Monday, November 9, 2009

Habitat

Lima belas atau sepuluh tahun lalu, begitu lazim senioritas dipakai sebagai dasar untuk menduduki jabatan strategis, naik pangkat dan naik gajinya seseorang. Namun sekarang, bila ada organisasi yang menaikkan jabatan seseorang semata karena lamanya masa kerja, tentu saja bisa kita katakan ketinggalan jaman, bahkan membahayakan bagi organisasi. Konsep ‘Performance & Competency Based’, kita tahu, memang sangat masuk akal. Namun, merubah kebiasaan lama tentu saja menjadi tantangan tersendiri. Di sebuah lembaga tinggi negara, program implementasi ‘performance based culture’ ini membuat mayoritas karyawan resah dan merasa terancam. Bagaimana tidak, karyawan sudah terbiasa naik pangkat secara otomatis.Alhasil, upaya untuk mendorong karir pun lebih banyak diarahkan pada hubungan baik dengan atasan, berpolitik ataupun meraih gelar pendidikan lebih tinggi.

Oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Banyak yang berasumsi bahwa situasi ini hanya terjadi di lembaga milik pemerintah. Bagaimana dengan perusahaan swasta? Kita bisa lihat bersama bahwa banyak sekali perusahaan swasta yang diam-diam dengan cepat sudah memasuki fase ‘mapan’, mencetak laba yang lumayan dan bisa menikmati kemajuan perusahaan tanpa harus susah payah memeras keringat lagi. Terlepas dari usia karir ataupun usia seseorang, seorang profesional bisa mudah terlena dan mulai tidak memacu dirinya untuk berkembang lagi. Bagaimana kalau hal ini terjadi pada kebanyakan orang? Tentu saja kita akan menyaksikan kultur perusahaan yang berkembang tidak sehat, tidak produktif, suasana kerja pun biasanya tidak nyaman lagi. Di tingkat organisasi, hal yang paling nyata terlihat adalah lemahnya pengembangan produk dan sistem baru sebagai hasil inovasi. Sementara, di tingkat individu, biasanyanya orang-orang sibuk berpolitik, asyik mencari sasaran gosip, suka ‘cuci tangan’ dan merasa aman untuk tidak terlibat. Di sebuah perusahaan terdengar keluhan :”Jenjang kariri di perusahaan ini tak jelas. Orang tidak tahu kapan dia naik pangkat”. Padahal di perusahaan tersebut sangat terlihat kesulitan orang untuk mengambil tantangan yang lebih berat, pekerjaan yang lebih menantang, apalagi mau berkorban untuk perusahaan. Akankah kita membiarkan wabah ini tumbuh subur dan menggerogoti ‘habitat’ kita?

Buat Apa Saling Menyalahkan?

Kita bisa saksikan bahwa orientasi paternalistik akan tumbuh subur bila dalam organisasi individunya sudah malas bekerja keras, tidak lagi menunjukkan ‘sense of belonging’ maupun akuntabilitas yang nyata. Apa maksudnya? Individu akan menatap ke atas, menunggu perintah dan membebankan tanggung jawab sebesar-besarnya pada atasan dan manajemen. Segala macam kebijakan atau perubahan yang perlu dijalankan biasanya akan berjalan dengan alot. Pertanyaannya, apakah kita sebagai bawahan memang menginginkan tanggung jawab yang sedikit? Apakah kita memang merasa aman dan nyaman, walaupun tidak dilibatkan? Apakah dalam karir kita memang kita tidak memilih bersusah susah untuk belajar?

Kita bisa sama-sama menyaksikan bahwa organisasi yang berisi individu seperti diatas tidak mungkin awet muda karena tidak bisa lagi mengandalkan kemampuan, semangat dan spirit timnya. Paling-paling kreativitas dan kecermatan pemimpinnya yang bisa membuat organisasi ini survive. Sebaliknya, tanpa pemimpin yang baik, organisasi akan melempem. Hal yang biasanya tidak terhindarkan adalah main tunggu-tungguan dan saling menyalahkan antara manajemen puncak dan bawahan untuk membenahi organisasi. Fenomena salah-menyalahkan dan mencari kambing hitam ini bisa kita lihat terjadi di mana-mana, karena inilah yang paling mudah dilakukan. Karyawan di tingkat bawah paling mudah mencela pimpinan puncak, tentang kebiasaannya yang suka marah, keputusan yang berubah-ubah atau kesibukan pimpinan mengurusi hal-hal sepele alias “micro-management”. Sementara, pimpinan frustasi dengan anak buah, karena bawahan tidak bersedia berkinerja “all out”. Tempat kerja menjadi habitat yang tidak nyaman lagi.

Individu yang punya semangat maju, biasanya menyadari bahwa dalam diri kita masing-masing ada power untuk menyelesaikan masalah. Tidak harus menunggu atasan, kita pun punya kontribusi untuk membuat situasi organisasi jadi lebih kondusif. Sikap yang sangat penting juga untuk disuburkan dalam diri dan lingkungan kerja adalah menyimak, bertanya dan mendengar. Bagaimana kita akan sampai pada pemecahan masalah bila belum-belum kita sudah memberi penilaian, mengambil kesimpulan, bahkan langsung memberi nasehat, padahal akar masalahnya dan pokok persoalannya belum tersentuh?

Konsisten Berkomunikasi Positif

Seorang teman saya mengaku ‘shock’ saat masuk ke sebuah perusahaan baru. Ia mengeluhkan betapa semua orang seolah siap menerkam dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang kritis dan tajam. Ketakutan tidak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan, membuatnya sibuk mendalami tugas yang dihadapinya dan selalu memasang antena untuk menganalisa apa yang sedang dilakukan. Beberapa bulan kemudian, saya bertemu dengannya dalam kondisi yang begitu berbeda. Ia terlihat bersemangat dan tampak begitu siap untuk merangkul tanggung jawab yang lebih besar. Para profesional yang bermental sehat, pastilah mendambakan lingkungan seperti ini. Lingkungan yang memberi tantangan, fair, memberi kesempatan dan peluang untuk mengembangkan potensi.

Bisa jadi kita seringkali tidak sadar bahwa menyuburkan budaya dan habitat yang ‘sehat’ hanya bisa terjadi dari komunikasi yang positif dari ruang-ruang rapat sampai kantin perusahaan. Pendekatan yang tampaknya sederhana ini, ternyata tidak banyak dimiliki orang secara konsisten. Teman-teman saya, sesama manajer, bisa dengan akrab makan bersama di kantin dengan anak buah dan rekan, bercanda, saling olok, namun tetap tidak bisa mempersuasi mereka untuk menyetujui perubahan yang ia ingin lakukan. Jadi, hubungan yang ‘friendly’ belum tentu kondusif.

Sebenarnya tidak selalu harus memikirkan program “breakthrough” yang canggih dan mahal untuk mengembangkan iklim kerja kondusif. Dengan menghilangkan sikap negativistik sebetulnya kita bisa sekali membawa aura positif dalam tim dan organisasi kita. Tentu saja kita perlu belajar berekspresi positif dalam setiap kesempatan, sehingga fakta yang tidak menyenangkan dan kabar buruk bisa kita kelola menjadi tantangan untuk membakar spirit individu dan tim. Orang yang konsisten menyampaikan “magic words” dalam berkomunikasi, berkata: “Kita pasti bisa”, “Kita cari cara lain”, “kita coba...”, akan senantiasa diterima dalam lingkungan paling sulit sekali pun, bukan?

Ditayangkan di Kompas, 3 Oktober 2009

No comments:

Post a Comment