Wednesday, July 28, 2010

Generasi Chatting

Teman saya, kecewa. Ia yang kagum melihat istrinya begitu bangun tidur langsung menunduk dan berdoa, ternyata harus menghadapi kenyataan bahwa isterinya begitu bangun tidur langsung mengecek pesan yang masuk di hapenya! Ternyata, banyak orang yang melakukan hal tersebut di pagi hari sekarang sekarang ini. Bukannya langsung menghadap yang Kuasa tetapi mengecek pesan teks. Bukankah memang sedikit di antara kita yang tidak membawa hapenya ke samping tempat tidur. Seolah terjebak dalam teknologi digital dan media sosial, kita mau tidak mau sudah memperlakukan gajet-gajet tersebut sebagai bagian dari tubuh kita. Teman saya bahkan tidak punya masalah dengan peraturan dilarang bertelpon, apalagi 'chatting' saat menyetir, karena ia bisa melakukannya tanpa harus memandang handphone-nya. “Sudah hafal”, ujarnya. Dunia kita memang sudah berubah menjadi dunia 'chatting' dalam kurun waktu satu dekade!

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Ramalan penggunaan sistem komunikasi android, komunikasi lewat google tanpa bayar dan masa depan internet ini sering membuat kita khawatir, terutama akan terhambatnya kegiatan sosial tatap muka, isolasi sosial, juga buruknya kegiatan mendengar dan rendahnya perhatian pada orang lain saat tatap muka. Namun, hampir semua dari kita juga berstandar ganda. Di satu sisi kita memberi komentar miring mengenai buruknya dampak penggunaan media elektronik untuk berkomunikasi, sementara di sisi lain kita menggunakannya untuk ngobrol berjam-jam, mengontrol anak, membangun relasi, rapat, dan mengambil keputusan. Kita memang jadi bertanya-tanya, apakah generasi mendatang, generasi milenial, akan lebih 'terisolasi', ‘bodoh’ secara sosial daripada generasi kakek-nenek kita dulu?

Kecerdasan Baru

Tanpa terasa, dalam dua dekade terakhir ini dunia intelektualitas sudah mengalami transformasi besar-besaran. Buku sudah digantikan dengan e-book dan audio-book yang selain mempercepat akses, individu jadi lebih dimudahkan untuk memilih, mem-browse apa yang ia butuhkan. Tentunya kita akan kehilangan pembaca buku cetak yang sejak jaman dahulu sudah dianggap sebagai lambang intelektualitas. Namun, apakah ini berarti kualitas intelektualitas kita akan menurun?

Pusat riset internet Pew dalam laporannya "The Future of the Internet in 2020” mengemukakan konsep yang menarik. Apa yang terjadi sekarang dinilai bukan sekedar pergeseran budaya atau kebiasaan serta cara berhubungan manusia, tetapi juga pergeseran kemampuan cara pikir manusia, bahkan mungkin pada struktur intelegensinya. Dulu diperlukan kemampuan analisa sintesa saja, di mana kemampuan induksi dan deduksi pemikiran sudah cukup. Sekarang diperlukan kemampuan untuk berpindah, surfing, shifting dan swaying dari satu area informasi ke area informasi lain. Seakan harus menyelam, kemudian sekejap berpindah ke area lain, seolah bermain jetski di permukaan jaringan internet. Jadi tantangannya bukan lagi seberapa kuat memori seseorang dan sebanyak apa informasi yang bisa kita simpan dalam ‘hard drive’ alias otak kita, tetapi seberapa pandai dan cepatnya kita menelusuri jaringan untuk mengakses informasi dan seberapa kritisnya kita untuk menseleksi, memilah dan kemudian baru mensintesakannya serta mempelajarinya dalam waktu cepat.

Fleksibilitas bukan pilihan lagi

Perusahaan mana yang masih bisa menerima seorang karyawan yang tidak trampil mengoperasikan komputer, anti menggunakan ha-pe dan bahkan buta elektronik? Dinas rahasia dan badan keamanan Kerajaan Inggris (MI5) baru-baru ini mengumumkan akan melengserkan staff yang 'tidak melek' internet, facebook dan twitter. Mereka menyebut kalangan yang dipecat sebagai ‘generasi James Bond’ karena tidak bisa menggunakan internet dan tidak memahami dunia Twitter atau Facebook. Jonathan Evans, Director General of MI5, mengungkapkan bahwa para teroris banyak yang berkomunikasi dengan sesama anggota via situs jejaring. Karena itu, jadi wajib hukumnya bagi para agen rahasia ahli memakai Facebook demi memantau gerak gerik mereka. Untuk perekrutan baru, MI5 kini juga punya syarat tersendiri, yakni harus melek teknologi.

Dalam era banjirnya informasi seperti sekarang, kita lihat bahwa fleksibilitas bukan lagi menjadi pilihan, namun sudah menjadi keharusan. Seperti menegaskan apa yang disampaikan Darwin mengenai seleksi alam puluhan tahun lalu, “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent that survives. It is the one that is the most adaptable to change“. Bagaimanapun, kita memang tetap harus berterimakasih dengan adanya internet dan media elektronik lainnya ini. Dengan banyaknya dan transparannya informasi ini kita punya banyak kesempatan memilih, apa yang akan kita jejalkan ke benak kita untuk dijadikan pengetahuan.

Kepemimpinan non-elektronik

Betapapun canggihnya dunia elektronik, kita tidak pernah akan dikendalikan mesin. Kita tetap membutuhkan pemimpin dalam berorganisasi, berpolitik dan bernegara. Tentunya cara memimpin organisasi dengan aliran informasi yang kencang ini sangat berbeda dengan birokrasi yang kita dapatkan sebagai warisan bapak-bapak kita. Bila tidak berhati hati, kita akan ketinggalan informasi dan terlihat konyol di mata anak buah yang dengan cepat bisa mengakses informasi dari mana saja. Kita perlu menciptakan kepemimpinan gaya baru untuk mengendalikan 'content generation' yang menjamin kebebasan, tidak membosankan, tetapi juga tetap terstruktur. Semua laporan tetap perlu ber-deadline. Pelaksanaan tugas tetap bisa dihitung jam kerjanya. Rapat-rapat perlu beragenda dan mempunyai sasaran jelas dan terukur. Faktor sukses tetap harus didefinisikan dengan teliti.

Meskipun intensitas di layar elektornik sangat tinggi, hal yang tetap harus ingat oleh tiap pemimpin adalah memberi perhatian pada perasaan. Semua individu tetap ingin ‘happy’, tetap ingin berkawan, tetap ingin tersenyum. Inilah tantangan pimpinan perusahaan, untuk memenuhi semua kebutuhan anggota tim yang fleksibel, beragam dan berubah secepat kilat.

(Ditayangkan di KOMPAS, 17 April 2010)

No comments:

Post a Comment