembangkan kemampuan adversity, sulit bagi kita untuk bisa membuat lompatan dengan enerji ekstra.

Dari Ujung ke Ujung

Sebuah tim salesman terbiasa bertindak tanpa pikir panjang, grabag-grubug, minim perencanaan. Kebiasaan ini akhirnya menimbulkan banyak inefisiensi dan kerugian bagi tim. Atasan yang melihat situasi ini, kemudian berusaha mendalami permasalahannya bahkan mengumpulkan tim salesmannya untuk meeting dan menetapkan komitmen. Tiga bulan berlalu, ternyata kebiasaan lama tetap berjalan. Inilah yang sering sekali terjadi pada upaya perubahan yang dicanangkan. Misi perubahan yang tidak dibarengi dengan kekuatan kontrol, penguatan spirit dan visi serta ke-’kekeuh’-an atasan pada misinya akan sulit untuk mencetak kesuksesan perubahan.

Di banyak perusahaan besar, tak jarang ‘change agent’ hanya berfokus pada seremonial pencanangan perubahan saja dan berasumsi bahwa perubahan bisa terjadi dengan sendirinya. Padahal, motivasi ‘khalayak’ perlu diperhitungkan. Akan sangat membantu bila kita memahami berapa persen karyawan yang bisa menjadi promotor, yaitu mereka yang sudah menerima, mau serta mampu segera menjalankan perubahan. Sebaliknya, kita pun perlu mengira-ngira berapa persen yang tidak mau atau tidak bisa menjalankannya agar kita bisa menentukan langkah dan gerakan. Kita juga perlu membuat langkah-langkah kecil agar perubahan bisa dimonitor oleh semua pihak dan bisa segera dirasakan manfaatnya. Terkadang upaya organisasi, katakanlah dalam menerapkan paperless management, online service atau Performance Based Culture, sering patah di tengah jalan, karena sulitnya mempersepsi proses perubahannya secara total sampai ke ujung. Bila ini terjadi, perubahan akan terlihat dan terasa ‘hangat-hangat tahi ayam’ saja.

Jangan Terlambat Menyadari

Banyak orang berpendapat, kondisi sekarang saja belum optimal, kok sudah mau berubah lagi. Pilihannya tentu saja di tangan kita sendiri. Kita punya pilihan untuk setiap saat siap menantang diri untuk maju dan seperti layaknya ‘climbers’, para pendaki gunung. Kita bisa juga memilih untuk meng-enjoy perubahan sedikit demi sedikit atau sering disebut ‘campers’. Asalkan jangan menjadi ‘quitters’, yang baru mencoba berubah sedikit langsung kembali ke kebiasaan lama.

Seorang ahli mengingatkan kita yang masih ingin berkembang untuk waspada dengan “boiling frog phenomenon”, yaitu katak hidup yang direbus dalam air secara perlahan-lahan. Si katak tidak menyadari bahaya karena perubahan panas terjadi perlahan-lahan. Saat ia sadar, semua sudah terlambat. Ia tidak punya tenaga lagi untuk melarikan diri. Kita pun juga bisa terjebak dan tidak sadar akan perubahan yang lambat dan membahayakan. Tantangan dan kompetisi sudah di depan mata. Jika kita terus menunggu, menunda, tidak waspada, lambat mengambil tindakan, gagal melakukan antisipasi, berarti kita membuat situasi bertambah parah. Saat kita menyadari, bisa jadi semuanya sudah terlambat.

Dimuat di Kompas, 23 Januari 2010

Sumber: http://www.experd.com