Thursday, November 19, 2009

Robot

Dalam mencari pasangan hidup, tentunya sering kita dengar nasihat orang tua, untuk memperhatikan “bibit”, “bebet” dan “bobot”. Dalam hal ini, bobot bisa kita artikan sebagai kepribadian, kemapanan dan kepandaian calon pasangan. Dalam organisasi dan ilmu ‘performance management’, bobot pun sudah lazim menjadi kriteria penting dalam menentukan karir, golongan, bahkan gaji seseorang. Biasanya menjelang akhir tahun seperti sekarang ini, organisasi dan para manajer mulai sibuk menentukan dan menghitung bobot karyawan, baik bobot kompetensi, kontribusi dan komitmennya dalam pekerjaan dan terhadap tim maupun organisasi.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Saat seseorang mempertanyakan kapan dia akan diangkat, kapan dia menjabat dan mengharapkan ketetapan jalur karir yang jelas, sebenarnya di saat inilah individu perlu menimbang dan mengukur-ukur dirinya, apakah ia terhitung “berbobot” dalam organisasi? Meskipun semua orang tentu saja ingin disebut berbobot, ternyata memperkuat bobot tidak semudah membalik telapak tangan, terutama kalau kita sudah lepas dari dunia pendidikan, yang pada dasarnya memberi bobot pada pengetahuan kita.

Seorang teman, terheran-heran melihat calon-calon board of directors di sebuah perusahaan yang muda-muda dan cantik—cantik. Seolah mempertanyakan apakah teman-teman yang cantik itu, berbobot juga. Dari mana sebetulnya kita bisa menilai berbobotnya seseorang? Dalam situasi interpersonal yang lebih kompleks, bobot seseorang biasanya sangat terasa pada ‘impact’ yang ia buat. ’Impact’ itu bisa saja berasal dari kepribadian yang menawan, dari pemikiran-pemikiran cemerlang yang diekspresikan, dari pertanyaan pertanyaan yang tajam, dari keberanian yang ditampilkan, dari beratnya tanggung jawab yang bersedia dia pikul, sehingga mendatangkan pengakuan dari sekitarnya. Pertanyaan kita tentu saja, apa yang bisa kita lakukan untuk memperkuat ‘bobot’?

Semakin Berat, Semakin Berbobot

Dalam sebuah meeting, saya bertanya pada peserta pertemuan, mengenai keputusan-keputusan besar yang pernah mereka buat. Spontan mereka menyebutkan beberapa keputusan, seperti pindah rumah, pindah kerja, memilih pasangan atau seputar pilihan pendidikan. Ternyata, teman-teman yang bila di organisasi militer pangkatnya kira-kira setara dengan letkol, bahkan kolonel ini, tidak biasa untuk mengambil keputusan besar yang berisiko, menyangkut tim dan organisasi. Kebanyakan pengambilan keputusan besar yang diambil, semata menyangkut dirinya sendiri. Padahal, dalam organisasi militer, seorang kapten yang memimpin regunya untuk bertempur, sudah harus mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut hidup-matinya anggota atau kalah-menang negaranya.

Individu yang enggan membuat keputusan besar dengan taruhan risiko besar, terkait dirinya, orang lain, tim dan organisasi, bisa kita prediksi perannya di dalam kelompok dan masyarakat tetap kecil, tidak terlihat, tidak ber-impact. Dari sini, kita secara sederhana bisa menyimpulkan, ia memang belum berhasil untuk menambah bobot dirinya. Jadi, pengalaman memang penting. Orang yang berani terlibat, siap bersusah payah dan akhirnya punya pengalaman yang ‘kaya’ tentunya akan lebih terasah dan teruji, daripada mereka yang sekedar cari aman, bahkan sembunyi. Ini adalah salah satu alasan mengapa kita kadang meragukan pemimpin atau anggota lembaga yang kita tahu tidak punya catatan pengalaman melakukan sesuatu yang secara signifikan berdampak besar. Katakanlah artis anggota parlemen yang sehari-harinya memang aktif di lingkungan, terjun ke lapangan, kritis melihat kesenjangan dan biasa menelurkan pemikiran-pemikiran yang tajam dan berkembang, pastilah punya bobot yang berbeda daripada artis yang tidak mempunyai catatan pengalaman apa-apa, tetapi akan menjadi anggota DPR.

Mengasah Pemikiran, Memperkuat Mental

Tentunya kita tahu bahwa ada orang yang dalam perjalanan hidupnya memang tidak mendapatkan tantangan, karena tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan tantangan. Misalnya, individu yang tidak punya ‘exposure’, sehingga ia tidak terlihat dan tidak terpilih untuk mengerjakan tugas-tugas penting. Di sisi lain, ada ada juga orang yang dilahirkan dalam keluarga berada, dikelilingi sejumlah pembantu rumah tangga, orang tua yang mendukung, otak pintar, sehingga relatif jarang menghadapi kesulitan-kesulitan yang berarti. Padahal, tanpa adanya kesulitan, tantangan, deraan dan tekanan, akan sulit bagi kita untuk mengukur kekuatan yang ada, sekaligus sulit untuk menambah bobot. Mungkin inilah sebabnya pangeran-pangeran di kerajaan dilatih keras oleh sistem kerajaan, agar bermental baja, trampil menggunakan senjata, sehingga bila tiba saatnya, ia mampu menjadi panglima pasukan perang dan menampilkan kepemimpinannya. Bila lingkungan kita tidak secara otomatis menyediakan tantangan-tantangan, tentu saja kita sendirilah yang harus aktif mencari dan meng-ekspos diri kita agar lebih mudah mengakses tantangan.

Kalau dijaman raja-raja kekuatan yang utama berbentuk fisik, di jaman modern seperti sekarang, kita lihat kekuatan lebih ke arah kekuatan pemikiran dan kekuatan mental. Seperti halnya kekuatan fisik, kekuatan berpikir seseorang juga tercermin dari ketahanan dan kegigihannya. Seorang yang kuat berpikir, kita lihat tidak kenal waktu untuk mengulik, menganalisis, meriset, menyimpulkan serta menghasilkan solusi. Jam kerjanya seolah-olah tidak terbatas. Dengan demikian “bobot”-nya bisa didapat dari selalu aktifnya ia dalam pemikiran modern yang ‘terupdate’ dan keseriusan untuk mengerjakan perkerjaan dengan cermat. Orang seperti ini otomatis akan berlatih untuk mengembangkan visi secara lebih luas dan panjang, sehingga potensi untuk membuat keputusan, menetapkan tujuan juga lebih tersedia. Orang yang biasa berpikir keras juga akan dengan sendirinya mempunyai keyakinan yang kokoh mengenai pendapat-pendapatnya. Kesempatan untuk menambah bobot hanya bisa didapatkan individu yang mau mengerjakan apa yang orang lain belum tentu mau.

Ditayangkan di KOMPAS, 10 Oktober 2009

No comments:

Post a Comment