Wednesday, January 2, 2013

Memelihara Sukses

Saat seorang karyawan bergabung di perusahaan, kita beranggapan mereka sudah pasti mau bekerjasama, mau berkontribusi, mau menunjukkan loyalitas, apapun alasannya. Meski kita juga sadar bahwa ‘employment’ mereka bersifat sementara, namun ketika ada karyawan mengundurkan diri, apalagi karyawan andalan, kita tetap akan merasa ‘shock’, tidak siap, dan kemudian bereaksi macam-macam. Kadang marah, merasa bahwa karyawan tidak tahu diri. Tak jarang kita juga bertanya-tanya, “Mengapa sudah disediakan yang “enak-enak” tapi tetap tidak kerasan? Apa sih yang salah dengan diri kita?” Situasi karyawan ‘keluar-masuk’ sudah pasti memusingkan. Perpisahan pasti tidak pernah enak, bagi kedua pihak, apalagi bila dibumbui sakit hati. Sebuah riset menunjukkan kerugian finansial sebagai akibat perginya karyawan potensial besarnya mencapai 3 sampai 10 kali biaya upah tahunannya. Belum lagi bila kita menghitung kerugian moral, misalnya ketidakpuasan pelanggan karena orang yang berganti-ganti, juga turunnya spirit tim.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Masalah ‘turnover’ karyawan ini jelas harus dicari jalan keluarnya. Bukan dari sisi manajemennya saja, tetapi juga karyawannya. Siapa sih yang ingin menjadi kutu loncat? Dan, manajemen mana yang tidak menginginkan hubungan langgeng dengan karyawan, apalagi karyawan dengan kontribusi yang baik? Para pemikir manajemen baru-baru ini menganjurkan kita untuk tidak hanya memikirkan hubungan industrial saja, tetapi lebih memperhatikan bagaimana karyawan memelihara “rasa suksesnya”. Pemikiran ini sebetulnya memudahkan kita untuk memikirkan kelanggengan hubungan industrial ini karena justru bisa diupayakan secara aktif oleh kedua belah pihak, di luar cara-cara tradisional untuk mengupayakan “employee satisfaction”.

Mengobati Rasa Frustrasi

Seorang karyawan cemerlang yang baru saja mendapatkan beasiswa dan menyelesaikan studi S2-nya, merasa ‘happy’ ketika ia dijadikan narasumber dalam komite perubahan bisnis proses dan penggantian sistem perusahaan. Rasa suksesnya ini membuat ia bangga, seolah bisa menepuk dada bila ia pulang ke keluarganya, dan bisa mengatakan “Ayah bekerja keras karena sangat dibutuhkan di perusahaan”. Sebaliknya, kita tentu pernah mendengar ada karyawan merasa frustrasi hanya karena rapat-rapat dalam tim yang berkepanjangan ataupun pengambilan keputusan yang bolak-balik. Meski terlihat sepele, hal ini bisa membuat karyawan merasa tidak merasa ada kemajuan dalam pekerjaannya. Bawahan juga bisa merasa tidak sukses karena sikap atasan. Atasan yang tidak berhasil memberi kejelasan akan harapan manajemen, mengubah-ubah sasaran pekerjaan, tidak menjelaskan kemungkinan perbaikan kesejahteraan, tidak memberi umpan balik yang ‘workable’, ataupun tidak mampu memimpin rapat yang efektif dan inspiratif, tak jarang juga membuat anak buah lelah dan merasa bahwa pekerjaan menjadi rutin dan ‘biasa-biasa’ saja. Sepanjang ide kita diterima, apalagi ‘dipakai’ sebgai inisiatif perusahaan, individu pasti akan bisa merasakan kesuksesan. Ini jelas berarti bahwa sukses tidak selamanya berbentuk didapatnya fasilitas-fasilitas yang mentereng dari perusahaan.

Hal lain yang bisa membuat karyawan frustrasi adalah tangga karir yang vertikal dan berbentuk piramid, sehingga mendaki karir terlihat sebagai tantangan yang ‘too complicated’. Padahal, karyawan perlu melihat kesuksesan, kecil maupun besar, yang ‘bisa’ dicapai, baik itu secara lateral, maupun secara emosional. Dari segi ‘benefit’, kita tidak lagi bisa menyamakan nilai-nilai karyawan dua-tiga dekade lalu dengan karyawan masa sekarang. Kalau dulu yang dicari karyawan adalah lebih pada ‘rasa aman’, seperti jaminan hari tua dan kesehatan, survei mengatakan bahwa karyawan sekarang lebih menginginkan jaminan yang bisa dikelolanya sendiri di masa depan. Adanya tawaran ‘wealth management’ yang kreatif akan membuat individu yang bekerja sebagai karyawan akan mempunyai pandangan yang berbeda tentang ‘kekayaannya’. Mau tidak mau, kita pun harus meninjau kembali pandangan

mengenai ‘kerja keras’. Kaum muda sekarang lebih bisa merasa sukses bila bisa mengelola pekerjaan, sekaligus mengurus dan mengirim anak-anak ke pendidikan yang bermutu. Inilah sebabnya, kita perlu berusaha untuk menciptakan suasana kerja di mana karyawan bisa merasa berada dalam kultur yang dinamis, bisa menampung aspirasi dan bisa inspiratif pula.

Komunikasikan sukses

Bila karyawan sudah memutuskan untuk pergi dari perusahaan, kita kerap merasa bahwa ‘exit interview’ sudah terlambat, sudah sulit untuk bisa memenangkan lagi hati karyawan. Jadi sebetulnya, hal yang lebih penting adalah melakukan ‘stay interview’, di mana kita. justru bisa mendapatkan ide-ide, apa yang membuat karyawan ‘happy’ dan apa yang bisa membuatnya lebih happy lagi. Hal yang juga penting adalah memahami bahwa ‘reward’ saat sekarang tidak sekedar finansial tetapi juga mental. Orang bisa dianggap sukses bukan sekedar dari ‘performance’ langsungnya, tetapi karena sikapnya. Cara bersikap yang bermotivasi, penuh respek dan positif juga bisa di‘klaim’ sebagai tindakan kesuksesan yang bisa di ‘reward’.

Di masa sekarang, di mana orang bisa menyaksikan kesuksesan secara instan, diberikannya ‘award-award’ kesuksesan yang langsung bisa dilihat dari multimedia, bahkan secara ‘realtime’, kita pun perlu memikirkan cara mengenai bagaimana setiap individu dalam organisasi merasakan ‘celebration’ yang sama. Hal-hal sederhana seperti makan bersama karena proyek berhasil diselesaikan dengan baik, tepukan tulus ‘good job’ pun tidak bisa diabaikan karena selalu ampuh untuk bisa membuat karyawan merasa sukses.

Dimuat di Kompas, 8 Desember 2012

Sumber: Experd

No comments:

Post a Comment