Sunday, December 20, 2009

GOAL….!

Ketika seorang teman fesbuk menegur bahwa kami belum pernah mengupas mengenai Goal-setting alias penetapan sasaran, saya berusaha melakukan riset dari pengalaman kerjasama kami dengan beberapa klien. Ternyata, beberapa perusahaan yang saya kenal baik dan sangat sukses, cukup tergagap ketika dalam sebuah ‘workshop’ perlu mengkonkritkan sasaran tahun ke depan mereka. Bahkan, ada direktur perusahaan yang bersikukuh untuk mendengar dahulu ‘angka’ target yang diusulkan anak buah untuk menetapkan target tahun ke depan. Beliau mungkin tidak menyadari perlunya dasar perhitungan yang dikembangkan dirinya sebagai pimpinan perusahaan, untuk mendapatkan angka estimasi yang cukup akurat, ‘achievable’, tetapi juga menantang bagi anak buahnya.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Di jaman sekarang kita tidak bisa hanya menetapkan target keuntungan atau angka penjualan saja, karena kesuksesan perusahaan sangat tergantung pada pencanggihan proses bisnis, pelayanan pelanggan dan pembelajaran manusianya. Di sinilah letak keberbedaan seorang pemimpin. Pemimpin yang efektif mampu mengatur ambisinya untuk menentukan titik akhir dari lomba di mana timnya berperan serta. Tugasnya adalah menggambarkan “point mark” yang spesifik dan terukur dan dimengerti oleh seluruh anggotanya, bahkan dijadikan obsesi oleh anggota timnya. Nyatanya tidak mudah bagi seorang pemimpin untuk menggambarkan sasaran yang tepat. Baru akhir-akhir ini kita melihat ada menteri yang berani dan jelas-jelas mencanangkan bahwa di tahun 2012, negara kita menjadi negara perikanan.

Bila sasaran sedemikian pentingnya bagi kinerja, bagaimana mungkin banyak organisasi bisa berjalan tanpa sasaran yang yang jelas? Dalam sebuah pertemuan dengan sekumpulan board of directors yang menginginkan dilaksanakannya pengukuran kinerja obyektif, beberapa direktur saling menatap ketika kami sampai pada tugas untuk menetapkan sasaran yang konkrit dan mendetil. “Kalau tidak dibuat, bagaimana mungkin kita bisa ‘menghitung’ kinerja?”, demikian komentar kami. Ternyata banyak pemimpin, yang pandai-pandai sekalipun, segan untuk mencanangkan sasaran secara konkrit dan mendetil. Di satu sisi, mempublikasikan sasaran ini akan mendorong anak buah untuk mengejar sasarannya. Sebaliknya, bila sasaran tidak tercapai, hasilnya pun akan serta-merta menampar muka kita. Ketakutan akan kegagalan inikah penyebab tidak jelasnya sasaran selama ini? Atau semata kurangnya ambisi untuk maju? Atau apakah memang falsafah hidup pemimpin yang memang berkehendak untuk sekedar mengalir sejalan dengan waktu dan situasi?

Menyukai Sasaran

Efektivitas kinerja melalui penetapan sasaran bisa kita lihat dalam kegiatan lari pagi. Banyak sekali orang yang tidak berusaha mengukur kinerjanya secara cermat baik, melalui hitungan jumlah langkah, kalori, waktu ataupun detak jantungnya. Akibatnya, keinginan untuk memacu kegiatan olah raga ini jadi tidak ada. Ujung-ujungnya kebiasaan sehat ini bisa jadi membosankan. Ada orang yang berpuluh tahun tetap beraktivitas dengan tempo yang sama. Padahal, dengan menentukan sasaran, dalam segala hal, kita jadi membiasakan diri bahkan menikmati perlombaan dengan diri sendiri. Hari ini berjalan 30 menit, dengan membakar 200 kalori. Bagaimana dengan besok? Masakan targetnya sama terus? Dengan sasaran yang kian berat, biasanya individu akan merasakan kesulitan, hambatan, gangguan baik dari luar diri sendiri, juga dari dalam. Namun, tantangan ini tentu sekaligus menjadi momentum yang baik bagi kita untuk melatih diri dan menjadi sekelas lebih pandai. Juga, menempa mental agar lebih kuat menghadapi berbagai ujian.

