Friday, November 20, 2009

Mari Tersenyum

Ini adalah masa-masa sulit. Angka pengangguran bertambah. Lalu lintas semakin tidak kondusif. Polusi semakin pekat. Banjir mengancam. Otoritas tidak bisa dijadikan pegangan. Kondisi ekonomi sulit diprediksi. Kebenaran semakin tidak terang. Ketidaksiapan menghadapi bencana, membuat kita menyaksikan semakin banyak orang menderita. Ini benar benar ‘crunch time’. Banyak orang stres. Seorang ahli manajemen, Gerben A. van Kleef menyatakan bahwa ‘mental fatique’ atau kelelahan mental seorang pemimpin dalam masa-masa sulit, sering justru makin menyebabkan terperosoknya semangat orang di sekitar kita, anak buah atau bawahan lebih dalam.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Sekarang memang saatnya menentukan sikap dan tindakan. Inginkah kita terus meratap, menyalak dan meraung? Seorang teman, dalam keadaan Negara yang galau ini malah mengirimkan pesan teks ke saya: “Enjoy your moments of truth”. Kalimat sederhana itu seketika membuat saya tergugah. “Bukankah kita masih bisa mensyukuri banyak hal, mengupayakan banyak hal, mempertimbangkan pelanggan yang menunggu servis kita, memuaskan ‘stakeholders’ kita, membangun generasi muda kita, melakukan “coaching”, dan begitu banyak pe –er di depan mata yang tidak bisa kita hindari? Kita pun bisa bertanya sendiri : “Apa yang kita dapatkan dengan bersungut-sungut? “,“Apa dampaknya kalau kita terus meratap dan meraung?”. “Sadarkah kita bahwa emosi menular dan anak buah atau bawahan bisa jadi ketularan turun semangat?” Seorang atasan atau pemimpin yang baik, perlu memiliki kemampuan menghidupkan semangat tim dan bawahannya dalam keadaan segalau dan sekritis apapun. Ingat bahwa emosi orang di sekitar kita adalah tanggung jawab kita juga.

Investasi Emosi

Dalam menyelesaikan pekerjaan, kita memang harus fokus pada tugas dan hasil kerjanya. Sangat wajar bila kita kemudian mengabaikan emosi individu. Ada manajer yang berkomentar:” Terlalu mewah untuk mempedulikan emosi anak buah di masa-masa sulit begini. Yang siap ikut, ya, ikut. Yang tidak bersedia, kita tinggal sajalah!”. Padahal, bila dipikir-pikir, ada dua hal penting yang perlu kita pertimbangkan. Pertama, kita tidak pernah bisa mengingkari bahwa individu yang bagus adalah asset. Hanya dalam keadaan emosi yang stabillah ia bisa berkinerja dobel. Hal kedua adalah, sebagai pemimpin, kita tentunya tidak ingin mentalitas dan emosionalitas anak buah merosot, bukan? Sebab itu berarti spirit dan energi dalam lingkungan kerja, cepat atau lambat akan terpengaruh ke arah yang negatif juga. Kalau sudah sampai di titik terendah, akan sulit sekali untuk mengangkatnya kembali. Suasana emosi kelompok yang sudah terlanjur skeptis dan pesimis bahkan bisa jadi tidak bisa diperbaiki dengan uang.

Dalam keadaan terpuruk di mana ‘reward’ finansial sulit disediakan, kita justru perlu melipatgandakan investasi emosi yang bahkan bisa tidak makan biaya sama sekali. Spiritnya adalah mengembangkan hubungan manajemen – karyawan, atasan – bawahan, antar tim dan divisi yang berkualitas dan positif. Kita tentu bisa merasakan bahwa investasi emosi akan memperbaiki hubungan, meningkatkan dukungan, juga mengembangkan rasa percaya. Keadaan emosi yang positif ini sulit sekali dibentuk secara instan. Bagaimana investasi emosi ini ditumbuhkan? Ia datang sebagai hasil apresiasi, sambung rasa, perasaan didengarkan, dilibatkan, diperhitungkan dan juga kebebasan berpikir dan bertindak. Emosi positif yang terpancar akan menjadi penyejuk dan penyemangat. Kemampuan tim untuk menyelesaikan masalah, mengambil keputusan pun otomatis jauh lebih baik, karena mempertimbangkan “concern” yang bisa menjadi dukungan satu sama lain.

Keceriaan: Pembangkit Energi

Seorang eksekutif kenalan saya sering menggunakan istilah ‘holding hands’ dalam upayanya menjaga enerji rekan rekan kerjanya. “Dalam krisis begini, tidak ada yang bisa menjamin ‘job security’. Satu-satunya cara agar teman-teman yang masih ada dalam tim tetap berupaya dan berkinerja adalah rasa kebersamaan dan keyakinan untuk berbagi susah dan senang.” Sebagai pemimpin, kita tentu tidak boleh lupa, bahwa kitalah yang punya tugas untuk menjadi penyemangat, penggerak, pendorong atau ‘cheer leader’. Mau tidak mau, pemimpin adalah pusat emosi kelompok. Sikap ‘gloomy’ atau cemberut berlarut-larut yang kita tampilkan, pastilah tidak akan bisa ‘mengangkat’ emosi dan enerji orang di sekitar kita. Hanya dengan menularkan keceriaan, asa keterpurukan bisa kita angkat.

Habis Gelap Terbitlah Terang

Dalam satu acara diskusi dengan sekelompok pemimpin satuan kerja, seorang peserta berkomentar mengenai visinya untuk pengembangan manusia: “Saya ingin mengajak anak buah saya, melihat titik terang di kejauhan, dari lorong yang gelap”. Ungkapan ini spontan mengundang tepuk tangan teman teman peserta diskusi. Sungguh sesuatu yang menyegarkan. Kita tahu bekerja keras, menyelesaikan proyek, mengabdi, berjuang, bisa menjadi kegiatan yang berat dan sekaligus ‘fun’. Kita bisa berfikir kreatif bagaimana membuatnya ‘fun’. Dalam situasi “sulit”, hanya orang-orang yang fanatik dan antusias mengenai kehidupanlah yang masih bisa mengajak lingkungan sekitarnya tersenyum, bagaimana pun keadaan emosi dirinya. Orang-orang seperti ini pasti meyakini bahwa “good things will happen, good things do happen.". Tersenyumlah, karena ia membawa aura positif.

Ditayangkan di KOMPAS, 7 Nov 2009

No comments:

Post a Comment