Hal yang sama juga terjadi di perusahaan. Pimpinan perusahaan dan unit kerja perlu mengeksplorasi semua kemungkinan baru, sehingga timnya selalu melihat tantangan baru di depan mata. Keluhan bahwa target selalu naik tidak ada habisnya menunjukkan bahwa target tersebut tidak diperjelas sehingga belum ‘dimiliki’ bawahan. Perusahaan, departemen atau bahkan negara dengan anggota atau rakyat yang paham sasaran akan otomatis bergerak ke satu arah. Gerakan dan derapnya inilah yang akan membangkitkan motivasi di dalam diri individunya.

Sasaran sebagai Sarana Menghargai Diri

Semua orang pernah merasakan kegagalan. Namun, kegagalan terhadap pencapaian sasaran yang sudah dihitung, biasanya bisa dihadapi dengan lebih tegar ketimbang kegagalan di mana kita sendiri belum mempunyai gambaran mengenai target kita. Inilah sebabnya banyak buku yang menekankan bahwa sasaran harus SMART (Specific, Measurable, Attainable, Realistic, Timely). Ini juga yang membedakan sasaran dengan mimpi yang lebih mengambang di awan. Sasaran yang baik menimbulkan dedikasi, arah, dan disiplin anggotanya. Sasaran menyebabkan setiap orang dalam kelompok terlatih untuk memecah sasaran ke dalam bentuk tindakan, mengoptimalkan agenda, merencanakan skedul, memantau deadline dan target pribadi serta lancar mengemukakan 3W (Will, What dan When)-nya sehari-hari. Motivasi individu perlu didorong baik dari dalam maupun dari luar. Dengan memberikan sasaran yang bermutu, tiap orang bisa menjadikan kegiatannya seolah perlombaan yang ‘fun’ dan bermakna.

Dimuat di KOMPAS, 12 Desember 2009

Sumber: http://www.experd.com

Friday, November 20, 2009

Mari Tersenyum

Ini adalah masa-masa sulit. Angka pengangguran bertambah. Lalu lintas semakin tidak kondusif. Polusi semakin pekat. Banjir mengancam. Otoritas tidak bisa dijadikan pegangan. Kondisi ekonomi sulit diprediksi. Kebenaran semakin tidak terang. Ketidaksiapan menghadapi bencana, membuat kita menyaksikan semakin banyak orang menderita. Ini benar benar ‘crunch time’. Banyak orang stres. Seorang ahli manajemen, Gerben A. van Kleef menyatakan bahwa ‘mental fatique’ atau kelelahan mental seorang pemimpin dalam masa-masa sulit, sering justru makin menyebabkan terperosoknya semangat orang di sekitar kita, anak buah atau bawahan lebih dalam.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Sekarang memang saatnya menentukan sikap dan tindakan. Inginkah kita terus meratap, menyalak dan meraung? Seorang teman, dalam keadaan Negara yang galau ini malah mengirimkan pesan teks ke saya: “Enjoy your moments of truth”. Kalimat sederhana itu seketika membuat saya tergugah. “Bukankah kita masih bisa mensyukuri banyak hal, mengupayakan banyak hal, mempertimbangkan pelanggan yang menunggu servis kita, memuaskan ‘stakeholders’ kita, membangun generasi muda kita, melakukan “coaching”, dan begitu banyak pe –er di depan mata yang tidak bisa kita hindari? Kita pun bisa bertanya sendiri : “Apa yang kita dapatkan dengan bersungut-sungut? “,“Apa dampaknya kalau kita terus meratap dan meraung?”. “Sadarkah kita bahwa emosi menular dan anak buah atau bawahan bisa jadi ketularan turun semangat?” Seorang atasan atau pemimpin yang baik, perlu memiliki kemampuan menghidupkan semangat tim dan bawahannya dalam keadaan segalau dan sekritis apapun. Ingat bahwa emosi orang di sekitar kita adalah tanggung jawab kita juga.

Investasi Emosi

Dalam menyelesaikan pekerjaan, kita memang harus fokus pada tugas dan hasil kerjanya. Sangat wajar bila kita kemudian mengabaikan emosi individu. Ada manajer yang berkomentar:” Terlalu mewah untuk mempedulikan emosi anak buah di masa-masa sulit begini. Yang siap ikut, ya, ikut. Yang tidak bersedia, kita tinggal sajalah!”. Padahal, bila dipikir-pikir, ada dua hal penting yang perlu kita pertimbangkan. Pertama, kita tidak pernah bisa mengingkari bahwa individu yang bagus adalah asset. Hanya dalam keadaan emosi yang stabillah ia bisa berkinerja dobel. Hal kedua adalah, sebagai pemimpin, kita tentunya tidak ingin mentalitas dan emosionalitas anak buah merosot, bukan? Sebab itu berarti spirit dan energi dalam lingkungan kerja, cepat atau lambat akan terpengaruh ke arah yang negatif juga. Kalau sudah sampai di titik terendah, akan sulit sekali untuk mengangkatnya kembali. Suasana emosi kelompok yang sudah terlanjur skeptis dan pesimis bahkan bisa jadi tidak bisa diperbaiki dengan uang.

Dalam keadaan terpuruk di mana ‘reward’ finansial sulit disediakan, kita justru perlu melipatgandakan investasi emosi yang bahkan bisa tidak makan biaya sama sekali. Spiritnya adalah mengembangkan hubungan manajemen – karyawan, atasan – bawahan, antar tim dan divisi yang berkualitas dan positif. Kita tentu bisa merasakan bahwa investasi emosi akan memperbaiki hubungan, meningkatkan dukungan, juga mengembangkan rasa percaya. Keadaan emosi yang positif ini sulit sekali dibentuk secara instan. Bagaimana investasi emosi ini ditumbuhkan? Ia datang sebagai hasil apresiasi, sambung rasa, perasaan didengarkan, dilibatkan, diperhitungkan dan juga kebebasan berpikir dan bertindak. Emosi positif yang terpancar akan menjadi penyejuk dan penyemangat. Kemampuan tim untuk menyelesaikan masalah, mengambil keputusan pun otomatis jauh lebih baik, karena mempertimbangkan “concern” yang bisa menjadi dukungan satu sama lain.

Keceriaan: Pembangkit Energi

Seorang eksekutif kenalan saya sering menggunakan istilah ‘holding hands’ dalam upayanya menjaga enerji rekan rekan kerjanya. “Dalam krisis begini, tidak ada yang bisa menjamin ‘job security’. Satu-satunya cara agar teman-teman yang masih ada dalam tim tetap berupaya dan berkinerja adalah rasa kebersamaan dan keyakinan untuk berbagi susah dan senang.” Sebagai pemimpin, kita tentu tidak boleh lupa, bahwa kitalah yang punya tugas untuk menjadi penyemangat, penggerak, pendorong atau ‘cheer leader’. Mau tidak mau, pemimpin adalah pusat emosi kelompok. Sikap ‘gloomy’ atau cemberut berlarut-larut yang kita tampilkan, pastilah tidak akan bisa ‘mengangkat’ emosi dan enerji orang di sekitar kita. Hanya dengan menularkan keceriaan, asa keterpurukan bisa kita angkat.

Habis Gelap Terbitlah Terang

Dalam satu acara diskusi dengan sekelompok pemimpin satuan kerja, seorang peserta berkomentar mengenai visinya untuk pengembangan manusia: “Saya ingin mengajak anak buah saya, melihat titik terang di kejauhan, dari lorong yang gelap”. Ungkapan ini spontan mengundang tepuk tangan teman teman peserta diskusi. Sungguh sesuatu yang menyegarkan. Kita tahu bekerja keras, menyelesaikan proyek, mengabdi, berjuang, bisa menjadi kegiatan yang berat dan sekaligus ‘fun’. Kita bisa berfikir kreatif bagaimana membuatnya ‘fun’. Dalam situasi “sulit”, hanya orang-orang yang fanatik dan antusias mengenai kehidupanlah yang masih bisa mengajak lingkungan sekitarnya tersenyum, bagaimana pun keadaan emosi dirinya. Orang-orang seperti ini pasti meyakini bahwa “good things will happen, good things do happen.". Tersenyumlah, karena ia membawa aura positif.

Ditayangkan di KOMPAS, 7 Nov 2009